Mengikuti Pelayaran Tongkang Batu Bara (2): Menanti Panggilan Dekat Muara Kaman
Ukuran bodi, kapasitas mesin dan baling-baling Lisa 53 dianggap sangat ideal. Sehingga membuatnya lebih tangguh dan cepat. Termasuk ketika dipergunakan untuk menarik tongkang ukuran 270 (feet) jumbo.
Oleh karenanya, Jumardin dan delapan awak Lisa 53 merawat kapal itu dengan baik. Kondisi kapal selalu terlihat bersih dan mengilap. Itulah tempat bekerja sekaligus tempat tinggal bagi para perantau dari Sulawesi Selatan ini.
Sudah sehari Lisa 53 tambat di sisi kanan (dari hilir) Sungai Mahakam. Sejak Sabtu pagi. Berjarak sekitar tiga kilometer dari Muara Kaman. Tempat tambat itu bukan dermaga. Melainkan hanya daratan belukar. Namun, pemilik lahan menarik retribusi setiap tongkang yang tambat. Jumardin tak mengetahui nominalnya. Ia hanya perlu melaporkan ke kantor pemilik Lisa 53. Berapa lama ia tambat di tempat itu.
Waktu tambat tongkang akan disesuaikan dengan tagihan yang diajukan pemilik lahan. Kadang mereka hanya memantau dari jauh kapal-kapal yang tambat. Dan menghitung lamanya berada di pinggiran mahakam.
Lisa 53 tak sendiri, ada lima tongkang lain yang juga tambat di sepanjang bantaran itu. Semuanya mengantre untuk memuat batu bara di Senyiur. Begitulah peraturannya. Tongkang yang hendak masuk ke Senyiur harus menunggu panggilan. Kemudian dipandu menyusuri anak Sungai Mahakam tersebut. Jika antrean kapal tongkang di Muara Kaman sepanjang itu, artinya tongkang di sekitar dermaga Senyiur juga sedang ramai.
*****
PANGGILAN DATANG
Para awak Lisa 53 sudah selesai membersihkan kapal menjelang petang. Sebagian menyelesaikan memasak hidangan makan malam. Sebagian bersiap menunaikan salat magrib di dek paling bawah. Itulah ruangan sempit. Ditempati untuk tidur, ibadah dan aktivitas lainnya bagi awak kapal ini.
Hidangan selalu tersedia. Dengan menu ala pelaut. Ada jadwal piket memasak tiga kali sehari. Umumnya yang terlihat, para awak kapal begitu disiplin soal makan. Pun sebenarnya ketika melakukan aktivitas lainnya.
Kapten Jumardin terjaga hampir sepanjang malam. Di dekat radio. Di ruang kendali kapal. Ia menunggu panggilan. Layaknya seorang suami menanti kelahiran anaknya. Itulah panggilan untuk masuk ke Sungai Senyiur. Secara bergantian anak buah kapal menemaninya. Dan tentu saja bergelas-gelas kopi. Ia hanya tertidur beberapa jam menjelang pagi. Tapi panggilan itu tak kunjung datang. Padahal tongkang lain yang sebelumnya mengantre sudah meluncur memasuki Sungai Senyiur.
Paginya, Jumardin sedikit cemas. Ia berusaha menghubungi pihak yang menyewa kapal itu. Perusahaan yang menyuplai batu bara ke PLTU Embalut. Tidak begitu jelas terdengar pembicaraan mereka. Niatnya, ingin mengonfirmasi status pembelian batu bara dan jadwal untuk memuatnya.
Hingga Minggu 14 Februari 2021 pagi semua masih menunggu. Waktu demi waktu itu dilalui dengan aktivitas apa saja. Ada yang tidur. Lebih dominan yang berusaha menjangkau jaringan telekomunikasi. Agar bisa terhubung dengan siapapun melalui jalur perpesanan instan atau pun telponan. Sinyal internet jadi barang berharga di tempat itu.
Akhirnya panggilan itu tiba, Minggu sore. Melalui Radio di channel 14. Saluran khusus untuk tugboat yang tambat di kawasan itu. Sumber panggilan dari dermaga di Desa Senyiur. Datangnya sekitar pukul 16.00. Kapten seketika semringah. Dan segera mengabarkan kepada seisi kapal.
Semua awak langsung bergerak, mengabil posisi masing-masing. Ada yang menghidupkan mesin. Ada yang memeriksa keadaan dan posisi tugboat serta tongkang. Sebagian menunju haluan bersiap melepas tali tambatan.
Pukul 16.20, TB Lintas Samudera 53 lepas tambat. Pergerakan menuju ke muara Sungai Senyiur. Inilah saat yang mendebarkan. Yang membuat Jumardin tidak bisa terlelap. Ibarat kata truk trailer yang melalui gang sempit di pemukiman padat penduduk perkotaan. Alirannya begitu deras. Alurnya berkelok dan sempit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: