Kasus ‘Jurnalis Serang Jurnalis’, Bukti Wartawan Abai terhadap Kode Etik

Kasus ‘Jurnalis Serang Jurnalis’, Bukti Wartawan Abai terhadap Kode Etik

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Sejumlah insan pers hadir dalam forum diskusi bertajuk Jurnalis Serang Jurnalis, Bagaimana Hukumnya?

Forum ini diselenggarakan dua organisasi pers, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda, secara hybrid. Selain sejumlah awak media, hadir pula dua ahli pers dari Dewan Pers. Wakil Ketua Bidang Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kaltim, Felanans Mustari, membuka diskusi dengan memaparkan fenomena terkini kebebasan pers di Bumi Etam. Seorang jurnalis dari Kaltim Today ‘diserang’ secara personal. Serangan disebut hanya berselang sehari setelah jurnalis tersebut menulis berita mengenai rencana renovasi rumah jabatan. Selain mengancam kemerdekaan pers, peristiwa tersebut dianggap dapat membunuh karakter jurnalis yang bersangkutan. Yang bikin aneh, pelaku diduga juga bekerja sebagai jurnalis. Pasalnya, ‘serangan’ dilakukan lewat pemberitaan sejumlah media siber lokal. “Dimana-mana ancaman doxing itu dari luar seperti yang dialami wartawan Tempo dan Tirto.id. Lah, ini, kok bisa jurnalis sendiri? Bagaimana persoalan etiknya? Ini yang mau kita diskusikan hari ini," jelasnya mengawali diskusi. Ahli Dewan Pers dari AJI Samarinda, Edwin Agustyan, mengaku menyayangkan peristiwa itu. Kasus itu juga sudah didengar sampai kota tetangga. Menurutnya, persoalan pemberitaan seharusnya diselesaikan lewat jalur Dewan Pers. Pemberitaan mengenai persoalan pribadi seseorang, tidak dapat dibenarkan secara Kode Etik Jurnalistik. Edwin menilai pemberitaan melanggar setidaknya pasal 2 dalam Kode Etik Jurnalisitk. Adapun isi dari pasal 2 adalah, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”. Pemimpin Redaksi Bontangpost.id tersebut menjelaskan pelanggaran pada pasal tersebut dapat disimpulkan karena sejumlah hal. Pertama, motivasi ditulisnya berita tersebut. Kedua, proses konfirmasi yang bias. Ketiga, lemahnya pemilihan narasumber yang digunakan sejumlah media siber itu. Berdasarkan kajian cepat yang dilakukan AJI Samarinda, Edwin mengatakan akun sosial media dirujuk media siber tersebut untuk ‘menyerang’ wartawan Kaltim Today sudah lenyap. Berita tersebut juga sudah tidak dapat ditemukan lagi. “Narasumber itu (akun sosial media) tidak bisa dijamin validitasnya. Dia siapa? Kok bisa ngomog begitu? Jatuh-jatuhnya, merugikan narasumber. Akunnya saja hilang,” ungkapnya. Adapun narasumber kedua, Ketua PWI Kaltim, sekaligus ahli pers, Endro Effendi, menilai tindakan tersebut justru melanggar pasal 1 KEJ. Pasal tersebut berbunyi “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk”. Hal tersebut dapat dinilai dari pemilihan bahasa yang digunakan sejumlah media itu. Pemberitaan yang dikeluarkan dapat diduga bersifat tendesius “Di awal, kan niatnya dulu. Makanya pasal 1. Jadi bisa dicek di ahli forensik bahasa. Mengapa berita menulis hal seperti itu ?” bebernya. Endro menduga pemberitaan yang dilakukan merupakan wujud show of force. Oknum jurnalis yang mengeluarkan produk jurnalistik itu, bermaksud menunjukkan kekuatannya. Padahal, ia menilai persoalan tersebut tidak akan melebar jika diserahkan kepada Dewan Pers. Peristiwa itu menunjukkan masih banyak insan pers yang abai terhadap Kode Etik Jurnalistik. Jika memang terbukti, Endro menilai pelaku harus disanksi secara etik oleh organisasinya. “(Kasus) ini sudah tidak menjunjung kode etik jurnalistik dan kode perilaku wartawan. Dunia jurnalistik (Kaltim) saat ini tercoreng oleh oknum kita sendiri. Jangan sampai berulang lagi,” kritiknya. Sementara Edwin, menilai kejadian tersebut adalah kritik bagi seluruh insan pers Kaltim. Organisasi pers dan perusahaan bisa mendorong pelatihan-pelatihan kode etik. Serta memperhatikan produk jurnalistik yang dihasilkan. Menurutnya, jurnalisme seharusnya menjadi watchdog atau anjing penjaga kepentingan publik. “Bukan anjing penguasa yang suka menggigit pengkritik,” pungkasnya. (Sam/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: