PLTU Dihentikan, Akademisi: Tambang Takkan Tumbang
Samarinda, nomorsatukaltim.com – Konferensi Iklim Dunia telah memutuskan untuk menghentikan ketergantungan energi listrik dari PLTU. Yang tentu, bakal berimbas panjang ke industri batu bara. Akan kah tambang emas hitam goyang?
Perlu lebih dari 24 jam sejak dihubungi Harian Disway Kaltim Minggu (7/11) sore untuk akademisi Universitas Mulawarman, Tommy Trides membuat kalkulasi dampak keputusan COP26 Glasgow. Terkait penghentian PLTU yang dianggap menyumbang emisi besar. Terhadap industri pertambangan batu bara, khususnya di Kaltim.
Analisa awal Tommy, keputusan itu jelas akan berpengaruh besar terhadap masa depan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun yang perlu digarisbawahi, konkret tidaknya aksi negara peserta COP ke depan. Tetap tidak serta merta menutup era PLTU begitu saja.
Penyedia listrik dari uap batu bara tersebut, baik yang dikelola oleh PLN atau yang disewa dari swasta. Masih akan menjadi sumber listrik nomor tiga di Tanah Air. Di bawah PLTD dan PLTA. Karena pemerintah hanya akan menghentikan pemberian perizinan baru.
Sedangkan yang sedang dalam tahap pembangunan dan terutama yang sudah berjalan. Akan tetap beroperasi seperti biasa. Tutupnya PLTU yang sudah ada, akan terjadi secara alamiah. Ketika usia mesin pembangkit sudah tak mampu beroperasi lagi.
Lalu soal industri batu bara yang menjadi pemasok bahan baku PLTU, Tommy mengatakan, “Tentu saja kebijakan COP26 ini akan sangat memengaruhi rantai pasokan batu bara yang selama ini berasal dari dalam negeri."
Maksudnya, industri batu bara selama ini masih ditopang oleh keberadaan PLTU. Baik dalam maupun luar negeri. Dengan tidak ada pertumbuhan PLTU lagi. Maka penjualan batu bara akan stagnan, dan cenderung menurun. Lantaran produksi batu bara terus berjalan.
Kalau, pemanfaatan batu bara hanya untuk pemenuhan bahan baku PLTU saja. Ya, ancaman ambruk di depan mata. Dengan catatan, 190 negara peserta COP26 memiliki komitmen yang kuat terhadap keputusan yang mereka buat. Pasalnya yang sudah terjadi pada 25 kali COP sebelumnya, adalah antitesisnya.
Di luar itu, Tommy Trides meyakini bahwa kiamat batu bara tak akan terjadi. Karena batu bara masih bisa dikonversi menjadi produk turunan. Dosen Teknik Pertambangan Geomekanika, Unmul tersebut bahkan optimis. Hilirisasi batu bara menjadi metanol atau gas akan terjadi sebelum cadangan di Kaltim benar-benar ludes.
Pengembangan alternatif ini, kata Tommy, sudah mulai dikembangkan. Walau masih dalam skala pilot project.
Di Unmul sendiri, penelitian konversi batu bara ke bentuk liquid atau gas sudah dilakukan. Untuk turut mempercepat realisasi industri hilirisasi batu bara.
"Mengingat bahwa jumlah cadangan batu bara yang masih banyak di Kalimantan Timur hingga saat ini. Kaltim sangat berpotensi untuk merubah sumber daya batu bara ke dalam bentuk methanol atau gas guna menambah nilai jual di saat produksinya juga seiring menurun," urainya, malam tadi.
Sejauh ini, Tommy melihat prospek bisnis hilirisasi produk batu bara di Kaltim cukup menjanjikan. Buktinya, terdapat satu anak perusahaan yang tergabung dalam Bakrie Group yang tertarik untuk mengembangkan batu bara ke dalam bentuk Dimethyle Ether (DME), untuk menggantikan Liquefied Petroleum Gas (LPG) melalui proses gasifikasi di Kaltim.
"Tentu saja hal ini akan membutuhkan investasi yang cukup besar untuk membangun fasilitas infrastruktur pendukung dan fasilitas pengolahannya," tukasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: