Kebun Salak Gagal Panen, Petani Kukar Sebut Tercemar Limbah
Seorang petani salak di Kabupaten Kutai Kartanegara menuntut ganti rugi atas dugaan menjadi korban pencemaran lingkungan. Kebun salak miliknya gagal panen karena terendam lumpur.
SAMARINDA, nomorsatukaltim.com – Muhammad, warga kilometer 11, Desa Tani Bhakti, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) menuntut ganti rugi Rp 1,5 miliar. Kebun salak seluas 3,4 hektare miliknya gagal panen lantaran terendam lumpur. Ia menuding perusahaan batu bara PT Insani Bara Perkasa (IBP) yang menjadi penyebab. Lahan seluas 3,4 hektare miliknya mulai digarap guna pertanian sejak 1987. "Lahan ini milik pribadi. lahannya saya beli. Saya tanami salak. Ada juga rambutan sama durian, tapi tidak saya hitung karena tidak produksi. Yang produksi hanya salak," bebernya. Kata Muhammad, lahannya mulai terkena dampak limbah pertambangan sejak 2013 silam. Lumpur serta genangan air yang merendam ribuan pohon salak miliknya, mengakibatkan ia merugi cukup besar. Pasalnya sejak saat itu, satu persatu pohon salaknya mati hingga akhirnya tak dapat dipanen. "Setiap hujan lahan terendam air sama lumpur. Karena ada galian tambangnya mereka (PT IBP) kan," ucapnya. Muhammad membantah informasi yang menyebut lahan miliknya yang berada di hulu lokasi tambang. "Lahan saya itu kenapa bisa terkena, karena mereka (PT IBP) ini bikin seperti bendungan. Jadi ada sungai alam itu mereka tutup. Jadi walaupun letaknya di hulu, lahan saya ini tetap tergenang juga. Karena lahan itu, lahan datar tidak ada parit," jelasnya. "Ada dari DLH Kukar waktu itu (meninjau), jadi tidak bisa bohong. Masalahnya airnya tidak bisa mengalir. Jadi kalau hujan itu terendam. Sungai yang mereka tutup itu sungai alam. PT IBP juga sudah lihat sendiri kok. Malah ada foto saya sama mereka," tegasnya. Disinggung apa saja yang akan diminta kepada PT IBP terkait ganti rugi tersebut. Namun Muhammad enggan bicara secara gamblang. "Ya kita pelajari dulu omongannya PT IBP nanti bagaimana. Jadi dilihat dulu, bagaimana rencana mereka menanggapi ini kan," ucapnya. Selain itu, Muhammad turut membantah statement dari pihak PT IBP, bahwa dirinya telah menyampaikan keluhan limbah. Bahkan telah ada pertemuan sebanyak dua kali, semua keluhan itu bahkan ia sampaikan langsung diatas lahan miliknya yang kini telah rusak akibat limbah. "Saya ada bertemu sebanyak dua kali," ucapnya. "Kondisi lahan saya ini hancur. Hancur, hancur betul sudah lahan saya. Pokoknya hancur, kondisinya berlumpur, ada tanah longsor juga. Sekarang saya masih menunggu omongan (penyelesaian masalah) dari PT IBP soal lahan saya ini seperti apa," tandasnya. Sementara itu, dikonfirmasi terpisah usai RDP, Andi Wijanarto selaku HSE Manager PT IBP mengatakan, bahwa pihaknya tidak mengetahui permasalahan tersebut. Bahkan pihaknya baru mengetahuinya, setelah DPRD melakukan sidak dan bersurat ke PT IBP. "Untuk kasus pak Muhammad ini kami tidak tahu betul, karena tidak ada pengaduan. Tahu-tahunya dari DPRD Kaltim langsung ada mengungkapkan ada masalah seperti ini. Mungkin kalau kami tahu, pasti akan kami selesaikan dengan baik-baik," ungkap Andi sapaan karibnya. Kata Andi, aduan atas keluhan limbah belum diterima pihaknya bukan hanya secara lisan, namun juga dalam bentuk surat. Sehingga permasalahan dampak limbah yang dialami Muhammad di Petani Salak, tanpa sepengetahuan pihaknya. "Belum ada, kalau ada biasanya nggak sampai bertahun-tahun seperti ini. Sama saja kami mengabaikan. Tapi ini kan kami tidak tahu. Beda ceritanya kalau kami tahu ada problem," terangnya. Menurut Andi, biasanya pihaknya akan langsung merespon bila ada keluhan masyarakat terkait dampak dari aktivitas pertambangan perusahaannya. "Malah biasanya kami juga sarankan mereka untuk melaporkan ke pihak terkait, misalnya DLH Kukar atau DLH Kaltim. Biasanya kan DLH Kukar datang untuk membentuk tim, ya pasti kita welcome seperti apa," ucapnya. Andi mengatakan, PT IBP tidak akan menghendaki bila permasalahan ini berujung pada ganti rugi. "Kita tidak mau yang dana segar, kalau ini jadinya kasus lingkungan. Karena kalau kasus lingkungan kan harus kita buktikan betul secara teknis. Tetapi beda cerita kalau pembebasan lahan atau sebagainya," tegasnya. Andi menuding, bahwa ujung dari penyelesaian permasalahan ini semata-mata ingin adanya pembebasan lahan. Menurutnya apa yang telah dibahas didalam RDP bukan lah murni membicarakan masalah lingkungan. "Mungkin perlu diketahui kalau lahannya pak Muhammad ini berada di hulunya kita, jadi tidak mungkin airnya naik ke atas. Kalau lokasinya di ilir mungkin benar karena tambang kita, tapi kalau di ulu kan tidak mungkin," katanya. Selain itu, dalam kesempatan ini Andi turut menyampaikan bahwa pihaknya juga tidak mengetahui atas sidak yang sudah dilakukan DPRD Kaltim. "DPRD sidak saja kami tidak tahu, karena waktu itu saya tidak ada. Dan kedatangan DPRD kan tidak diterima ya. Jadi kami tidak tau apakah betul DPRD atau bukan sebenarnya. Setelah itu tim lawyer kami yang mengecek barulah bersurat ke DPRD," ucapnya. Selanjutnya, pasca pertemuan itu pihak PT IBP akan memenuhi apa saja yang telah menjadi kesepakatan di RDP. "Dan sesuai yang disampaikan oleh ketua tim kami tadi. Bahwa dalam waktu 14 hari harus kita sampaikan sesuai yang akan diminta. Ini berupa negosiasi atau seperti apa. Jadi sekarang kami masih menunggu surat dari Pak Muhammad dulu, apa sih yang dimau dia," pungkasnya. Terkait kasus itu, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim memanggil pihak terkait. Dalam pertemuan yang berlangsung di Gedung E DPRD Kaltim Senin (15/2) siang. Anggota dewan menghadirkan warga yang terdampak akibat limbah tersebut. Hadir pula perwakilan dari PT Insani Bara Perkasa (IBP), selaku perusahaan yang melakukan penambangan. Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Jahidin mengatakan, rapat digelar atas pengaduan warga yang mengaku terdampak limbah penambangan. Muhammad, petani salak di desa itu melaporkan lahannya terendam lumpur dan tergenang air akibat aktivitas penambangan PT IBP. Kepada Komisi I, Muhammad menuntut ganti rugi senilai Rp 1,5 miliar, lantaran kebun salak di atas lahan seluas 3,4 hektare tak bisa dipanen. Disampaikan pula oleh Jahidin, bahwa pada 27 Januari lalu, Komisi I sempat meninjau secara langsung lokasi penambangan milik PT IBP tersebut. Guna menindaklanjuti laporan terjadinya pencemaran lingkungan. Namun saat melaksanakan Inspeksi Mendadak (Sidak), pihaknya justru sempat ditahan masuk ke areal penambangan oleh pihak keamanan PT IBP. Dengan alasan, bahwa Komisi I DPRD Kaltim belum ada izin dengan direktur perusahaan. "Saat tiba di sana, kurang lebih setengah jam, kami tidak dipersilahkan menunggu ataupun duduk. Jadi kami hanya bisa berdiri di depan gerbang masuk," terang Jahidin ditemui usai RDP, Senin (15/2) sore. Karena mendapatkan tindakan tak mengenakan dari pihak keamanan PT IBP, Jahidin beserta anggota Komisi I yang lainnya pun berswafoto di depan gerbang masuk pertambangan. Cara itu dilakukan sebagai bukti dokumentasi perjalanan dinas mereka. Namun, pihak keamanan tambang langsung menegur dan melarang keras adanya bentuk dokumentasi. Alhasil bersitegang pun sempat terjadi dengan sekuriti PT IBP. "Kami datang ke sana itu minta didampingi untuk ke lokasi. Kesimpulannya tidak ada satupun aturan yang menghalangi DPRD untuk melakukan pemeriksaan," ucapnya. "Jadi kami mengambil langkah untuk berangkat ke lokasi untuk mengecek, tapi tidak lagi lewat jalanan perusahaan. Dikatakan mereka itu jalanan tikus, padahal itu jalanan negara," lanjutnya. Usai kejadian tersebut, PT IBP pun melayangkan surat keberatan kepada Badan Kehormatan (BK) DPRD Kaltim. Menurut pihak PT IBP, tinjauan yang dilakukan Komisi I itu terkesan mendadak. Tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya. Jahidin lalu memaparkan, apa yang menjadi keberatan PT IBP sampaikan, adalah salah alamat. Sebab secara kelembagaan, keberatan harusnya disampaikan langsung ke Ketua DPRD Kaltim. Bukannya ke BK DPRD Kaltim. "Kalau kita inspeksi mendadak, itu tidak ada kewajiban memberitahukan. Namanya juga Sidak. Dan supaya mereka bisa pahami, tidak ada satupun perusahaan yang dapat melarang kami (DPRD Kaltim) untuk berkunjung. karena ini amanat undang-undang," tegasnya. Terkait soal ganti rugi lahan, kata Jahidin, pihak perusahaan telah mengusulkan untuk dilakukan pembentukan tim khusus yang menangani persoalan tersebut. Namun usulan tersebut ditolak oleh Jahidin dan sejawatnya. Jahidin pun menyampaikan, Komisi I merekomendasikan agar tidak perlu dibentuknya sebuah tim khusus dalam permasalahan ini. Dikarenakan hanya akan semakin memperumit tanpa menyelesaikan masalah tersebut. Sebab, tim hanya dapat dibentuk jika alokasi ganti rugi lahan dari anggaran APBN. "Karena tidak segampang itu untuk mengganti rugi. Mulai dari tanam tumbuh, itu harus ada tabelnya. Lalu terkait kepemilikan lahan, harus menggunakan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), Harga Pajak, PBB dan lain-lain," jelas Jahidin. Sehingga, lanjut Jahidin, permasalahan ganti rugi tidak semudah membalik telapak tangan jika tim yang harus turun. Apabila tim membebaskan di atas daripada NJOP. Maka akan dianggap melampaui kewenangan. Namun tidak ada kewenangan aturan yang membatasi, sehingga permasalahan tersebut bisa diselesaikan secara langsung antara PT IBP dan warga yang terdampak. "Bisa dilakukan dengan cara jual beli. Jadi cukup sederhana saja. Blanko di kecamatan terkait dengan jual beli, sudah ada. Lakukan jual beli di depan camat selaku PPAT," imbuhnya. Dengan demikian, politisi dari Fraksi PKB tersebut menjelaskan permasalahan tersebut bisa diselesaikan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Terutama soal besaran ganti rugi. Di mana harga ganti rugi bisa ditetapkan jika PT IBP dan warga sama-sama setuju. "Jadi kami menyarankan, selesaikan dengan baik antara kedua belah pihak. Ketika saya masih menjadi advokat, berulang kali saya menangani perkara yang sama. Perkara sengketa la antara penambang dengan pemilik lahan sering kita lakukan seperti itu," tandasnya. (aaa/yos)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: