BRIN: Produktivitas Kopi Indonesia Turun

BRIN: Produktivitas Kopi Indonesia Turun

Nomorsatukaltim.com - Saat ini kopi dengan sertifikat indikasi geografis memiliki peluang ekspor yang sangat besar di pasar global.  Sehingga menjadi salah satu sumber devisa. Namun Badan Riset dan Inovasi Nasional, menyayangkan turunnya produksi kopi Indonesia.

Periset BRIN Agus Eko Nugroho menganggap, hal itu akibat dari rendahnya insentif yang diterima petani, sehingga kurang dorongan untuk meningkatkan produksi.

Mengacu data BRIN, selama 10 tahun terakhir atau rentang 2010 sampai 2020, tingkat produktivitas kopi di Indonesia jika dibanding dengan ketersediaan lahan, masih rendah. Bahkan terjadi penurunan areal panen dari 1,27 juta ha menjadi 1,25 juta ha, atau turun rata-rata 0,14 persen per tahun.

Sebagai salah satu komoditas ekspor, ternyata selama dekade terakhir volume ekspor kopi juga menurun dari 432.781 ton menjadi 375.671 ton, atau menurun rata-rata 1,41 persen per tahun. Artinya, minat petani dalam memelihara tanaman kopi menurun.

Padahal, sambung Periset BRIN sekaligus Kepala Organisasi Riset Tata Kelola, Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat, Agus Eko Nugroho, sudah banyak jenis kopi spesifik hasil perkebunan dari pelbagai daerah di Indonesia yang terdaftar dan memperoleh sertifikat Indikasi Geografis.

Seperti: Arabika Gayo, Arabika Simalungun Utara, Arabika Sumatera Mandailing, Arabika Java Preanger, Arabika Sindoro-Sumbing, Liberika Tunggal Jambi, Liberika Rangsang Meranti, Robusta Semendo, Robusta Empat Lawang, Robusta Lampung, serta Robusta Temanggung.

"Saat ini, perkembangan agribisnis kopi di tingkat hilir, seperti cafe yang digemari generasi milenial menjadi peluang yang sangat besar bagi pemasaran di Indonesia," ujarnya, dalam siaran pers BRIN, dikutip Senin (27/3/2023).

Dengan melihat kebutuhan ini, lanjutnya, peningkatan volume pemasaran akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama produsen kopi dan pelaku agribisnis.

Namun ia mengingatkan makin tingginya permintaan kopi dunia perlu diantisipasi Indonesia melalui peningkatan produksi kopi secara berkelanjutan.

Agus Eko Nugroho, menekankan dukungan para pelaku pasar terhadap petani belum terjalin dengan ikatan yang saling menguntungkan.

"Masing-masing pihak atau aktor pasar melakukan aktivitas pasar, tanpa didasari hubungan kemitraan yang saling berbagi peran untuk memperoleh keuntungan yang proporsional," paparnya.

Menurutnya, petani sebagai produsen tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Mereka sulit untuk dapat menentukan harga sesuai dengan keinginannya dan harus menerima harga yang ditentukan oleh para pedagang.

Faktor lainnya yaitu lokasi produksi yang tersebar dan sulit dijangkau, keterbatasan informasi pasar, kualitas produk yang belum maksimal, dan kebutuhan tunai di tingkat petani yang sulit dihindari.

Maka, untuk mempertahankan bisnis ini, produsen kopi juga harus memiliki kapasitas dan kemampuan yang baik untuk memproduksi dan memproses produk mereka. Tujuannya agar diperoleh nilai tambah dan harga tinggi di pasar.

Pemerintah harus mencari terobosan teknologi dan kebijakan strategis dalam pengembangan agribisnis di Indonesia. Salah satunya membangun kemitraan usaha yang mempertautkan aktor-aktor pasar dalam pengembangan kopi, guna menjamin peningkatan pendapatan petani.

Untuk menjamin ketersediaan teknologi produksi, pemerintah dapat menciptakan peluang dengan mengadopsi dari negara-negara dengan produktivitas tinggi. Karena itu, perlu dikaji kendala dan peluang agribisnis saat ini.

Lantas diperlukan rumusan alternatif strategi pemanfaatan peluang untuk meningkatkan produksi dan menembus pasar ekspor.

"Langkah ini akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pelaku agribisnis kopi di Indonesia secara berkelanjutan," ujar Eko. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: