PWYP: Tata Kelola Pertambangan Kaltim Belum Memuaskan

PWYP: Tata Kelola Pertambangan Kaltim Belum Memuaskan

SAMARINDA – Tata kelola pertambangan di Kaltim masih belum memuaskan. Meski kontribusi untuk negara terbilang besar. Hal itu terungkap melalui penilaian yang dilakukan Publish What Your Pay (PWYP) bersama Kelompok kerja (Pokja) 30. Skala indek penilaian diurut dari angka 1 (sangat buruk) sampai 5 (sangat baik). Dengan lima aspek yang menjadi penilaian. Yaitu partisipsai dan keterlibatan masyarakat, transparansi dan keterbukaan informasi, lalu regulasi, kelembagaan dan pengawasan. Kemudian dampak sosial ekonomi dan akuntabilitas peneriman dan belanja daerah. Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP membeber semuanya. Pihak-pihak yang dilibatkan di antaranya masyarakat sekitar kawasan tambang, OPD, NGO, ormas dan pelaku usaha pertambangan, Pemprov Kaltim, DPRD Kukar hingga pemerintahan desa. Hasilnya mengecewakan. Tidak ada indeks penilaian yang menyentuh angka 3. Scoring sendiri memang dipusatkan di Pemda Kukar dan Pemprov Kaltim. Alasannya, baik pemprov dan pemkab, keduanya sama-sama menggantungkan pendapatan dari hasil SDA. Utamanya batu bara dan migas. Sebagai contoh penilaian dari indikator partisipasi dan keterlibatan masyarakat. Warga rata-rata memberi skor 1,8. Kemudian transparansi dan keterbukaan informasi, warga juga hanya berikan nilai 1,2. “Ini dari masing-masing stakeholder. Mereka punya perspektif masing-masing,” sebut Aryanto kepada nomorsatukaltim.com-Disway Kaltim. Masih dari indikator partisipasi masyarakat, ternyata belum ada sektor pertambangan yang membahas secara khusus pengelolaan dana CSR bersama warga. Apalagi mengetahui Dana Bagi Hasil (DBH) migas dan pertambangan. Padahal menurutnya, masyarakat sekitar pertambangan juga berhak tahu informasi tentang itu. Karena mereka adalah pihak yang paling terdampak dari aktivitas pertambangan. “Lalu perusahaan sudah berikan CSR kepada masyarakat desa berupa apa saja. Termasuk royalti batu bara dan segala macamnya, masyarakat minim informasi tentang itu,” ulasnya lagi. Buruknya lagi masyarakat sekitar tambang paling rentan terkena imbas kerusakan akibat pertambangan. Mulai dari infrastruktur sampai ancaman kesehatan. Penilaian oleh PWYP kali ini fokus pada isu penerimaan pendapatan dari sektor minerba. Bukan lagi proses perizinan. Seperti legal atau tidaknya keberadaan perusahaan tambang. Dari data yang diperoleh, alokasi DBH Kaltim tahun 2022 masih didominasi dari SDA dengan Rp 1.921,71 miliar atau 77 persen. Kemudian DBH pajak 23 persen atau Rp 562,43 miliar. DBH SDA mencakup kehutanan 8,13 persen (Rp 202 miliar), minerba 56,24 persen (Rp 1,397,19 miliar) dan migas 12,98 persen (Rp 322,52 miliar). “Ini masih alokasi atau perencanaan, belum realisasi. Dan yang terbesar adalah DBH minerba.” Penerimaan sektor minerba menjadi perhatian lantaran berkaitan erat dengan postur anggaran di APBD. Sebagaimana diketahui, DBH minerba masih sangat berkontribusi mengisi APBD Kaltim. Sayangnya DBH itu nilainya fluktuatif. Kadang naik, kadang turun. Jika DBH naik, postur APBD juga ikut merangkak. Namun jika sebaliknya, nilai APBD juga ikut turun. “Yang dikhawatirkan kalau (DBH) rendah, penerimaan akan turun juga. Ini PR bagi Kaltim yang APBD nya masih menggantung pada SDA,” tegas pria berkacamata ini. Kembali ke scoring, pemahaman mengenai DBH ini sayangnya tidak pernah disampaikan utuh kepada masyarakat. Masyarakat yang ingin mendapat data harus melalui proses birokrasi yang rumit di kementerian keuangan. Kalau pun melalui website, tidak semua bisa mengakses. Karena itu PWYP merekomendasikan kepada pemerintah untuk rutin membuka ruang diskusi. Di mana di dalamnya memertemukan banyak pihak. Baik masyarakat, NGO, pelaku usaha pertambangan dan stakeholder lainnya. Keterbukaan ini dianggap penting agar ada perbaikan ke depannya. Sayangnya dalam penerapannya, pemerintah selalu berdalih. Tidak ada kewenangan menindak, lantaran semua diambil alih pemerintah pusat. Padahal, pemerintah daerah punya payung hukum untuk berbuat di bidang lain. Pengawasan jalan misalnya. Demikian diungkap Koordinator Pokja 30 Buyung Marajo. “Kaltim punya perda 10/2012 tentang jalan yang mengatur hauling tambang dan sawit. Lalu ada pergub 43/2013 sebagai juknis perda itu. Tapi enggak jalan,” singgungnya. Artinya pemerintah masih punya kewenangan mengatur pertambangan meski tidak harus bersentuhan dengan konsesi dan sebagainya. “Cuma satpol PP sebagai penegak perda tidak pernah menjalankan itu,” tutup Buyung. (boy/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: