Mencari Model Pembiayaan Perguruan Tinggi di Kutim

Mencari Model Pembiayaan Perguruan Tinggi di Kutim

Kutim, nomorsatukaltim.com – Perguruan Tinggi (PT) di Kutai Timur (Kutim) sejauh ini hanya mengandalkan dana hibah dari pemkab. Sehingga ketika dana bersumber dari Anggaran Pendaparan dan Belanja Daerah (APBD) itu tersendat, bisa dipastikan berimbas pada proses akademik yang berjalan. Ada dua perguruan tinggi yang sangat bergantung dengan dana hibah yang dikeluarkan Pemkab Kutim. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) dan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Sangatta (STAIS). Saban tahun keduanya sangat berharap dari kucuran dana hibah itu. Operasioanal, sistem akademik dan kegiatan mahasiswa pasti berjalan lancar, jika dana tersebut cair. Tetapi di tahun ini, kendala pembiayaan terkendala dengan sistem anggaran baru. Memakai Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD), banyak hal berubah. Sehingga dana hibah yang diajukan pun tidak masuk dalam data sistem tersebut. Maka sudah seharusnya ada model baru untuk mendanai dua PT yang dibentuk oleh Pemkab Kutim tersebut. Baca juga: Pengelolaan STIPER Sangatta Setengah Hati Ketua STIPER Sangatta, Prof Juraemi angkat bicara mengenai persoalan ini. Menurutnya, sebenarnya banyak cara untuk bisa membiayai PT tinggi. Bahkan ide tersebut sudah ia lontarkan, hanya saja belum mendapat tanggapan dari pemerintah dan pihak yayasan. “Banyak cara sebenarnya dan sudah saya sampaikan. Tapi sepertinya tidak ada tanggapan,” ucapnya dikutip dari Harian Disway Kaltim - Disway News Network (DNN). Ia menyebut mulai dari membentuk dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan untuk bidang pendidikan. Tinggal bagaimana Pemkab Kutim mengatur penggunaan dana itu melalui Peraturan Daerah (Perda). “Misalnya perda menyebut 10 persen disiapkan untuk pendidikan. Tentu itu akan membantu perguruan tinggi yang ada,” kata Juraemi. Bisa pula pemkab dengan wewenangnya mengumpulkan perusahaan perkebunan. Kemudian tiap perusahaan diminta untuk memberikan 10 hektare lahan untuk dikelola STIPER. Sehingga pemasukannya bisa dipakai buat membiayai operasional kampus. “Selain itu, lahan tersebut juga bisa menjadi lahan praktikum bagi mahasiswa kami. Sehingga tidak lagi bergantung dengan APBD,” tuturnya. Selain itu, ia juga mengusulkan pola pembiayaan hibah yang berganti-ganti. Jika hibah tidak bisa diturunkan tiap tahun pada organisasi yang sama. Mungkin Pemkab Kutim bisa mengganti dengan memberi beasiswa kepada mahasiswa. “Sehingga dari dana beasiswa itu akan ditarik kampus sebagai bentuk biaya SPP per semester,” paparnya. Diketahui dua PT di Kutim ini dibentuk untuk menunjang pembangunan kabupaten tersebut. Sehingga mahasiswa yang masuk dua kampus tersebut gratis biaya apapun. Namun konsekuensinya pemkab wajib membiayai operasional kampus tersebut. Sementara itu anggota DPRD Kutim, Agusriansyah Ridwan mengatakan, model pembiayaan melalui hibah ini memang sedikit sulit. Karena kini penggunaannya diawasi lebih detail oleh pemerintah pusat. “Tentu hibah bentuknya tentatif dan perguruan tinggi sifatnya sangat prioritas. Maka harus ada model baru pembiayaan,” ucap Agus, sapaan akrabnya. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai perlu ada analisis dan studi yang tepat terlebih dahulu. Agar bisa memunculkan formulasi tepat dalam skema pembiayaan dari perguruan tinggi yang dibentuk Pemkab Kutim ini. “Apakah pakai dana CSR, atau pengelolaan lahan perkebunan serta membebankan mahasiswa dengan SPP,” bebernya. Tapi legislator Komisi D ini menyebut jika pola pembayaran SPP bisa jadi satu alternatif. Hingga nantinya Pemkab Kutim bisa memberikan bantuan beasiswa yang sumbernya dari APBD. Baik itu kepada mahasiswa berprestasi dan mahasiswa kurang mampu. “Tentu ada perubahan jika hal ini diambil. Karena kampus tidak lagi gratis bagi mahasiswanya,” tandasnya. (bct/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: