Esensi Mural dalam Nasional Demokrasi Indonesia

Esensi Mural dalam Nasional Demokrasi Indonesia

MURAL menjadi viral di jagat sosial media Indonesia beberapa hari belakangan. Ekspresi mural tersebut merupakan bentuk aspirasi rakyat terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia.

Banyak macam jenis mural yang dibuat akhir-akhir ini, salah satunya yang menjadi polemik ditengah masyarakat adalah “Not Found 404”. Mural sendiri berasal dari Bahasa latin yakni “Murus”. Murus diartikan sebagai dinding. Menurut istilah mural sendiri diartikan sebagai menggambar sesuatu jenaka dalam mediasi berupa dinding, tembok, maupun media luas lainnya yang bersifat permanen (myteam). Metode mural ditemukan pertama kali pada masa prasejarah, dimana manusia menggunakan dinding sebagai mediasi jejak-jejak kehidupan. Lukisan dinding terlama yang pernah ditemukan berumur 35.000 tahun sebelum masehi. Pada masa kolonialisme mural juga digunakan sebagai bentuk keresahan dan propaganda masyarakat Indonesia dalam melawan penjajahan. Jauh sebelum masa kolonialisme dimulai mural sendiri banyak di jumpai di Perancis. Mural tersebut digunakan untuk melakukan promosi politik pemerintahan pada waktu itu (republika). Dikutip dari CNN, mural tidak hanya sebagai bentuk apresiasi masyarakat namun juga digunakan untuk memperindah suasana ruangan yang banyak dijumpai di beberapa pusat perbelanjaan, hotel, dan tempat umum. Pantaskah mural ditakuti oleh pemerintah? Dalam sistem pemerintahan Indonesia pada hari ini di mana menganut sistem nasional dan demokrasi nasional, memiliki arti sebagai bentuk suatu usaha untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa). Selanjutnya dengan rasa kebangsaan tersebut seseorang atau sekelompok masyarakat memiliki hak dan kewajiban suatu usaha untuk memperjuangkan tuntutan serta mengemukakan suaranya dalam masalah-masalah politik (Tjokroaminoto). Dulu makna nasionalis selalu dikaitkan dengan persatuan umat dan masyarakat dalam kegiatan memerdekakan dan mendirikan pemerintahan Indonesia. Namun hal tersebut tidak terjadi demikian pada masa sekarang. Rasa nasionalisme dipupuk dengan dialektika moral dan adab. Kritik dianggap sebagai bentuk penghinaan. Tak ayal banyak sekali peraturan yang menyudutkan masyarakat dalam melakukan apresiasi atau mengemukakan pendapat. Mengutip perkataan Mohammad Natsir dalam buku Api Sejarah, gerakan nasional sebagai gerakan menanamkan kesadaran cinta tanah air, bangsa dan agama. Hal itu selaras dengan tumbuh dan kembangnya kemerdekaan berpendapat dan kemerdekaan menuntut hak masyarakat dan kewajiban pemerintah kepada masyarakat. Nasional selaras dengan sistem demokrasi. Hal tersebut berkaitan dengan cinta tanah air, cinta bangsa, dan cinta agama. Dalam mengungkapkan rasa cinta perlu adanya bentuk aksi nyata yakni bisa berupa mengungkapkan pendapat baik berupa kritik, masukan terhadap sistem dan kinerja pemerintahan. Hal tersebut merupakan esensi dari demokrasi, mengeluarkan pendapat di depan umum sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 5 ayat 1, pasal 20 ayat 1 dan pasal 28 tentang: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum. Demokrasi berasal dari kata Yunani yakni “Demos” adalah rakyat dan “kratos” adalah pemerintahan. Menurut istilah demokrasi diartikan sebagai bentuk sistem pemerintahan rakyat, yang mana rakyat sebagai tombak utama dalam bentuk aspek pengambilan keputusan pemerintahan (Merphin. P). Demokrasi adalah gabungan antara cara dan tujuan pengambilan keputusan. Sehingga diharapkan keputusan-keputusan kebijakan pemerintah dapat dirasakan oleh masyarakat luas serta mendukung pelaksanaannya. Demokrasi menanamkan konsekuensi pengakuan bahwa semua manusia setara, sehingga tidak satupun orang boleh menjadi pemerintah tanpa persetujuan dari yang diperintah. Baik dalam bentuk kebijakan maupun sistem pemerintahan. Pemerintah akan diakui, pemerintah akan diapresiasi ketika masyarakat merasakan kebaikan-kebaikan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri. Di mana kebijakan tersebut selaras dengan kebutuhan dan keinginan rakyatnya. Di masa pandemi ini, keresahan-keresahan masyarakat terus bertambah setiap harinya. Berawal dari pandemi COVID-19, kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi, sistem vaksinasi massal, hingga kasus ketidakadilan hukum terhadap korupsi dana bantuan sosial. Hal itu dikemas sedemikian rupa sehingga menghasilkan kejenuhan terhadap masyarakat. Kejenuhan tersebut menimbulkan reaksi di tengah masyarakat. Penyaluran reaksi masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dilakukan dalam bentuk mengeluarkan pendapat. Baik dalam bentuk tulisan, lisan maupun gambar. Diharapkan pendapat tersebut dapat diapresiasi oleh pemerintah. Namun sungguh disayangkan, ketika mengungkapkan pendapat sebagai esensi nasional demokrasi Indonesia dianggap objek bentuk kejahatan dan kriminal. Pembuat mural dianggap sebagai kritik yang tidak bermoral. Hal itu tidak selaras dengan sebuah aturan yang sudah ditetapkan. Peraturan adalah sebuah peraturan, dibuat dengan sebuah tujuan yang sudah dipahami dan disepakati. Adanya pelanggaran berarti menunjukkan lemahnya dalam menghormati. Tapi coba kita pikirkan bersama, tujuan macam apa yang diemban sebuah peraturan apabila tidak membawa kesejahteraan bagi pelaksanaanya. (*/boy) *Penulis adalah Kepala Bidang Pemberdayaan Umat Himpunan mahasiswa Islam (HMI) Cabang Balikpapan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: