Makmur Menggugat Lagi

Makmur Menggugat Lagi

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Banyak yang sudah memprediksi langkah apa yang diambil Ketua DPRD Kalimantan Timur, Makmur HAPK, terkait pendongkelannya. Pekan depan, gugatan atas keputusan Rapat Paripurna DPRD Kaltim akan dilayangkan ke pengadilan. Prediksi soal langkah politikus gaek itu, sebenarnya juga telah muncul dalam rapat paripurna pengumuman dan persetujuan penggantian Makmur, Selasa (2/11) lalu. Silakan simak pernyataan Wakil Ketua DPRD, Seno Aji, ini: "Saya tidak ngotot dalam hal ini (tidak menyetujui) secara pribadi. (Alasan) saya murni secara lembaga. Karena memang ada faktor hukum yang akan terjadi apabila kita menyetujui (penggantian) ini,” kata politikus Gerindra itu. Kekhawatiran adanya dampak hukum yang akan dialami fraksi lain ditepis oleh anggota Fraksi Golkar, Syarkowi V Zahry. “Konsekuensi hukum itu kepada siapa? Kepada pimpinan? Bapak-bapak tidak akan kena risiko itu kalau tidak sependapat," kata politisi dari Kutai Kartanegara ini, menjawab kekhawatiran Seno Aji. Tim Penasihat Hukum Makmur, memang sudah memastikan akan mengambil langkah hukum. Mereka menggugat keputusan Rapat Paripurna DPRD Kaltim yang mengumumkan dan menetapkan penggantian kliennya kepada Hasanuddin Mas'ud. Keputusan penggantian yang diumumkan dalam Rapat Paripurna ke-25 DPRD Kaltim, Selasa (2/11) dinilai cacat hukum dan gegabah. "Kami akan melayangkan gugatan atas hasil paripurna tersebut. Senin depan mudah-mudahan  dapat kami daftarkan ke Pengadilan Negeri Samarinda," ujar Sinar Alam, salah satu pengacara Makmur yang memutuskan angkat bicara, Rabu (3/11). Sinar mengutarakan, bahwa paripurna pengumuman pergantian kliennya itu terkesan dipaksakan. Karena itulah memiliki konsekuensi hukum. Tim kuasa hukum secara khusus juga mengarahkan dugaan pelanggaran hukum kepada pimpinan dan anggota dewan yang ikut menyetujui pengumuman pergantian tersebut. Sinar menduga Fraksi Partai Golkar dan anggota DPRD Kaltim yang menyetujui keputusan tersebut dalam keadaan panik melihat  langkah-langkah hukum yang diambil Makmur dan tim kuasa hukum. Sehingga sampai harus membuat keputusan yang terkesan memaksakan dalam paripurna yang menurutnya salah dan tak berdasar. Ia menilai, persetujuan yang diambil dari desakan Fraksi Partai Golkar di Karang Paci itu tidak tepat. Sebab fraksi disebut hanya menggunakan dalil putusan Mahkamah Partai Golkar yang menolak seluruh permohonan keberatan Makmur. Padahal menurut undang-undang, katanya, negara menganjurkan kepada pihak yang berselisih di internal partai untuk menggugat melalui peradilan umum (pengadilan negeri), jika citra keadilan belum diperoleh dari hasil putusan Mahkamah Partai. Makmur sendiri sebelumnya telah mendaftarkan gugatan keberatan atas putusan Mahkamah Partai Golkar di Pengadilan Negari Samarinda. Dibuktikan dengan Surat Perkara No. 204/Pdt.G/2021/PN.Smr tanggal 19 Oktober 2021. Tim hukum mengaku telah menyampaikan pemberitahuan terkait langkah gugatan di Pengadil Negeri Samarinda itu kepada masing-masing anggota dewan melalui sekretariat dan fraski masing-masing. "Tapi mereka semua abaikan itu. Mungkin mereka pikir setelah lolos paripurna niat mengganti sudah mulus. Kami pastikan sesuatu yang salah caranya maka akan semakin terjal dan potensi gagalnya besar," tegasnya.

Hal Biasa

Akademisi ilmu politik dan pemerintahan, Muhammad Taufik melihat fenomena pergantian antar waktu (PAW) atau penggantian jabatan anggota legislatif oleh partai politik sebagai hal yang biasa. Namun ia menekankan, bahwa proses tersebut seharusnya ditempatkan sesuai ketentuan perundang-undangan dan regulasi yang ada. Menurutnya, fenomena ini bukan sesuatu yang baru muncul. Sejak era kekuasaan Presiden Soeharto dikenal istilah recall. Yaitu semacam penarikan atau proses PAW dari partai yang berkuasa saat itu, terhadap anggota legislatif. Namun kondisi itu dulu, dirasa menyulitkan bagi masyarakat. Sehingga tuntutan untuk menghilangkan hak recall dari partai politik menguat. Dinamika itu kemudian kian menarik. Ketika partai politik tidak punya hak recall, ketaatan anggota kepada partai politik menjadi lemah. Dan partai politik juga merasa harus punya kekuatan untuk bisa mengontrol kadernya yang duduk di lembaga legislatif. "Maka, pasca reformasi 1998 yang ditandai dengan digelarnya pemilu 1999, eksistensi dan peran legislatif menguat. Menjadi superbody. Penguatan kelembagaan dewan perwakilan rakyat itu turut pula mendongkrak penguatan partai politik," ujar dosen Unmul kepada Disway News Network. Ia menekankan, bahwa makna wakil rakyat adalah orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu untuk mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Oleh karena itu ia mengingatkan bahwa setiap partai politik harus menghargai kepentingan rakyat yang memiliki anggota legislatif. "Di satu sisi memang, anggota dewan pencalonannya melalui partai politik. Tetapi dia tidak bisa terpilih juga kalau tidak dipilih oleh rakyat. Makanya lembaga itu namanya dewan perwakilan rakyat, bukan perwakilan partai politik," jelasnya. Anggota dewan tambah dia, dipilih oleh rakyat untuk menjabat selama lima tahun sesuai masa jabatan. Itu, menurutnya juga harus menjadi pertimbangan besar bagi partai politik yang ingin merotasi atau menggantikan posisi kadernya di legislatif. Oleh karena itu, dalam konteks polemik penggantian ketua DPRD Kaltim, Makmur HAPK diakuinya sebagai persoalan yang jalur penyelesaiannya melalui mekanisme internal partai. Tetapi ia mengingatkan bahwa ada mekanisme yang harus dijalankan. Yang mana telah diatur dalam undang-undang partai politik. "Maka, sebaiknya ikuti regulasi ada. Yang dibuat oleh legislatif sendiri," imbuhnya. Seharusnya, menurut dia, semua pihak memiliki kesabaran dalam proses ini. Bahwa masih ada proses yang sedang ditempuh Makmur HAPK. Sebaiknya dihargai. Karena undang-undang menyentuh bahwa proses tersebut memang bisa ditempuh. Ia mengatakan, bahwa proses PAW menandakan ada konflik internal di partai. Penyebabnya, macam-macam. Ada yang dari konflik pengurus di level pusat, kemudian merembet ke daerah. Ada pula konflik yang terjadi karena perbedaan pendapat orang-orang baru dan orang lama di dalam partai tersebut. "Biasanya, dampaknya, memunculkan aliran-aliran baru di tubuh partai. Tinggal urusannya siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam proses hukum saja." Taufik berkata lagi, bahwa memang sebaiknya suara rakyat terlegitimasi. Dihargai sebagai sebuah proses demokrasi. "Proses PAW atau penggantian posisi anggota dewan kembali ke undang-undang saja. Yang sudah menetapkan syarat. Bahwa Mekanisme konflik internal di partai politik sudah diatur sedemikian rupa." "Jadi sebaiknya kembali ke undang-undang saja. Ada syarat-syarat yang sudah ditetapkan. Karena memang anggota dewan mewakili rakyat bukan partai politik," pungkasnya. Selain Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Balikpapan menghadapi persoalan serupa. Sejumlah kader senior terancam didepak secara paksa dengan tuduhan pelanggaran etik dan disiplin.

Aturan PAW

Regulasi Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, PP 16 Tahun 2010, PKPU 22 Tahun 2010, PKPU 03 Tahun 2011 dan PKPU 02 Tahun 2016. Tahapan Pemberhentian Antarwaktu anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota ada di Pasal 139 UU 23 Tahun 2014 dan Pasal 193 UU 23 Tahun 2014. Dalam Pasal 139 ayat (1) Anggota DPRD Berhenti Antarwaktu karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Lebih lanjut disebutkan pada Pasal 139 ayat (2) alasan diberhentikan karena sejumlah alasan. Pertama,  tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD selama 3 (tiga) bulan berturut turut tanpa keterangan apapun. Kedua melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD. Ketiga dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Dan keempat diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kelima, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Keenam, melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Ketujuh, diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan terakhir menjadi anggota partai politik lain. *DAS/YOS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: