Tahun 2026 Pengajuan IUP Distop, Samarinda Bebas Zona Tambang

Tahun 2026 Pengajuan IUP Distop, Samarinda Bebas Zona Tambang

Samarinda, nomorsatukaltim.com – Gagasan Wali Kota Samarinda Andi Harun untuk membebaskan Samarinda dari lubang tambang pada 2026 mendatang, menjadi bahan diskusi menarik bagi para aktivis lingkungan, politisi, akademisi hingga jurnalis di Setiap Hari Coffee, Minggu (19/3/2023) malam.

Umumnya para narasumber dari berbagai latarbelakang itu mempertanyakan teknis Samarinda Bebas Zona Tambang itu. Mungkinkah? Bagaimana bisa? Karena menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim bahwa masih ada izin usaha pertambangan (IUP) yang masa habis kontraknya pada 2030. Dan itu izin tambang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Tambang besar. Pradarma Rupang, mantan dinamisator Jatam yang menjadi narsumber malam itu menyebut bahwa kawasan Samarinda bebas tambang 2026 jangan sampai menjadi jargon politik semata. Namun demikian, Darma mendukung upaya itu. “Saya dukung gagasan kota Samarinda bebas tambang,” tegas Darma saat diskusi Untung dan Rugi 2026 Samarinda Bebas Zona Tambang itu. Sementara itu, Andi Harun yang juga menjadi narasumber diskusi tersebut menyampaikan bahwa gagasan Samarinda bebas zona tambang 2026 bukan hanya wacana semata. Dasarnya Perda RTRW Kota Samarinda sudah diketok Desember 2022. “Artinya ini sudah terkunci,” jelasnya. Sementara terkait masa kontrak IUP ada yang hingga tahun 2030, kata Andi, nanti tidak akan diperpanjang pada tahun 2026. “Umumnya kan ada pengajuan perpanjangan kontrak di 2026, itu sudah pasti tidak akan mendapat izin,” jelasnya, meyakinkan. Itu beralasan, karena sudah melanggar ketentuan dalam Perda RTRW yang akhir tahun lalu disahkan. Selain itu pengurusan izin melalui sistem OSS pun akan langsung  diblok. “Langsung terblok oleh sistem”. Berkaca pada hal itu, Andi Harun pun optimistis siapa pun wali kota mendatang, Samarinda harus bebas dari tambang. SEJARAH KELAM Samarinda sendiri punya sejarah kelam dengan dunia pertambangan. Lingkungan babak belur akibat industri ini. Kota dikepung banjir setiap kali hujan mengguyur. Dari data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, jumlah lubang tambang di Kota Tepian meningkat tajam pada 2014 hingga 2018 lalu. Tahun 2014 angkanya mencapai 232 lubang. Kemudian pada 2018 melonjak menjadi 349 lubang. Kawasan pertambangan bahkan sudah menutupi 67,5 persen wilayah Samarinda. Jumlah konsesi tambang mencapai 54 konsesi dengan total luasan mencapai 48.884 hektare. Sementara itu, anggota panitia khusus (Pansus) RTRW Kaltim Rusman Yaqub juga mengutarakan hal serupa. Walau pun kondisinya dinilai terlambat. Rusman berbagi pengalaman ketika dirinya masih menjabat sebagai anggota DPRD Samarinda medio 2002 silam. Kala itu ia tergabung dalam pansus pertambangan dan merekomendasikan agar jangan ada perpanjanga izin pertambangan. “(Tahun) 2002 baru delapan (IUP, Red.). Yang terjadi mendekati pilkada jadi 28 (IUP). Ketika 2004 enggak tahu lagi sudah,” sebutnya. Rusman yang juga politisi PPP dari dapil Samarinda ini termasuk yang tegas menolak keberadaan pertambangan batu bara di dalam kota. Efek sosial dan lingkungannya tidak sebanding dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Uang daerah hanya habis untuk melakukan perbaikan gara-gara kerusakan yang ditimbulkan. Menurutnya harus ada data konkret bahwa produksi tambang juga sebanding dengan biaya perbaikan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. “Sebanding enggak dengan risiko yang ditanggung, betulkah batu bara itu memberikan kesejahteraan kepada rakyat Samarinda secara jangka panjang,” terangnya. TAK BUTUH TAMBANG Secara hitung-hitungan ekonomi Samarinda tidak cocok menjadikan pertambangan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Penegasan itu diutarakan Pengamat Ekonomi Unmul Haerul Anwar. Codi, sapaannya, juga punya pengalaman mengejutkan tentang emas hitam ini. Ia sempat mengkaji RTRW Samarinda. Codi heran. Dalam RTRW ada pembagian wilayah untuk industri kelapa sawit dan tambang. “Samarinda enggak perlu tambang, Samarinda tetap hidup karena duit mengalir ke sini. Itu kenapa Samarinda ini berjaya dari sektor jasa dan perdagangan,” tegasnya. Memang ada kabupaten/kota lain di Kaltim yang “membutuhkan” pertambangan untuk menopang APBD mereka. Contohnya Kutai Timur yang masih bergantung pada perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC). Kemudian di Kukar dengan banyaknya IUP dan PKP2B yang masih beroperasi. Tapi kota besar seperti Samarinda, lanjutnya, justru menjadi hub atau pusat. Di mana daerah satu dengan yang lain akan singgah di sana. Idealnya Samarinda ya seperti itu. Karena itu akan aneh kalau pusat kota masih fokus pada pertambangan. Pun begitu Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) 30 Buyung Marajo. Menurutnya, pertambangan hanya membebani APBD. Fasilitas umum rusak. Termasuk ruang hidup masyarakat. Bahkan nyawa ikut melayang. Tidak lekang di ingatan sudah 23 nyawa raib gara-gara lubang bekas tambang yang menganga lebar di Samarinda. Yang menjadi catatan Buyung kini adalah keselarasan zonasi bebang tambang 2026 Samarinda dengan RTRW Kaltim. “Apakah ini klop,” tegas Buyung. (boy/dah)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: