Pergub 49 Ancam Hak Dewan

Pergub 49 Ancam Hak Dewan

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Pergub 49 tahun 2020 tentang bantuan keuangan daerah disebut sebagai aturan paling aneh di Indonesia. Selain tak lazim, legislatif menyebut beleid itu bakal merugikan masyarakat. Menurut peraturan yang akan menjadi dasar penyusunan APBD 2022, bantuan keuangan pemerintah provinsi hanya dapat diberikan untuk kegiatan proyek dengan nilai paling sedikit Rp 2,5 miliar per paket kegiatan. Hal ini tercantum pada Pasal 5, ayat (4) “Besaran Bantuan Keuangan minimal Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) per paket kegiatan.” Sementara dalam ketentuan umum disebut bantuan keuangan dikelola oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pengguna anggaran. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) khawatir, usulan perbaikan jalan-jalan warga, atau perbaikan infrastruktur tingkat bawah lainnya tidak akan terakomodasi akibat Pergub 49. Sebabnya, proyek-proyek usulan konstituen itu biasanya bernilai kecil. “Selama saya duduk di DPRD, saya tidak menemukan usulan-usulan Pokir yang mencapai Rp 2,5 miliar per paket,” kata politikus PDI Perjuangan, Elly Hartati Rasyid, Selasa (23/11). Anggota Komisi IV DPRD Kaltim itu menyebut, jika Pokir yang diusulkan biasanya hanya berupa perbaikan jalan beberapa meter atau pembuatan saluran air. Karena itu, dengan aturan baru itu, maka kemungkinan besar usulan perbaikan jalan-jalan kampung atau saluran air bakal ditolak. Elly Hartati Rasyid, mengkhawatirkan adanya batas bawah pemberian bantuan, bakal menyulitkan anggota legislatif merealisasikan usulan dari masyarakat. Asal tahu saja, istilah Pokir digunakan untuk menyebut kewajiban anggota legislatif menjaring aspirasi dari masyarakat, kemudian akan direalisasikan saat pembahasan APBD. Usulan yang disampaikan melalui Pokir selanjutnya dimasukkan dalam kegiatan SKPD yang dibahas dalam APBD tahun 2022, yang sedang disusun saat ini. Proyek-proyek Pokir biasanya berupa kegiatan fisik dan non fisik. Untuk fisik, misalnya pembangunan saluran air, perbaikan jalan, dan sejenisnya. Sedangkan proyek nonfisik berupa penyuluhan, pelatihan, sosialisasi dan sebagainya. Pokir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan DPRD tentang tata tertib. Pada  pasal 55 huruf (a) disebutkan, Badan Anggaran mempunyai tugas memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 bulan sebelum ditetapkannya APBD. Elly mengakui DPRD Kaltim pernah melakukan konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI terkait pergub ini. Pihak Kemendagri diklaim sama bingungnya dengan dewan. “Malah, mereka merasa Pergub ini adalah produk hukum satu – satunya di Indonesia,” cerita Elly.

BUKAN SOAL SYARAT

Elly Hartati Rasyid kembali menekankan bahwa ketidaksetujuannya atas Pergub itu bukan pada persyaratan. Dalam aturan teranyar, usulan kegiatan memang diwajibkan melampirkan beberapa data pendukung, seperti kerangka acuan kerja (KEK), rencana anggaran biaya (RAB), detail engineering design (DED), dan status lahan lokasi kegiatan. “Kami tetap mendukung segala macam proses administrasi pengusulan Pokir. Tetapi,  pengurusan data pendukung ini bukan diserahkan penuh oleh DPRD,” kata dia. “Kita harus tertib secara administrasi.  Kami oke saja. Asal jangan berlagak seperti konsultan, ada harganya.” “Itu kan bukan tugas DPRD. Kalau misalnya DED, KAK dilimpahkan kepada kami, kan bingung juga. Kami bukan konsultan, bukan pihak ketiga. Kami menyampaikan aspirasi masyarakat,” tegas Elly. Peneliti Pusat Studi Otonomi Daerah (PSODD) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Warkhatun Najidah, sejalan dengan Elly. Menurutnya, Pergub tersebut membatasi hal eksekutif atas usulan masyarakat. “Menurut saya, adalah bentuk pembatasan. Boleh dikatakan threshold. Kurang bijak karena bentuk usulan pembangunan  itu bukan didasarkan dari hanya dari minimal atau maksimalnya anggaran.” “Yang namanya usulan itu mempertimbangkan, bukan hanya penting tapi apa dibutuhkan masyarakat, urgensi dan multiplier effect dari usulan tersebut. Untuk apa mengatur  sekedar jumlah minimal Rp 2,5 miliar,” kritik Najidah. Sebenarnya, lanjut Najidah, nominal  angka dalam kebijakan keuangan hanya konteks pertimbangan hukum. Bukan harus dijadikan pengaturan hukum. Pergub ini menjadi ajang pembatasan terhadap pola pengusulan anggaran. Pengajar Fakultas Hukum itu merasa heran dengan Pergub ini. Karena Pokir merupakan hasil kegiatan legal yang diatur oleh Undang – Undang. Dewan mempunyai kewajiban untuk reses dan hasil reses itu berupa usulan pembangunan daerah pemilihan. “Malah aneh jika  reses tidak ada hasil usulan yg dihasilkan karena terhambat aturan nominalnya di bawah Rp 2,5 miliar. Seharusnya sebuah peraturan harus dapat memberikan sistem yang menjamin bahwa usulan pembangunan masuk dalam  pertimbangan anggaran.” “Terkadang usulan daerah pemilihan menjadi terpinggirkan oleh sistem penganggaran yang ada di eksekutif,” lanjut Najidah. Selain permasalahan nominal anggaran, Najidah juga memberikan tanggapan terkait data pendukung. Ia mengakui bahwa belum ada aturan pasti mekanisme usulan program pembangunan. Di dalam Pergub 49 pun tidak secara pasti mengenai hal tersebut. Data pendukung yang diatur malah lebih mengarah ke program infrastruktur. “Bagaimana yang misalnya, bentuk bantuan pada nelayan, bentuk bantuan dalam peran perempuan, pendampingan bibit, penguatan SDM?” Menurutnya, mengatur standar Pokir agar selaras dengan sistem yang ada pada eksekutif lebih baik dibanding membatasi nominal. Baik waktunya, bentuknya maupun substansinya. Ada baiknya, menurut Najidah, peraturan ini dalam bentuk Perda karena hal ini menyangkut sistem pengusulan penganggaran  oleh 2 lembaga  yang seluruhnya bermuara pada APBD. “Peraturan Gubernur tidak cukup untuk bisa menjawab permasalahan dalam penganggaran APBD,” sebutnya. Yang harus digarisbawahi adalah adalah APBD adalah program rakyat, bukan program dinas maupun dewan. Najidah merekomendasikan agar DPRD Kaltim membuat Perda penyusunan APBD di samping memang sudah ada pengaturan perundang-undangan yang ada di atasnya. “Memang betul penganggaran sebagian besar adalah ritme dari eksekutif. Pengusulan betul, tapi penyelerasan keuangan ini kan dilakukan oleh 2 lembaga. Sistemnya yang netapin hanya eksekutif, dipastikan sistem di DPRD akan tertinggal,” tegas Najidah. Di dalam Perda tersebut, DPRD bisa mengetahui waktu menyerahkan usulan Pokir, bentuk usulan, maupun pelaksanaan.

JANGAN NGELUH

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) yang juga anggota Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD), Muhammad Sa’duddin meminta anggota DPRD tak mengeluhkan keberadaan aturan terkait Pokir. “Itu syarat teori, kalau ada kegiatan harus ada dokumen perencanaan. Kalau ngeluh, ya ngeluh saja nggak papa. Orang kok maunya enak saja, nggak bisa dong,” kata Sa’duddin dilansir Disway Kaltim, Senin (21/11). Pemerintah, kata dia, harus melihat kuantitas, dimensi, dan anggaran yang diajukan dalam Pokir. Pihaknya harus mengetahui pengajuan tersebut akan bermanfaat kepada masyarakat. “Lebih baik lambat daripada cepat tapi nggak ada manfaatnya. Perencanaan itu kan untuk memastikan ada manfaatnya. Kalau hanya beberapa, bukan pemerintahan namanya. Di perusahaan sendiri ya silahkan,” tegasnya. Mengenai pendampingan dewan dalam proses kelengkapan data, Sa’duddin menyatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada dewan untuk mengurus hal tersebut. Intinya, berkas lengkap pasti diproses. “Kalau tidak, ya tidak diproses,” katanya. *LID

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: