Perguruan Tinggi Tempat Paling Banyak Terjadi Kekerasan Seksual Perempuan

Perguruan Tinggi Tempat Paling Banyak Terjadi Kekerasan Seksual Perempuan

SAMARINDA - Menurut data yang dihimpun Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 2021, sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual perempuan terjadi. Kasus tersebut sebagian besar terjadi di perguruan tinggi (PT). Pelaku sendiri paling banyak dilakukan oleh dosen, pacar, mantan pacar, teman, ataupun dari keluarga sendiri. Diketahui, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Demi memahami pondasi dari kasus yang marak ini, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Kalimantan Timur (Kaltim) melakukan webinar bertajuk 'Ancaman Kekerasan Seksual di Kampus dan Bagaimana Kita Menghadapinya' pada Sabtu, 12 Maret 2022. Pemateri pertama ialah Yohanes Wahyu Prasetyo dari STF Driyarkara Jakarta yang memiliki konsentrasi filsafat. Menurutnya, ada beberapa masalah yang ditemukan terkait kekerasan seksual. Dari akademisi atau dosen itu, kaum intelektual tersebut sudah dipandang sebagai penjaga gerbang kebenaran. Sehingga, sulit mempercayai jika ada di antara mereka adalah predator seksual. "Ketiadaan literasi adalah masalah kedua. Tak banyak yang paham, kekerasan seksual adalah masalah kemanusiaan. Karena korbannya bisa mati, cacat seumur hidup, dan jenis tindakannya beragam," jelas Wahyu pada webinar yang diikuti Disway Kaltim - nomorsatukaltim.com. Berkaitan pelaku dan korban sendiri, memang terdapat relasi kuat yang kerap kali menjadi salah satu kondisi kekerasan seksual terjadi. Itu berarti lelaki sering memanfaatkan kedudukannya untuk menjadi alat penekan kepada perempuan di lingkungan sekitarnya. "Tolak ukurnya bisa dirincikan dengan menerjemahkan 'kekuasaan' dan 'otoritas' yang dimiliki pelaku yang menyebabkan korban terpaksa masuk ke dalam lorong 'sukarela'. Padahal maknanya tak berkutik," imbuhnya.   Ditambahkan oleh pemateri kedua, Sri Murlianti, Dosen FISIP Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Secara ideal, kampus mestinya menjadi tempat pertama yang menjamin integritas dan otonomi tubuh. "Situasi di kampus. Kita memang harus jujur memindahkan paradigma malu tadi. Kita refleksi diri apakah kampus sudah mengimplementasi tentang kekerasan seksual ke warga kampus. Saya yakin belum," ujar Sri. Masih banyak kampus yang enggan memublikasikan kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswanya karena berpotensi menurunkan akreditas kampus. Seperti yang terjadi di Unmul sendiri. Dekan Fakultas Hukum (FH) Unmul, Mahendra Putra Kurnia, mengakui selama 20 tahun ia menjadi warga Unmul, bahwa tidak ada pembicaraan sama sekali terkait kekerasan seksual. Baru beberapa tahun ini saja dibicarakan. "Tidak pernah menjadi rencana strategi oleh PT. Karena menurutnya masih menjadi masalah yang tidak terlalu penting,"kata Mahendra. Kasus kekerasan seksual mahasiswa yang pernah didampingi Mahendra, diselesaikan dengan perdamaian saja. Jadi ada kecenderungan untuk menutupi perbuatan kekerasan seksual. "Tidak mau melaporkan ke pihak berwajib atau polisi dengan berbagai alasan yang ujung-ujungnya berakhir damai tanpa pernah tahu bagaimana keadaan sesungguhnya dari pelaku atau korban," ungkapnya. Padahal, jika mengacu keilmuan psikologi, korban kekerasan seksual memiliki dampak yang luar biasa. Pemateri terakhir, Diah Rahayu dari Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintah (Fisip) Unmul Samarinda. "10 tahun lebih korban bisa berdamai dengan masa lalunya. Malah ada korban yang menggunakan zat terlarang untuk menekan gejala depresi. Karena korban merasa buruk, kotor, bersalah dengan dirinya," terang Diah. Korban juga bisa mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Di mana korban terus menerus mengingat kejadian tersebut hingga bermimpi buruk yang menyebabkan insomnia dengan kecemasan berlebih. Selain itu ada perubahan gairah. Contohnya, tidak memiliki gairah untuk bersenang-senang atau tak ada gairah untuk hidup. Korban juga bisa mengalami perubahan mood yang cepat. Mendadak marah, mendadak tidak mampu untuk berpikir jernih, bahkan mampu melakukan hal yang diluar kendali. Faktor Internal dan Edukasi Seks Menurut Diah, ada beberapa faktor pemulihan dari korban kekerasan seksual. Faktor internal dan eksternal yang berpengaruh kepada strategi koping. "Internal sendiri, ada kekuatan di dalam dirinya sendiri. Apakah itu optimisme, kemampuan untuk bangkit dari trauma." "Faktor eksternal adalah dukungan sosial. Keluarga atau pihak kampus harus membuat support system yang bisa membuat korban tidak merasa bersalah atau depresi," paparnya. Dari kedua faktor ini lah yang membuat korban memiliki strategi koping atau strategi untuk menyusun jalan keluarnya. Keberanian bersuara atau bersikap. Wahyu sendiri menganggap edukasi seks di dalam kampus sangat penting. Apalagi dibuatkan menjadi mata kuliah khusus. Sehingga warga kampus bisa memiliki kesadaran tajam untuk berpikir, berperasaan, dan berperilaku. Apalagi, pria-pria yang menerima edukasi seks guna mencegah ia menjadi predator seks. "Bagi saya, kaum laki-laki sangat berperan mengurangi atau menghilangkan kasus. Bisa menghargai perempuan,"tegas Wahyu. Sri pun menyatakan bahwa ini menjadi persoalan struktural. Jadi perlu juga penyelesaian struktural. Kampus harus memiliki kebijakan yang tidak hanya menyasar ke pelaku. Namun, juga mempertimbangkan kepentingan korban. "Kampus juga perlu menjadi ruang aman untuk pengaduan korban. Terus, adanya mobilisasi dan pendidikan komunitas,"kata Sri. Diakui oleh Mahendra bahwa ada kesulitan jika edukasi seks tersebut menjadi mata kuliah khusus. Karena pasti ada pergolakan mengenai kebutuhan SKS. Sehingga, untuk sementara memang ruang-ruang diskusi inilah yang menjadi solusi. Namun, ia menekankan di mana pihak kampus harus menjadikan kasus kekerasan seksual sebagai rencana strategis. "Kampus harus memiliki niat kuat. Kampus mengatur dan menyeriusi dengan memprogramkan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual," pintanya. Dari seluruh pemateri, mereka semua berharap dengan adanya Satgas Kampus Kekerasan Seksual ini bisa menjadi langkah awal menekan angka kasus kekerasan seksual di wilayah kampus. (dsh/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: