Bupati PPU: Saya Ajak Seluruh Kepala Daerah Tak Urusi Covid

Bupati PPU: Saya Ajak Seluruh Kepala Daerah Tak Urusi Covid

Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Abdul Gafur Mas'ud sewot. Ia mendeklarasikan mundur dari penanganan COVID-19. Politisi muda itu juga mengajak kepala daerah lain mengambil langkah serupa. Opo Tumon?

PPU, nomorsatukaltim.com - Politisi Partai Demokrat itu tak mampu menahan kekesalan. Program pengadaan bilik disinfektan atau sterilisasi virus yang dilakukan tahun lalu, jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Bahkan, Kejaksaan sudah mulai ‘mengintip’ perkara itu.   

"Saya mengajak seluruh kabupaten/kota untuk tidak mengurusi ini (COVID-19). Karena Keppres itu tidak berlaku, ternyata. Ini ternyata menjadi bahaya," respons AGM.

Keppres yang ia maksud ialah Keputusan Presiden No 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

"Kenapa, karena dalam Keppres 2020 itu, tentang keadaan luar biasa. Sekarang ini, itu menjadi masalah untuk saya. Kami diperiksa dan lain-lain," sebutnya.

"Karena ini menjadi masalah untuk kami. Saya tidak mau jadi masalah. Kami mau menolong masyarakat, tapi ternyata menjadi masalah hukum. Saya tidak mengerti ini masalah hukum ini kenapa. Masalahnya kenapa?” ucapnya.

Tahun lalu, Pemkab PPU mendatangkan bilik sterilisasi atau chamber disinfectant. Jumlah seratus unit untuk manusia dan 4 unit untuk kendaraan. Masing-masing berharga satuan Rp 27 juta untuk bilik kecil, total Rp 2,7 miliar. Dan Rp 500 juta untuk bilik besar, total Rp 2 miliar.

Sementara dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan ada lebih bayar. Bilik manusia lebih bayar sekira Rp 509 juta, sementara yang untuk kendaraan lebih bayar sekira Rp 1,2 miliar.

"Kita mengadakan chamber, jadi masalah. Padahal masker saja yang dari harga 50 ribu satu kotak, saat itu di 2020 menjadi 500 ribu sampai jutaan rupiah. Chamber itu datang di bulan 3, yang masih kurangnya perkapalan, pesawat dan akomodasi lainnya," urainya.

Politisi Demokrat itu mengaku kecewa, lantaran upayanya melindungi warga dipermasalahkan lembaga pengawas.

Ia mengartikan Keppres itu sebagai peringatan negara dalam kondisi luar biasa (KLB). Risiko apapun diambil untuk mengatasi situasi darurat. Termasuk penggunaan anggaran.

"Harusnya dalam dunia kesehatan, itu seperti keadaan perang. Jadi apapun dilakukan untuk memutus virus ini. Tapi kalau itu dilakukan dan ke depan menjadi masalah, mohon maaf kami tidak akan mengurusi itu," urainya.

Tak menyangka hal itu dipermasalahkan negara. Padahal menurutnya ia sudah bekerja sepenuh hati untuk memulihkan situasi. Baginya itu sesuai dengan amanat Keppres tadi.

Maka itu, ia menyayangkan sikap penegak hukum. Yang menyoal saat keadaan sudah berbeda. Tak mempertimbangkan penilaian situasi pada saat awal lalu.

Justru ketika keadaan mulai membaik, kebijakan yang sudah diambil, dipersoalkan. "Kita dijadikan masalah, dan dituntut untuk menyesuaikan harga yang tidak sesuai dengan keadaan pertama itu," sebutnya lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: