Bali (harus) Bangkit

Bali (harus) Bangkit

oleh: Sammy Laurens

Bali, nomorsatukaltim.com – Jika berbicara tentang Bali, masyarakat tentu tahu bahwa Bali merupakan salah satu destinasi wisata andalan di Indonesia. Selain wisata alamnya yang menarik, wisata budayanya sudah banyak dikenal masyarakat.

Namun apa jadinya jika Bali yang selalu jadi destinasi favorit pelancong terkena dampak Pandemi Covid-19. Kondisi ini tentu sangat berdampak besar khsusnya masyarakat Bali yang banyak bergantung hidup dari sektor pariwisata. Baru-baru ini, tim nomorsatukaltim.com jaringan Disway National Network (DNN) berkesempatan mengunjungi daerah yang dikenal dengan Pulau Dewata ini. Tim nomorsatukaltim.com bersama 4 jurnalis asal Samarinda mendapat undangan langsung dari PT Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan dalam agenda Media Gathering. Area Manager Communication Relation & CSR Pertamina Patra Niaga Regioal Kalimantan, Susanto August Satria menjelaskan bahwa agenda ini merupakan ajang menjalin silaturahmi dengan jurnalis se-Kalimantan dimana ada perwakilan jurnalis dari 5 provinsi yang diboyong ke Bali dalam agenda ini. “Ada jurnalis dari Kaltara hingga Kalbar kita ajak ke Bali ini, dalam rangka mempererat kembali silaturahmi yang selama ini terjaga dengan baik. Kami berterimakasih atas sejumlah masukan yang diberikan kepada kami dalam rangka mengembangkan bisnis yang selama ini kita bangun, tentunya peran teman-teman media ini sangat besar dalam rangka mensosialisasikan sejumlah kebijakan dan infromasi yang berkaitan dengan bisnis kami,” paparnya. Tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Rabu (16/3) Siang, satu per satu perwakilan media dari berbagai daerah di Kalimantan disambut hangat panitia penyelenggara. Panitia kemudian membawa rombongan jurnalis ini untuk makan siang di sebuah restoran yang lokasinya tak jauh dari bandara. Sepanjang perjalanan di Bali, memang nampak berbeda, ketika kami yang sebelumnya pernah ke Bali sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi. Hampir sepanjang mata memadang, banyak kawasan pertokoan di tepi jalan yang tutup atau bahkan tidak beroperasi lagi. Bahkan poster di depan toko bertuliskan ‘Disewakan’ nampak banyak ditemui. Usai makan saing bersama dengan menu Bebek Goreng dengan paduan Sambal Matah khas Bali, rombongan melanjutkan perjalanan ke Hotel Gran Inna Kuta dengan dua unit bus berkapasitas 45 orang. Suasana selama perjalanan di kawasan ini juga sangat berbeda sebelum badai Covid-19 ini datang. Hapir sejumlah toko di kawasan Kuta nyaris 70 persen banyak yang tidak beroperasi. Hanya sejumlah brand-brand berjaringan nasional saja yang nampak masih membuka gerainya. Salah satu pemandu wisata kami bernama Santi, bercerita bahwa kebanyakan toko-toko ini tutup dikarenakan tidak ramainya lagi pengunjung ke Bali pada saat pandemi. Lantaran sepi, pemilik toko yang rata-rata menyewa itu terpaksa menutup tokonya karena biaya sewa yang cukup tinggi. Satu petak toko kecil saja, diperkirakan biaya sewanya Rp 100-200 juta per tahun. “Kuta itu dulu hidupnya 24 jam pak. Sejak pandemi, satu per satu toko di kawasan Kuta, hingga jalan Legian yang terkenal cukup ramai itu tiba-tiba saja menjadi sepi sepert kota mati,” katanya. Santi yang sudah hampir 8 tahun menekuni profesi sebagai pemandu wisata ini pun juga terkena dampak yang sama. Bahkan ia sempat kembali ke kampungnya di Kabupaten Gianyar untuk membantu sang ibu berjualan roti, lantaran sepinya pekerjaan sebagai pemandu wisata. “Saya sejak pandemi tidak ada pekerjaan lagi. Sampai saya harus membantu ibu saya yang punya usaha roti berjualan ke pasar hingga ke beberapa toko,” paparnya. Perempuan 27 tahun itu sempat menceritakan betapa terpuruknya Bali ketika pandemi Covid-19 ini melanda. “Kawasan Kuta ini hampir 90 persen masyarakatnya bergantung hidup dari sektor pariwisatsa. Ketika pandemi, semua seolah lenyap hingga banyak masyarakat kehilangan mata pencahariannya,” lanjut Santi. Masa-masa sulit itu pun dirasakan Iyan, salah satu pengusaha transportasi. Ia harus memutar otak hingga terpaksa banting stir menjadi penjual makanan untuk sekadar menyambung hidupnya. Bahkan profesi sebelumnya sebagai travel penumpang, sempat beralih marasakan menjadi penyedia jasa pindah rumah. “Kalau bicara berapa turunnya jumlah pengunjung di Bali, bisa turun drastis hingga 70 persen pak. Ya tapi mau bagaimana lagi, semua harus tetap berjalan. Meski beberapa rekan seprofesi saya banyak yang stres dan depresi akibat tak mampu membayar cicilan mobil,” kata Iyan. Badai Covid-19 jenis Delta beberapa waktu lalu memang cukup membuat Bali terseok-seok. Tetapi secercah harapan dan kebangkitan mulai tampak sejak kasus Covid-19 di Indonesia berangsur turun. Bahakan sejumlah kebijakan pemerintah seperti meniadakan karantina perjalanan luar negeri, hingga tidak mewajibkan pengunjung domestik Swab PCR dan Antigen memberi dampak signifikan. (sam) Bersambung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: