Dengkul dan Pinggul

Dengkul dan Pinggul

Di Surabaya kampung Arab itu berada di sebelah Pecinan kawasan Kembang Jepun.

Memang Al Irsyad punya gedung baru. Sembilan lantai. Letaknya di seberang RS Al Irsyad yang lama.

Dari lantai atas gedung baru ini terlihat masjid Ampel. Terlihat juga keindahan jembatan Suramadu. Ada jembatan penghubung gedung lama dan gedung baru. Yang melintas di atas Jalan KH Mas Mansyur. Jembatan itu hampir selesai dibangun.

Jembatan itu tidak hanya akan dipakai lalu lintas orang dan barang. Pun dokumen medis, obat, dan hasil lab dikirim lewat situ: pakai teknologi pelontar. Di gedung baru itu ada empat ruang operasi, kamar-kamar VIP, fasilitas melahirkan dan operasi orthopedi.

Desain gedungnya, ruangannya, finishing-nya, pilihan materialnya, dan warnanya mengesankan sangat modern. “Kami terinspirasi oleh RS modern di Turki dan RS baru di Jogja,” ujar dr Ahmad Bakarman, direktur RS Al Irsyad.

Dengan gedung baru itu, kata Bakarman, Al Irsyad memilih dua unggulan layanan: orthopedi dan kelahiran bayi. Itulah sebabnya ahli orthopedi terkemuka Surabaya Prof Dr Dwikora ada di RS ini.

Dwikora, 57 tahun, asli Universitas Airlangga. Pendidikan dokter, spesialis 1, spesialis 2, doktor, dan guru besarnya di Unair. Ia beberapa kali ke Jepang memperdalam keahliannya.

Ia lahir di Jember. Sekolahnya di SD Katolik di kota itu. Lalu ke SMP dan SMA Negeri. Saat di SMA, Dwi masuk RS selama sebulan: kena tifus. Saat itulah Ia terpikir untuk jadi dokter.

Prof Dwikora tidak berhenti sebagai ilmuwan. Ia terus melakukan penelitian di bidangnya. Yang terakhir soal tulang rawan.

Kerusakan tulang rawan begitu sulit diperbaiki. Itu karena di tulang rawan tidak ada saluran darah. Juga tidak memiliki syaraf. Tulang rawan yang aus, atau rusak, tidak bisa tumbuh lagi.

Di luar negeri, katanya, sudah ada bahan untuk menambal tulang rawan. Tapi mahalnya ampun-ampun. Tidak akan terjangkau oleh pasien Indonesia.

Itulah yang ingin ia atasi. Dengan bahan lokal yang aman: bubuk tulang rawan sapi yang dipilih dan diproses secara khusus. Ujicoba terhadap binatang sudah dilakukan. Sudah selesai. Sudah terbukti. Jurnal internasional sudah banyak ia publikasikan.

Setahun terakhir ia mulai mencoba untuk manusia. Hanya pasien yang bersedia menjalaninya saja yang mendapat layanan seperti itu. Sudah sekitar 10 orang pasien yang mau mengikuti uji coba itu.

Di Indonesia memang baru Prof Dwikora yang melakukannya. “Hasilnya sangat baik,” ujarnya.

Tapi Prof Dwi belum berani memublikasikan di jurnal internasional. “Yang saya publikasikan baru tulisan yang bersifat case report. Belum jurnal,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: