Rudi Rubiandini Sebut Belum Waktunya Andalkan EBT
Praktisi Migas Nasional Rudi Rubiandini menjelaskan secara gamblang bagaimana proses industri hulu migas yang kini berjuang untuk menghadapi tantangan. Untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari (BPOD) dan 12 Milion Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) di tengah terpaan isu dominasi Energi Baru Terbarukan (EBT). Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Energi yang dihasilkan minyak dan gas bumi (migas) masih mendominasi dalam memenuhi kebutuhan energi. Tidak hanya dalam negeri, tapi juga skala global. Praktisi Migas Nasional Rudi Rubiandini menjelaskan secara gamblang bagaimana proses industri hulu migas yang kini berjuang untuk menghadapi tantangan. Untuk mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari (BPOD) dan 12 Milion Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) di tengah terpaan isu dominasi Energi Baru Terbarukan (EBT). Hal itu ia paparkan saat menjadi pembicara dalam Temu Media Daerah 2021, yang digagas SKK Migas Perwakilan Kalimantan Sulawesi (Kalsul), di Hotel Novotel Balikpapan, Selasa (12/10/2021). Namun sebelumnya, kegiatan tersebut dibuka Manajer Senior Humas SKK Migas Kalsul Wisnu Wardhana yang memberikan gambaran situasi industri hulu migas terkini. Capaian lifting minyak di semester I pada 2021 mencapai 705 ribu BOPD atau setara 95 persen dari target capaian. Sementara lifting gas mencapai 5.638 MMSCFD atau setara dengan 96 persen dari target. "Kami optimis target produksi minyak 1 juta barel per hari dan 12 MMSCFD gas pada 2030 bisa tercapai," ujarnya. Sementara itu, Rudi Rubiandini mendorong agar SKK Migas bersama KKKS terus fokus meningkatkan produksi. Salah satu upayanya dengan memicu pemangku kepentingan untuk menyesuaikan nilai atraktif industri hulu migas. Sehingga Indonesia mendapat kembali atensi dari para investor atau perusahaan migas untuk melakukan eksploitasi di sumur-sumur tua. Atau melakukan eksplorasi pengeboran di wilayah Indonesia. "Untuk itu kita harus menyesuaikan fiscal term dan regulasi," paparnya. Ia menekankan bahwa persepsi EBT yang digadang-gadang akan menggantikan energi fosil adalah tidak benar. Nyatanya sampai saat ini sumber energi dari minyak dan gas bumi serta batu bara masih mendominasi energi secara global. Di dalam negeri sendiri, kata dia, kebutuhan energi masih ditopang minyak bumi dengan persentase mencapai 83 persen. "Migas dan batu bara itu 70 persen menguasai (energi) dunia, sedangkan EBT hanya 30 persen," terangnya. Adapun persepsi dunia terkait EBT, kata dia, memang sengaja digembar-gemborkan sebagai energi alternatif yang bisa menggantikan energi fosil. Sebagai upaya sebagian negara-negara pengembang teknologi EBT, agar produknya bisa diterima masyarakat dunia. Sementara dalam proses peralihan itu, masih memerlukan serangkaian proses yang panjang. Energi baru terbarukan memang perlu diberi kesempatan berkembang. Tapi, kata Rudi, tidak dengan serta merta meninggalkan energi fosil. Karena data menyebutkan bahwa kesiapan EBT masih jauh memenuhi kebutuhan. "Negara seperti Inggris, terlalu percaya diri pada EBT akhirnya mengalami krisis (energi)," katanya. Dominasi migas juga dinilainya akan lebih terasa pada saat geliat ekonomi kembali bergairah paska pandemi. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara berkembang juga masih sangat membutuhkan migas dan batu bara untuk menopang prosperity atau kemakmuran yang seiring meningkat dengan geliat ekonomi tadi. "Ciri-ciri negara berkembang itu kebutuhan energinya meningkat," katanya. Hingga saat ini, Indonesia berada di urutan 15 negara yang mengandalkan pasokan energi fosil dengan persentase baru 1 persen. Jauh di bawah Tiongkok sebagai negara digdaya dengan penggunaan energi fosil sampai 36 persen pada skala global. Satu tingkat di atas Amerika yang memanfaatkan energi fosil mencapai 16 persen skala global. "Kita di Indonesia baru menikmati kemakmuran itu. Bayangkan sekarang setiap rumah memasak dengan rice cooker, ada kulkasnya, ada televisinya. Ini semua ditunjang oleh sektor energi (berbasis) migas dan batu bara," terangnya. Hal yang sama dengan penggunaan energi gas. Di mana sampai saat ini hanya di Indonesia yang menggunakan gas tabung elpiji dengan persentase impor yang cukup besar. Sementara negara lain, memanfaatkan energi gas dengan infrastruktur yang lebih baik. Sehingga gas bisa langsung didistribusikan di dapur-dapur rumah tangga. "Memang kita masih terbatas infrastruktur," urainya. Rudi mendorong agar pemerintah segara menyesuaikan fiscal term industri hulu migas agar lebih atraktif di mata dunia. Sehingga bisa meningkatkan investasi terhadap perkembangan industri migas dan bisa mencapai target SKK Migas untuk memproduksi minyak 1 juta barel per hari dan 12 MMSCFD gas pada 2030 mendatang. "Kapan harus berubah, saya pikir sekarang lah saatnya," imbuhnya. RYN/ENY
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: