Dilema PPKM; di Antara Kesehatan dan Bisnis

Dilema PPKM; di Antara Kesehatan dan Bisnis

“Intinya saya setuju dengan adanya PPKM. Tapi perlu diingat, bukan hanya aspek kesehatan yang perlu diperhatikan. Tapi ekonomi masyarakat juga,” pungkasnya.

Nol Pendapatan

BERALIH ke Samarinda, salah satu destinasi wisata buatan, Taman Salma Shofa kini mulai harap-harap cemas. Karena sejak pertama kali PPKM diberlakukan. Dan Pemkot Samarinda meminta destinasi wisata tutup. Tempat rekreasi kolam renang yang terletak di Mugirejo itu tutup.

Sadam Husin, pengelolanya bilang, bukan hanya Salma Shofa. Namun seluruh destinasi yang tergabung dalam Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia (PUTRI) Samarinda kompak tutup. Karena menuruti titah pemerintah. Dan dibarengi kesadaran akan perlunya mereka berperan dalam menurunkan kurva penularan COVID-19.

Tapi sudah lebih satu bulan penutupan berlangsung. Hitung-hitungan mulai berlaku. Pasalnya, destinasi wisata merupakan salah satu bidang bisnis yang, tutup atau buka, harus tetap dirawat. Karena kalau dibiarkan begitu saja, akan mengalami kerusakan komponen yang membuat pengeluaran akan lebih bengkak lagi.

Jadi, kolam tetap dirawat, pekerjanya tetap bekerja sebagaimana mestinya. Sederhananya, operasional tetap jalan, sementara pendapatan, nol rupiah.

“Selama Covid ini saja jumlah pengunjung turun hingga titik terendahnya di angka 95 persen. Kalau rata-ratanya, sih, kami cuma dapat tertinggi itu 20 persen dari masa sebelum pandemi. Kalau sekarang, ya tidak ada kunjungan sama sekali,” jelas Sadam.

Meski pendapatan sedang seret, Sadam menilai PPKM tetap lah kebijakan paling jitu yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Setidaknya dari aspek kesehatan. Apalagi jika eksekusinya dilakukan dengan baik. Ia percaya jumlah penurunan kasusnya akan lebih signifikan.

“Tapi kita lebih suka kalau ada subsidi, sih,” katanya.

Sadam merasa kebijakan ekstrem dari pemerintah adalah pilihan yang seksi. Karena dari aspek ekonomi, PPKM yang tanpa kepastian ini akan membunuh harapan pengusaha. Ekstrem yang dimaksudnya adalah, jika tutup, ya sekalian semua tutup total. Fokus ke pemulihan kesehatannya dulu. Dengan catatan diterapkan dengan benar. Jangan ada pembiaran untuk mereka yang colongan membuka usaha.

“Atau sekalian buka saja. Kembali seperti semula. Adakan pembatasan 50 persen pengunjung. Serta syarat harus menerapkan prokes yang ketat,” usulnya.

Bicara soal kolaps, Sadam yakin destinasi yang dikelolanya masih bisa bertahan walau PPKM hingga akhir tahun. Namun bukan itu poinnya. Pemerintah tetap harus memperhatikan aspek ekonomi karena jika pun diperbolehkan buka kembali. Unit usaha, terutama destinasi wisata, perlu waktu berbulan-bulan lagi untuk pemulihan.

“Kalau boleh buka pun belum tentu ada yang datang, loh. Kami harus promosi ulang lagi segala macam. Ini yang harus diperhatikan,” ucapnya.

Pada dasarnya, iklim usaha di Kaltim khususnya. Di mana daerah ini menjadi previlensi nomor dua setelah DKI Jakarta, harus lah menjadi titik perhatian. Vaksinasi harus dikebut untuk mencapai heard imunity. Lalu selanjutnya, kebijakan apa yang ramah untuk pengusaha lokal, namun tetap  dalam jalur tepat untuk membantu iklim usaha tumbuh. Karena kalau menunggu pandemi kelar, sampai kapan? Ava

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: