RKUHP Menurut Pakar dan Akademisi; Abdul Rais (3)

RKUHP Menurut Pakar dan Akademisi; Abdul Rais (3)

Dinilai Mengkhianati Rakyat dan Ancam Demokrasi

ABDUL Rais, praktisi sekaligus pengamat hukum di Balikpapan, menilai banyak kontroversi dalam RKUHP. Ia menyoroti tiga hal.

Pertama, pasal 70 ayat 1 huruf b. Yang berbunyi "Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan terdakwa berusia di atas 75 (tujuh puluh) tahun".

"Kejahatan tetaplah kejahatan. Sekalipun dunia akan runtuh, hukum harus ditegakkan. Jadi baik tua maupun muda, kalau melakukan perbuatan hukum, harus diberi efek jera. Sekarang kalau orang umur di atas 75 tahun menyelundupkan narkoba, bagaimana? Ini pasal harus ditolak," katanya kepada DiswayKaltim.com, Sabtu (28/9/2019).

Kedua, tentang seorang gelandang dapat didenda Rp 1 juta. Seperti tertuang dalam pasal 432 RKUHP tersebut. Berbunyi "Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori 1".

Menurut Rais, pasal itu tak searah dengan pasal 34 UUD 1945. Oleh karena itu, pasal tentang gelandang dalam RKUHP itu juga harus ditolak. Karena merupakan bentuk penganiayaan negara terhadap rakyatnya. Baca Juga: RKUHP Menurut Pakar dan Akademisi; Syamsudin

"Ini sangat bertentangan sekali dengan UUD 1945. Pemerintah seharusnya menjamin setiap warga negara. Menjamin kesejahteraan yang berkeadilan. Tugas pemerintah menjaga segenap tumpah darah Indonesia. Kalau tidak mau, ya jangan jadi pemerintah. Negara bukan lagi meninggalkan, tapi memang tidak hadir kalau seperti pasal RKUHP itu," ungkapnya.

Selain itu, Lanjut Rais, poin yang paling penting untuk ditolak adalah tentang penyerangan atau menjatuhkan martabat Presiden. Dipenjara 4 tahun 6 bulan. Atau denda Rp 200 juta. Yakni pasal 219 RKUHP itu.

Bagi Rais, itu merupakan ancaman. Bentuk pembungkaman demokrasi. Pasalnya, mengkritik bisa saja dianggap penyerangan martabat Presiden. Bahkan, tak ada penjelasan detail soal pasal RKUHP itu.

Jika pasal itu ikut disahkan, Indonesia bisa kembali ke zaman orde baru. Di mana, kata Rais, dominasi politik saat itu mengekang kebebasan berpendapat rakyat.

"Rakyat ini adalah pengontrol pemerintah. Fungsi rakyat dalam hal kemerdekaannya berpendapat harus dijamin. Kalau bicara negara demokrasi, biar Presiden dihina, itu tak termasuk suatu pencemaran. Kalau pasal itu terjadi (disahkan), maka itu (pemerintah) bisa dikatakan rezim otoriter," katanya.

Namun demikian, Rais tak serta merta menolak RKUHP seutuhnya. Pengacara kondang Balikpapan ini juga setuju dengan beberapa pasal. Yang sifatnya bicara moral. "Kalau pasal-pasal tentang pelarangan perzinahan, saya tentu setuju," pungkasnya. (sah/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: