Direct Call atau Indirect
Tergiur juga menulis soal kabinet Presiden Jokowi yang baru. Tapi sudah terlalu banyak yang mengulasnya. Ada yang tidak suka. Setuju sekali. Hingga salut dan menganggap kabinet terbaik.
Yang ramai hanya di beberapa person saja. Antara lain, masuknya Prabowo ke kabinet. Ini yang paling santer dibahas. Lantaran Prabowo diketahui sebagai pemimpin partai oposisi. Kok bisa masuk, bagaimana nanti pola interaksinya. Oposisi tak bergigi dong. Begitu kira-kira anggapan sebagian pihak.
Tapi apapun itu, yang terpenting warga bisa damai. Jauh dari tindakan kerusuhan yang merugikan banyak pihak itu. Lihat saja di beberapa daerah di Timur Tengah. Miris sekali. Konflik berkepanjangan menyengsarakan warganya.
Jadi, kita bahas yang lain saja. Direct Call. Pelayaran langsung peti kemas dari pelabuhan dalam negeri ke pelabuhan tujuan di luar negeri. Tanpa singgah. Beberapa pekan terakhir ini ramai diberitakan. Disway Kaltim juga mengawal berita ini. Yang sejak 2018 lalu diresmikan Menteri BUMN Rini Soemarno. Dari Balikpapan menuju Shanghai.
Pelindo IV mencanangkan direct call di Indonesia Timur sejak 2018, salah satunya di Balikpapan. Melalui pelabuhan PT Kaltim Kariangau Terminal (KKT). Direct call juga dicanangkan di Makassar dengan tujuan Eropa.
Ibarat bus patas yang tak menaikkan penumpang di sembarang tempat. Sehingga bisa lebih cepat sampai ke tujuan. Namun bus patas biasanya tarifnya lebih mahal. Yang dijual adalah kenyamanan dan kecepatan. Biasanya berapa pun jumlah penumpang tetap jalan. Meski hanya satu orang.
Konsekuensinya di harga. Keuntungannya saat penumpang membeludak. Muatan penuh. Satu tarikan, hasilnya jauh melampaui biaya operasional.
Benny Oktariyanto, redaktur Disway Kaltim sempat mengeluh. Sulitnya akases data terkait direct call itu. Beberapa kali meminta wawancara dengan manajemen KKT kena ping-pong. “Padahal direct call ini kan kepentingannya KKT juga. Harusnya interest dong,” katanya.
Kenapa Disway terus mendorong terwujudnya direct call? Karena jika itu terlaksana dengan baik, efek penggandanya bisa meningkatkan perekonomian Kaltim. Dan tentunya kesejahteraan masyarakat.
Benny memahami itu. Kebanggaan bagi jurnalis jika beritanya bisa memberikan manfaat bagi masyarakat.
Direct call selain menarik, juga strategis. Bagi dunia usaha. Bagi perkembangan ekonomi Kaltim. Bagaimana komoditas ekspor bisa langsung dikapalkan ke pelabuhan tujuan. Tapi, persoalannya program ini belum berjalan maksimal. Bahkan, informasinya baru satu perusahaan saja yang aktif secara reguler melakukan itu melalui pelabuhan KKT.
Kemudian muncul wacana indirect. Penyiasatan jika Kaltim tidak memenuhi kuota ekspor. Maka digabung dengan komoditas dari pelabuhan lain. Baru diberangkatkan. Memang tidak langsung. Tapi setidaknya memangkas jalur birokrasinya.
Tiga hal penting yang menjadi catatan dari penyelenggaraan direct call atau indirect. Pertama, efisiensi waktu. Tanpa singgah di berbagai pelabuhan. Tanpa harus melalui pelabuhan di Jakarta, Surabaya atau di negara lain di luar negara tujuan. Pengiriman barang bisa lebih cepat. Sehingga produk bisa lebih terjaga kualitasnya. Apalagi untuk produk seperti bahan makanan. Ikan, udang dan semacamnya.
Kedua, menekan biaya. Penyelenggaraan direct call seyogianya harus bisa menekan biaya pengiriman. Asumsinya, tidak ada proses bongkar muat di pelabuhan yang disinggahi. Dengan biaya pengiriman yang lebih rendah dan waktu tempuh yang lebih cepat, tentu produk ekspor kita akan lebih kompetitif. Bisa bersaing dengan pasar internasional. Selain tadi, produknya juga lebih terjaga kualitasnya.
Ketiga, penyelenggaraan direct call bisa menambah kuota ekspor. Dengan terdatanya barang keluar masuk dan informasi kuota serta komoditas yang dibutuhkan, bisa merangsang pelaku usaha untuk berorientasi ekspor. Barangkali kebutuhan produk tersebut sebelumnya dipenuhi oleh daerah lain. Dengan adanya kuotasi itu, produk lokal bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
Nah, apakah pelaksanaan direct call itu sudah bisa memenuhi unsur tersebut? Jika belum, perlu dievaluasi. Program ini tidak akan bermanfaat bagi pelaku usaha dan tentunya bagi daerah. Sebagai mata rantainya.
Saat bincang-bincang santai dengan Ketua Kadin Balikpapan Yaser Arafat, beberapa waktu lalu. Direct call menjadi salah satu yang kita diskusikan saat itu. Selama ini, kata Yaser, beberapa perusahaan yang berorientasi ekspor melakukan pengiriman sendiri-sendiri. Tidak melalui KKT. Ada yang langsung dari perusahaan tersebut ke negara tujuan. Karena ada juga perusahaan yang memiliki pelabuhan sendiri. Atau mengirim dari pelabuhan lain. Misalnya dari Surabaya atau Jakarta.
Pertanyaan Yaser satu. Apakah pemerintah daerah bisa memberikan penawaran harga yang kompetitif? Jika lewat KKT. Jika hal itu belum bisa terjawab, maka jangan salahkan pengusaha tersebut melakukan pengapalan sendiri-sendiri.
Tapi, Yaser sepakat, pemerintah provinsi harus punya kebijakan untuk ini. Harus mengeluarkan aturan. Sehingga pemerintah daerah bisa mendata keluar masuk barang. Tapi konsekuensi biaya harus diperhitungkan.
Wajar bila pelaku usaha banyak berbicara soal tarif. Ini menyangkut keberlangsungan usaha mereka.
Apa yang harus dilakukan saat ini adalah konsolidasi. Konsolidasi para pelaku usaha yang berorientasi ekspor. Konsolidasi produk atau komoditas ekspor. Dan konsolidasi kebijakan untuk mendorong para eksportir tersebut.
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Provinsi Kaltim pada 23 Oktober lalu sudah menggelar focus group discussion (FGD). Mengundang asosiasi dan pelaku usaha. Membahas soal implementasi direct call ini. Tapi jangan selesai sampai di situ. Hanya di meja diskusi saja. Perlu terus dikonsolidasikan dengan pelaku usaha. Dibuat kebijakan-kebijakan yang mengikat. Prinsipnya jangan sampai membebani, tapi sebaliknya. Memberikan kemudahan dan layanan tarif kompetitif.
Sementara untuk konsolidasi produk atau komoditas ekspor, Pemprov Kaltim bisa membuat pemetaan. Mana saja peluang komoditas yang dibutuhkan. Yang kuotanya masih terbuka lebar. Dari pemetaan itu bisa diinformasikan kepada para pelaku usaha atau investor yang akan berinvestasi. Ini lho peluang bisnis dengan kualifikasi ekspor… Alangkah lebih baik lagi jika sekalian dipetakan. Ketersediaan lahannya dan bahan bakunya.
Jika dua hal itu sudah dilakukan, tinggal satu lagi. Dukungan kebijakan. Misalnya pengurangan beban pajak bagi para eksportir tersebut.
Apa pendapatan daerah berkurang akibat pengurangan beban pajak?
Tentu tidak. Justru jika usahanya berkembang, akan muncul peluang pajak baru. Secara tidak langsung. Misalnya, jika industri berorientasi ekspor tumbuh, maka secara otomatis raihan pajak daerah juga akan meningkat. Lapangan pekerjaan semakin luas. Kesejahteraan pekerja akan semakin meningkat pula.
Bagaimana dengan Anda ?
*/Masukan dan saran bisa dikirim melalui email [email protected]
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: