Bankaltimtara

Rudi Rubiandini dan PI

Rudi Rubiandini dan PI

MELANJUTKAN catatan pekan lalu, masih soal participating interest (PI) 10 persen (Baca: Perusda Anak Pinak). Saya baru dapat jawaban yang cukup memuaskan. Yang jawab juga bukan kaleng-kaleng. Mungkin Anda sudah kenal dengan Dr Ing Ir Rudi Rubiandini RS, Dipl.-Ing— akademisi dan pengamat perminyakan nasional.

Rudi Rubiandini mendapatkan gelar S-1 Teknik Perminyakan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1985. Kemudian mendapat gelar doktoral di Technische Universitat Clausthal, Jerman 1991. Salah satu lulusan terbaik di universitas itu. Ia juga pernah menjabat sebagai wakil Menteri ESDM pada Kabinet Indonesia Bersatu. Pernah juga menjabat sebagai Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Kebetulan ketemu pada acara Temu Media 2021 di Kutai Kartanegara (Kukar) yang digelar SKK Migas Kalimantan-Sulawesi (Kalsul) dan Pertamina Hulu Mahakam (PHM), Kamis (14/10/2021). Kebetulan saya diminta menjadi moderator pada acara tersebut. Ini kegiatan tahunan yang selama pandemi untuk kali pertamanya diselenggarakan secara tatap muka. Dilakukan untuk wartawan di empat daerah secara bergiliran; Penajam, Balikpapan, Samarinda dan Tenggarong, Kukar. Menurut Rudi, PI 10 persen itu hanya sebagai penunjang. PI bukan ditawarkan untuk pemerintah daerah. Tapi untuk perusahaan daerah (Perusda). Sebelum itu, PI ditawarkan untuk Pertamina. Karena keinginan daerah penghasil minyak dan gas bumi untuk berkembang, maka PI akhirnya ditawarkan ke perusahaan daerah (Perusda) atau BUMD. Dengan begitu, harapannya perusda bisa berkembang dan punya kemampuan untuk masuk ke industri hulu migas. Nantinya secara berkelanjutan perusda diharapkan bisa mandiri dan menghasilkan pendapatan bagi daerah secara berkesinambungan. Karena itu, alokasi dana yang didapatkan dari PI, kata dia, semestinya diutamakan untuk pengembangan perusda itu. Tidak serta merta langsung masuk ke kas daerah. “Untuk kas daerah kan sudah ada DAK, DAU dan dana bagi hasil (DBH)”. Rudi yang kelahiran Tasikmalaya Jawa Barat itu, memberikan penjelasan komprehensif dan mudah dipahami. Ia mencontohkan di beberapa daerah sudah ada perusda yang mampu mengelola sendiri blok migas. Meski skala kecil. Misalnya saja PT Migas Hulu Jabar (MUJ)—badan usaha milik daerah (BUMD) Pemda Jabar. MUJ kini berani menawarkan diri untuk mengelola pengeboran minyak di Blok Rokan, Riau. Bahkan informasi yang saya dapat, MUJ juga berhasil memenangkan tender pemipaan gas dari Bontang ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sebetulnya, katakanlah BUMD Kaltim seperti PT Migas Mandiri Pratama (MMP) sudah siap, mungkin punya peluang besar untuk bisa mengerjakan pemipaan itu. Ini menjadi PR pemerintah daerah dan DPRD. Bagaimana dapat mendorong perusahaan daerah untuk memiliki kemampuan itu. Bukan hanya mengelola dana PI saja, tapi lebih jauh lagi menjadi kontraktor hulu migas. Kendati ini harus dilakukan secara bertahap. Bukannya memangkas anggaran atau buru-buru dimasukan ke kas daerah. Seperti yang dikeluhkan Dirut PT MMP Kaltim Edy Kurniawan, yang katanya hanya disisakan Rp 2 miliar. Banyak catatan yang perlu menjadi PR bersama dari diskusi bersama Rudi. Selain soal PI dan BUMD, juga  terkait Perda Bagi Hasil Migas. Ini merespons pertanyaan teman-teman wartawan yang mempertanyakan daerah penghasil yang seolah tidak diperhatikan. Dana Bagi Hasil (DBH) tidak dirasakan hingga ke wilayah yang justru berada di ring satu. Intinya soal pemerataan dana tersebut. Kaltim menurut Rudi, perlu memilki peraturan daerah (Perda) tentang bagi hasil minyak dan gas bumi. Perda tersebut mengatur alokasi dana hingga ke kecamatan dan desa. Jika itu tidak ada, kemungkinan besar DBH akan nyangkut di Pemerintah Provinsi atau di pemerintah kabupaten/kota. Jadi, kata Rudi, ini muaranya ada di pengelolaan DBH di daerah. Karena tiap tahun pemerintah pusat mengalokasikan DBH melalui pemerintah daerah. Padahal Kaltim saat ini menjadi produsen migas ketiga besar di Indonesia. Setalah Jawa Timur dan Riau. Kaltim berkontribusi sebesar 19 persen untuk minyak dan 21 persen gas bumi secara nasional. Jatim sudah punya Perda Bagi Hasil. Papua sudah ada. Bahkan Bojonegoro pun lebih dulu memiliki Perda itu. Sehingga masyarakatnya merasakan kehadiran DBH. Kaltim kapan? Ketiga, soal energi baru terbarukan (EBT). Rudi tidak percaya kalau EBT nantinya akan menggantikan energi fosil. Selama ini anggapan banyak orang, energi fosil akan habis. Termasuk saya. Mungkin juga Anda. Namun penjelasan Rudi tidak seperti itu. Ia menjelaskan soal cara alam bekerja. Menganalogikan air di dalam kolam yang disedot setiap hari lama-lama tentu habis. Tapi ternyata tidak. Karena ada hujan lagi. “Saya sejak lulus tahun 1980-an, dikatakan migas akan habis 10 tahun lagi. 10 tahun berikutnya, kok belum habis. Bahkan hingga sekarang masih berjalan,” jelas Rudi Rubiandini. Pernyataan Rudi ini seperti bertolak-belakang dengan pemerintah yang tengah mendorong bauran EBT. Pemeritah menargetkan pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) bauran EBT mencapai 23 persen pada 2025. Posisi pada akhir 2020 masih berkisar 14 persen. Sementara energi fosil masih dominan di angka 86 persen. Dalam Rencana Umum Penyediaan Pembakit Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (persero) 2021-2030 pun bauran EBT ditingkatkan. Menjadi 51,6 persen. RUPTL 2021-2030 dinilai sebagai RUPTL paling hijau. Sebelumnya hanya memperkirakan di angka 48 persen saja. Rudi tidak membantah itu. Pembangunan energi terbarukan harus tetap dilakukan, diberi ruang yang besar. Namun, jangan juga menegasikan energi fosil. Yang di depan mata tidak digarap, sementara yang jauh dikejar. Secara logika saja, kata dia, dilihat dari presentase saat ini, akan sulit menggantikan energi fosil dengan EBT. Apalagi kebutuhan masyarakat akan energi terus meningkat. Ia mencontohkan di Inggris. Karena terlalu fokus terhadap energi ramah lingkungan akhirnya mengalami krisis energi. Industri mereka terancam gulung tikar. Mengantisipasi itu, kini Inggis juga mulai membuka kembali energi dari batu bara. Energi fosil akan habis jika kita tidak bekerja untuk mencarinya. Karena hasil minyak dan gas bumi yang saat ini dirasakan, kata dia, itu hasil jerih payah orang terdahulu. Karena untuk eksplorasi migas paling tidak dibutuhkan 5- 10 tahun beroperasi. Itu baru dirasakan manfaatnya. Keuntungannya. Karena itu industri hulu migas ini butuh uang besar. Lantaran selama 5-10 tahun belum tentu mendapatkan hasil yang diinginkan. Pun masih terancam gagal. Artinya sumur yang dibor bisa saja  tidak memiliki kandungan besar. Atau sama sekali tidak memiliki kandungan minyak atau gas. Sementara investasinya udah kelewat besar. Tak salah bila sebagian orang menganggap industri hulu migas ini setengah berjudi. Pertanyaannya, siapa yang mau investasi dengan modal besar, risiko tinggi, dan belum tentu menghasilkan? Itulah kenapa di industri hulu migas ini butuh investasi asing. Yang memiliki kemampuan finansial besar.  “Sebetulnya, kita terpaksa mendatangkan investor atau perusahaan asing ke Indonesia. Karena mereka yang punya dana besar dan siap dengan risikonya,” jelasanya. Saya lupa menanyakan soal nuklir. Apakah nuklir ini masuk kategori energi baru terbarukan (EBT)? Tapi jika merujuk Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebelum diubah dengan Perpres No. 79 Tahun 2014, nuklir masih dimasukkan ke dalam kelompok EBT. Bahkan seperti dilansir CNBC (25 maret 2021), Nuklir sudah masuk draft RUU EBT dan masuk Prolegnas Prioritas 2021. Jadwalnya sih Oktober tahun ini. Jika tidak ada revisi-revisian. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa nuklir dapat menjadi solusi energi masa depan. Bahkan ketika saya ngobrol dengan mantan Dirut Perusda Kelistrikan Kaltim Abdurachman Chered, akhir Maret lalu, EBT seperti tenaga surya nantinya bermuara ke nuklir (PLTN). Pun sinyalmen pengembangan PLTN untuk kebutuhan ibu kota negara (IKN) baru di Kaltim sudah mulai membahas kemungkinan dibangun PLTN. Adalah Deputi Pengkajian Keselamatan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Dahlia Cokrowati Sinaga yang menyampaikan itu pada sesi pertemuan di Balikpapan, September lalu. Seperti dikutip dari nomorsatukaltim.com—Disway News Network (DNN), Dahlia mengkhawatirkan jika pasokan listrik IKN tidak mampu terpenuhi oleh pembangkit di Kaltim. Terbukalah wacana pengembangan nuklir tersebut. Tapi, nanti kita bahas lagi soal nuklir ini. Di edisi berikut-berikutnya… Keempat, soal cost recovery (CR). Ini sebetulnya masih berhubungan dengan investasi besar di industri hulu migas. CR menjadi daya tawar kepada investor migas agar mau melakukan eksplorasi di Indonesia. Harapannya jika sudah berhasil, maka biaya yang mereka keluarkan itu akan diganti. Jika berhasil. Bagaimana jika tidak berhasil? Ya, tidak akan diganti. Kendati misalnya ketika sumur dibor keluar minyak atau gas, tapi kecil dan tidak memiliki nilai keekonomian. Tetap tidak diganti. Sistem penggantian CR juga dilakukan ketika kondisinya sudah menguntungkan dan dipotong dari keuntungan yang didapat itu. Sebetulnya negera diuntungkan dalam sistem bagi hasil (PSC). Apalagi porsi pembagian lebih berpihak pada negara. Minyak: 15 persen kontraktor dan 85 persen pemerintah. Gas: 30 persen kontraktor dan 70 persen pemerintah. Rudi bahkan membeber data, di mana besaran cost recovery berbanding lurus dengan besarnya pendapatan negara. Kurvanya menunjukkan semakin sedikitnya CR yang dikeluarkan pemerintah, semakin sedikit pula pendapatan negara. Begitu sebaliknya. Nah, saat ini posisinya agak berat. Beberapa perusahaan migas asing akhirnya pergi. Sementara untuk menarik minat lagi, tidak cukup hanya dengan CR. “Sekarang butuh kontrak yang lebih atraktif,” jelas Rudi. Jadi cost recovery harus dimaknai investasi yang besar. Bukan lagi beban negara. Lalu, bagaimana dengan Anda?. Bagi yang punya pendapat lain bisa dikirim ke email [email protected]. (*/jurnalis)  

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: