Tolak Kenaikan UMP, Serikat Minta PP 36 Direvisi
SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Kenaikan UMP Kaltim 2022 terus mendapat penolakan dari komponen buruh dan pekerja. Melalui 6 serikat pekerja, mereka menuntut pemerintah merevisi dasar penetapan upah. Pengerahan massa akan dilakukan jika tuntutan tak dipenuhi. Ketua Serikat Pekerja Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Sulaeman Hattase mendesak pemerintah mencabut dasar penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022. Aturan yang dimaksud ialah Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021, sebagai turunan Undang-Unnag Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. PP tersebut dinilai merugikan pekerja karena menghapus komponen hidup layak (KHL) yang selama ini menjadi acuan dalam penetapan UMP. Sebagai gantinya, beleid baru menggunakan acuan batas atas dan batas upah dengan rumusan tertentu. "Kalau keputusan itu ditetapkan, artinya sama saja pemerintah mendukung upah murah. Maka sudah selayaknya direvisi atau dicabut," kritik Sulaeman. Ia menilai, penerapan aturan dilakukan setengah-setengah. Jika mengacu PP 36/2021, seharusnya komponen yang digunakan ialah berdasarkan inflasi nasional sebesar 1,68 persen. Ini akan berdampak baik bagi buruh. "Bukan menggunakan inflasi daerah yang lebih rendah. Kami ada usulan untuk mengikuti inflasi nasional 1,68 persen. Sehingga ada kenaikan Rp 50 ribu. Tidak tinggi, tetap datar," ujarnya. Asal tahu saja, Dewan Pengupahan menetapkan UMP Kaltim 2022 dengan penghitungan inflasi daerah, sehingga naik Rp 33.118,50 dari UMP 2021. Dengan kenaikan itu, UMP tahun depan menjadi Rp 3.014.497,22. Ketua DPD Forum Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan Indonesia (FSP Kahutindo) Sukarjo mengakui jika penetapan inflasi daerah diambil lantaran pertumbuhan ekonomi Kaltim 2019-2020, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Hanya 1 persen. "Karena yang lebih tinggi inflasi, ya kita pakai inflasi kaltim yang 1,11 persen itu," ujarnya dalam kesempatan terpisah. Ia menyebut meski sudah menggunakan angka inflasi Kaltim untuk penentuan UMP, namun unsur serikat pekerja dan buruh di Kaltim tidak setuju dengan besaran UMP Kaltim 2022. Karena formulasi PP 36/2021 menghasilkan angka yang terlalu minim. "Semua unsur serikat tidak menandatangani berita acara. Alasannya pertama formulasi di PP 36 itu bermuara kepada melegalkan upah murah," katanya. Menurutnya formula pada PP 78/2015 yang lebih bagus. Hanya karena sudah dicabut dan dihapus, maka PP tersebut tidak bisa lagi dijadikan acuan. “Serikat mengusulkan menggunakan parameter yang realistis saja. Untuk mempertahankan daya beli, serikat pekerja menghendaki, ya sudahlah jangan 1,11 tapi pakai yang 1,68 persen itu. Jadi kenaikannya sekitar Rp 50 ribu sekian," urainya. Sayangnya, kata dia, keinginan unsur buruh dalam pembahasan itu tidak direalisasikan. Pemerintah tetap bersikukuh mempertahankan kenaikan UMP sesuai formula yang sudah diatur dalam PP 36/2021. Sementara saat ini, serikat buruh meyakini hal tersebut sebagai upaya melegalkan upah murah, sehingga keenam serikat pekerja sepakat akan melakukan aksi unjuk rasa yang ditujukan kepada Gubernur Kaltim Isran Noor. "Menuntut gubernur untuk tidak mengesahkan UMP yang Rp 3,014 juta itu. Tapi kita menuntut untuk menggunakan perkalian (inflasi) 1,68 persen," tukasnya. Tuntutan kedua, kata dia, agar gubernur bisa menyampaikan kepada pemerintah pusat agar diadakan revisi PP 36/2021, khususnya mengenai formula UMP. "Aksi itu rencana tanggal 19. Harapannya gubernur mendengar kami. Karena penurunannya ini jauh. Kalau kita pakai PP 78, dengan formula yang dipakai secara nasional itu kenaikannya bisa mencapai Rp 150 ribuan lebih," katanya. Bahkan, kata dia, jika formulasinya diganti, dihitung dengan hanya mendasari nilai inflasi 1,68 persen ditambah pertumbuhan ekonomi 1 persen, maka nilai kenaikan UMP Kaltim jadi lumayan. "Yaitu sebesar sekitar Rp 70 ribuan. Hampir Rp 80 ribu. Tapi kan ini usulannya enggak bisa jadi acuan. Tapi kita realistis saja lah. Dengan nilai inflasi (1,68 persen) itu kita hanya mempertahankan daya beli," harapnya. Mencegah terjadinya unjuk rasa serikat pekerja, pemerintah menggelar pertemuan tertutup dengan Dewan Pengupahan, Selasa (18/11). Pemprov diwakili Asisten I, Jauhar Effendi, mendengar masukan dari unsur Dewan Pengupahan. Selain Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, ada Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim, Serikat Pekerja Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SP KSBSI), Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan Indonesia (SP Kahutindo), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kaltim, dan Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (SP KEP) Kaltim. "Mereka ingin pola pengupahan PP 36 ini dicabut atau direvisi. Karena dianggap oleh pekerja, tidak menguntungkan," imbuh Asisten I Pemmprov Kaltim, Jauhar Effendi. "Besok (hari ini) saya minta Disnakertrans ke Jakarta untuk menyampaikan usulan dari serikat buruh ke Kementerian Tenaga Kerja," tegas Jauhar. Terkait usulan penggunaan data inflasi nasional, Ketua Apindo Kaltim, Slamet Brotosiswoyo menyerahkan pada aturan yang berlaku. "Kami tidak ada masalah sepanjang itu sesuai aturan,” ujarnya. Akan tetapi, SBS mengingatkan jangan sampai tuntutan pekerja menjadi boomerang, yang bisa merugikan pekerja dan pengusaha. Berdasarkan aturan, batas akhir penetapan UMP 2022 ialah 20 November 2021.
PENGUSAHA OKE
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kaltim, Bakrie Hadi akan menjalankan putusan UMP. Ia meyakini Dewan Pengupahan telah bekerja sesuai aturan. “Terkait naik atau tidaknya, dewan pengupahan yang ditugasin. Mau naik atau menurunkan UMP pasti ada dasar,” ujarnya. “Karena mereka bekerja berdasarkan undang – undang. Dan saya pikir mereka nggak mungkin asal – asalan,” kata Bakri. Bakri menjelaskan, kenaikan UMP akan berdampak pada biaya operasional bulanan. Terutama perusahaan yang memiliki banyak tenaga kerja. “Cost nambah lagi kalau udah naik berapapun nilainya ya. Tapi berdampak ke pengeluaran biaya operasional bulanan (BOP) bagi teman – teman yang melibatkan banyak tenaga kerja,” jelas Bakri.Nilai UMP saat ini, menurut Bakri sudah cukup tinggi. Apalagi dengan kondisi perusahaan yang belum sepenuhnya pulih. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim Dayang Donna Faroek menilai penetapan formula upah, tepat. “Karena menghitung angka pertumbuhan dan inflasi daerah. Kalau di PP 78 pakai angka nasional, di mana kalau kita sedang minus, maka angka nasional tentu tidak,” ujarnya. “Formula baru ini sudah didorong terbentuk dari tahun 2014, baru diterbitkan 2020,” kata Donna. Formula ini diakuinya tidak akan dapat menyenangkan semua pihak. Tetapi pihaknya tetap mematuhi dan mendukung penuh meski terasa berat. Kadin memahami jika perlu ada penyesuaian UMP. Meski begitu, ia masih menunggu keputusan akhir dari pemerintah daerah. “Kita lihat nanti hasil release resmi. Kita harapkan yang terbaik. Dunia usaha melalui Apindo sudah sangat kondusif dengan pekerja dan buruh. Hal ini diakui secara nasional dan patut dipertahankan serta kembangkan untuk Kaltim,” tegas Donna. Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Rusman Ya’qub belum berani menanggapi tuntutan buruh. “Semua unsur tentu mengacu peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Saya kira sudah ada acuannya dan pasti selalu alot dalam proses pembahasannya setiap tahun dan itu lumrah saja,” kata Rusman. Komisi IV tetap berharap ada kenaikan upah bagi buruh. Terutama melihat sektor perekonomian ambruk karena pandemi COVID– 19. Di sisi lain, ia berharap seluruh pihak pahami kondisi pengusaha. “Kita pahami kondisi pengusaha harus diberi ruang untuk melakukan recovery. Sehingga ada titik kompromi yang bisa saling menopang satu sama lain,” tegas politisi PPP ini. *LID/YOSCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: