Tim Kuasa Hukum Firman Keluhkan Peradilan Kliennya
Pasca demo penolakan UU Cipta Kerja, November 2020 lalu berbuntut panjang. Dua mahasiswa ditangkap, dan telah menjalani persidangan perdananya sebagai terdakwa. Kuasa hukumnya mencatat beberapa hal dalam peradilan yang berpotensi merugikan kliennya.
nomorsatukaltim.com - KUASA hukum Firman, terdakwa yang diduga membawa senjata tajam (sajam) dalam aksi menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja itu mengeluh. Di hadapan media, pihaknya membeber sejumlah fakta dalam persidangan perdana. Sidang itu digelar di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Rabu (27/1/2021) lalu. Mereka menuding, dalam proses peradilan yang tengah dijalani, Firman mendapatkan sejumlah ketidakadilan dari institusi penegak hukum. Dalam hal ini adalah aparat kepolisian, jaksa penuntut umum (JPU), hingga majelis hakim di PN Samarinda. Hal itu pula yang menjadi alasan terdakwa, melalui kuasa hukumnya untuk memilih eksepsi dalam persidangan agenda bacaan dakwaan. Bernard Marbun, Kuasa Hukum Firman menyampaikan hal-hal terkait ketidakadilan yang dialami kliennya tersebut melalui konferensi pers yang digelarnya, Kamis (28/1/2021) lalu. Sebagai kuasa hukum, Bernard mengaku selama ini tidak pernah bertemu dengan kliennya. Menurutnya, ini sebuah pelanggaran yang harus diperhatikan. Sebab, kuasa hukum memiliki hak untuk berkomunikasi secara leluasa dengan kliennya. Namun disebut Bernard, aparat penegak hukum negara tak memberikan hak tersebut. Penjegalan, kata Bernard, kerap dilakukan oleh pihak Polresta Samarinda, dengan alasan tengah menjalankan protokol kesehatan COVID-19. Namun alasan tersebut tanpa adanya solusi, agar Firman tetap dapat berkomunikasi dengan kuasa hukumnya. Mengingat hak dari terdakwa ataupun tersangka itu sebenarnya sudah diatur dan dilindungi oleh hukum. "Kita sudah berupaya untuk dapat berkonsultasi dengan Firman. Tapi kami tidak bisa bertemu karena ini Protokol COVID-19. Bila ini yang menjadi alasan, seharusnya dari pihak kepolisian itu mencari alternatif agar tetap hak dari klien kita ini tetap bisa berjalan. Jadi sampai saat ini tidak ada solusi konkret," ungkapnya lagi. Telah berulangkali meminta, polisi tak dapat menyampaikan alasan yang jelas. Sedangkan kuasa hukum Firman sebenarnya telah mengajukan agar tetap dapat diberikan fasilitas berkomunikasi, meskipun hanya dengan cara via jaringan seluler ataupun via daring. "Kami sudah berkonsultasi dengan difasilitasi via telepon, daring seperti zoom atau bagaimana baiknya. Tapi tetap tidak bisa. Jadi sebenarnya masih banyak cara, agar klien kami bisa berkomunikasi dengan kami. Tapi ini tidak ada solusinya, hanya dengan alasan protokol Kesehatan hak dari klien kami tidak diberikan," katanya. "Kita harus ingat, status Samarinda ini tidak PSBB, di daerah yang melaksanakan PSBB saja, itu masih bisa mempersilakan kuasa hukum untuk bertemu dengan kliennya. Sehingga patut dipertanyakan terkait kewenangan yang telah diatur dari kepolisian ini," kuncinya. Karena tidak dapat berkomunikasi ataupun bertemu dengan Firman. Selama ini pihaknya hanya dapat mengetahui kondisi kliennya tersebut melalui kabar rekan Firman. "Kami hanya mendapatkan kabar dari Wisnu, yang berkomunikasi dengan temannya. Dan temannya ini, menyampaikan kepada kami apa yang dialaminya di dalam sel tahanan. Sampai sebegitu susahnya kami dibuat seperti ini," ucapnya. Selain kendala komunikasi, sidang yang diikuti Firman secara daring pun tidak berjalan maksimal dan berindikasi akan merugikan kliennya. Dalam persidangan perdana yang dipimpin oleh Edy Toto Purba selaku ketua majelis hakim didampingi Agus Raharjo dan Hasrawati Yunus sebagai hakim anggota, JPU Melati dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda membacakan surat dakwaan dan menjerat Firman dengan pasal 2 ayat 1 UU Darurat 22/1991. Dikatakan Bernard, dalam persidangan yang berlangsung via daring itu, terdakwa mengaku tak dapat mendengar secara jelas suara JPU yang membacakan dakwaan. Kendati kondisi demikian, namun ketua majelis hakim tetap bersikeras melanjutkan persidangan. Sehingga, kata Bernard persidangan terkesan dipaksakan. "Sidang ini tetap dijalankan, dengan alasan sudah menjadi bagian dari protokol kesehatan COVID-19," ungkapnya kepada awak media. "Begitu masuk dalam sesi pembacaan dakwaan, suara daripada JPU saat itu tidak terdengar jelas. Karena perangkat yang disediakan oleh PN Samarinda itu tidak maksimal untuk memfasilitasi," sambungnya. Sehingga, usai JPU membacakan dakwaannya, Firman yang kala itu ditanya dan dimintai tanggapannya oleh majelis hakim, mengaku tidak memahami atas apa yang sudah didakwakan. "Proses persidangan secara daring seperti ini, tidak bisa berjalan secara maksimal. Ini terbukti dari klien kami yang ditanya oleh majelis hakim, ternyata dia bengong. Dia tidak mengerti dan memahami apa yang disebutkan dalam dakwaan oleh JPU," ucapnya. Lanjut Bernard, atas dasar itulah dirinya sempat meminta kepada majelis hakim, agar di persidangan selanjutnya, terdakwa dapat dihadirkan dalam ruang persidangan. Namun permintaan itu ditolak, dengan alasan situasi pandemi COVID-19 saat ini. Di sisi lain, persidangan seperti ini dianggapnya tidak akan berjalan maksimal. Dikarenakan teknologi yang tidak memadai, dirasa tidak akan mampu menerjemahkan kebenaran di dalam persidangan. "Makanya kami menolak sidang dilakukan secara daring. Karena itu akan sangat merugikan klien kami," katanya. Sedangkan kliennya yang telah ditetapkan sebagai terdakwa, memiliki hak untuk mengetahui apa saja pasal-pasal yang telah didakwakan. "Apabila pengadilan negeri dalam hal ini tetap menjalankan persidangan secara online. Maka ini adalah sebuah pelanggaran terhadap hak dari terdakwa itu sendiri," jelasnya. "Bahwa terdakwa memiliki hak untuk mendapatkan keadilan secara adil dan maksimal. Jika tetap masih saja dilaksanakan proses peradilan, maka ini adalah ini peradilan yang tidak adil," lanjutnya. Sebagai kuasa hukum, Bernard juga merasa keberatan kepada JPU. Karena hingga sidang dimulai, dirinya tak diberikan salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) turunan dari JPU kepada pihak terdakwa. Sementara lazimnya, salinan BAP tersebut semestinya diserahkan sebelum persidangan berlangsung. "Dasar hukumnya adalah pasal 143 ayat 4 KUHP, di situ dijelaskan bahwa sebelum persidangan turun, BAP lengkap itu harus diberikan kepada terdakwa lewat kuasa hukumnya," jelasnya. Dijelaskannya, salinan BAP sangatlah krusial dan sangat diperlukan untuk menyampaikan eksepsi dakwaan pada sidang berikutnya. "Namun sampai dengan proses persidangan, turunan BAP tersebut tidak diserahkan kepada kami," ucapnya. Pihaknya pun telah meminta salinan BAP tersebut di dalam persidangan. Kala itu majelis hakim menyarankan agar kuasa hukum terdakwa berkomunikasi kepada JPU. "Namun ketika kami minta, JPU malah menyebutkan kalau kuasa hukum harus bersurat terlebih dahulu ke PN Samarinda," bebernya. Atas pernyataan JPU seperti itu, menurut Bernard ada indikasi JPU berusaha menghalang-halangi untuk memperoleh BAP turunan lengkap. "Sedangkan kami sangat membutuhkan sekali terkait BAP turunan lengkap itu. Ini berguna untuk mengambil langkah-langkah hukum di dalam persidangan," jelasnya lagi. Lanjut Bernard, masih terkait saat terdakwa dimintai tanggapannya oleh majelis hakim perihal dakwaan yang dibacakan. Terdakwa Firman melalui Kuasa Hukumnya lalu memilih langkah mengajukan eksepsi. "Kami diberikan waktu selama seminggu, untuk menyusun eksepsi. Namun sampai hari ini, turunan BAP secara lengkap tadi, belum juga diserahkan JPU ke kami," katanya. Sehingga ada indikasi JPU telah melakukan pelanggaran, karena telah menghalangi tugas kuasa hukum yang tengah mengerjakan penyusunan eksepsi. Tak hanya salinan BAP saja yang tak diberikan JPU kepada terdakwa maupun kuasa hukumnya. Salinan dakwaan pun yang seharusnya dapat diperoleh, pun tak kunjung diberikan. Hal itulah yang juga membuat persidangan berjalan tidak maksimal. "Selain itu, sebelum sidang dimulai. Dakwaan seharusnya juga diserahkan ke terdakwa atau ke kuasa hukumnya. Tapi sampai kemarin sidang perdana, itu tidak ada diserahkan. Sehingga terdakwa tidak tahu apa yang telah didakwakan kepada dirinya," katanya. Sebelum persidangan ditutup oleh majelis hakim, kuasa hukum pada kesempatan itu meminta kliennya dapat diberikan kesempatan pemeriksaan kesehatannya. Selain itu, pihaknya juga meminta agar Firman tetap diberikan fasilitas guna menempuh pendidikannya. "Karena pada hari Jumat, Firman akan melakukan ujian akhir semester," ucapnya. "Jadi yang kami minta, agar sidang dilakukan secara langsung, pemeriksaan kesehatan, dan fasilitas pendidikan terdakwa. Jadi itulah beberapa poin yang coba kami perjuangkan di dalam persidangan kemarin," imbuhnya. Terkait pemeriksaan kesehatan bagi terdakwa yang saat ini telah ditahan dari sel tahanan Mapolresta Samarinda ke Lapas Kelas IIA Samarinda, diungkapkan oleh Bernard. Terdakwa kerap mengeluhkan sakit di bagian kepalanya. Keluhan itu sudah lama dialami kliennya. Tepatnya sejak dilakukan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. "Terkait mengenai sakit yang dikeluhkan Firman itu sudah terjadi dari penangkapan yang dilakukan oleh pihak Polresta Samarinda. Saat itu, Firman mengalami sebuah penganiayaan dipukul sampai kepalanya bocor, lalu rambutnya dipotong secara serampangan oleh kepolisian," bebernya lagi. Pasca mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh polisi, sampai dengan saat ini Firman belum mendapatkan pemeriksaan kesehatan menyeluruh. "Dampak dari pukulan itu masih terasa. Makanya kami sudah mintakan kepada kepolisian untuk diperiksakan. Padahal kami sudah ajukan pemeriksaan kesehatannya pada 9 November 2020 lalu," sambungnya. Meski sudah beberapa kali mengajukan permohonan pemeriksaan kesehatan terhadap terdakwa, Namun Polresta Samarinda tidak pernah menggubris permintaan tersebut. "Seharusnya, permohonan ini langsung ditindaklanjuti," katanya. Tidak hanya dari kepolisian, di tingkat kejaksaan pun juga disebutnya demikian. Permintaan pemeriksaan kesehatan juga tidak mendapatkan tanggapan. "Sehingga kami memintakan di dalam kesempatan persidangan kemarin, untuk difasilitasi klien kami ini untuk dilakukan proses pemeriksaan kesehatan. Karena sampai saat ini Firman mengeluh sakit di bagian kepalanya," terangnya. Kini, Firman telah dipindahkan penahanannya ke Lapas Kelas IIA Samarinda. Sehingga Bernard pun sangat berharap, agar pihak Lapas dapat memfasilitasi pertemuan antara Firman dengan kuasa hukumnya, perihal konsultasi masalah hukum. "Kami sudah minta ke pihak Lapas untuk dapat difasilitasi bertemu dengan klien kami ini. Kemudian meminta untuk difasilitasi pemeriksaan kesehatan dan fasilitas agar firman dapat mengikuti ujian akhir semester. Tiga surat ini sudah kami serahkan pula ke Lapas," ucapnya. Sementara waktu, dirinya masih belum bisa bertemu dengan Firman yang tengah ditahan di Lapas Kelas IIA Samarinda. Dikarenakan Firman masih harus mengikuti proses karantina selama seminggu pasca pemindahannya dari Polresta Samarinda ke Lapas Kelas IIA Samarinda. "Kami sangat berharap Rutan dapat memfasilitasi pertemuan kami dengan Firman. Entah nantinya dengan cara video call, atau via telepon. Dan kalaupun misalnya itu juga tidak ditanggapi, maka kami akan bersurat ke Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia)," tegasnya. "Misalnya di waktu tujuh hari ini tidak cukup untuk menyusun eksepsi karena terjegal bertemu dengan Firman, kami minta penundaan persidangan. Sampai nantinya betul-betul bisa berkonsultasi ke Firman," tandasnya.PROTOKOL COVID-19
Terkait tudingan yang telah disampaikan oleh Kuasa Hukum Firman tersebut, media ini melakukan upaya konfirmasi ke aparat penegak hukum yang ditujukan. Yakni Polresta Samarinda, JPU Melati dari Kejari Samarinda, serta PN Samarinda. Namun hingga Jumat (29/1/2021) petang, pihak Polresta Samarinda dan JPU Kejari Samarinda tidak dapat dikonfirmasi. Media ini bahkan telah berupaya menghubungi yang bersangkutan, namun tak mendapatkan tanggapan. Dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara Hakim PN Samarinda Abdul Rahman Karim menyampaikan tanggapan atas tudingan Kuasa Hukum Firman kepada media ini. Disebutkannya, terkait penolakan terhadap menghadirkan terdakwa secara langsung di dalam persidangan, itu telah diatur di saat pandemi COVID-19. Hal itu berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) 4/2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri harus dilakukan Secara Elektronik, mengingat situasi yang sedang tidak menguntungkan di saat pandemi COVID-19. "Di dalam Perma 4/2020, itu sudah diatur tentang tata cara persidangan. Mulai dari pendaftaran perkara dilakukan secara elektronik. Sehingga terdakwa dapat dihadirkan dari Rutan atau Lapas. Kuasa hukumnya di kantornya dan hakim di ruang sidang," jelasnya. Lanjut pria yang akrab disapa Rahman itu mengatakan, sebenarnya kuasa hukum harus hadir berdampingan dengan terdakwa. Namun karena situasi yang tidak memungkinkan, sehingga mau tak mau harus mengikuti regulasi yang telah diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung. "Karena, kalau sampai terdakwa dikeluarkan (ikut di persidangan secara langsung) itu sangat rawan. Jadi harus rapid test lagi, uji swab lagi. Ini bukan bicara satu orang saja, tapi nasib banyak orang di dalam tahanan. Kalau sampai terinfeksi COVID-19," terangnya. Terkait masalah jaringan yang menjadi kendala, bukan kehendak dari majelis hakim. "Di dalam Perma, itu juga sudah diatur. Apabila terjadi gangguan persidangan dapat diskors. Bisa ditunda sampai jaringannya bagus. Apabila lewat dari satu jam masih tidak mumpuni bisa ditunda," tandasnya. Sehingga apa yang ditudingkan oleh kuasa hukum terdakwa Firman dianggap tanpa ada landasan yang benar. "Karena kami ini ada dasar hukumnya. Jadi kami akan tetap melakukan persidangan sesuai dengan aturan dan hukum acara. Silakanlah diperdebatkan di tempat lain," pungkasnya. (aaa/zul)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: