UU Minerba Tak Hapus Kewenangan Daerah 

UU Minerba Tak Hapus Kewenangan Daerah 

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang minerba tak lantas menghapus semua kewenangan daerah. Meskipun izin langsung ke pusat, rekomendasi tata ruang sebagai syarat tetap dikeluarkan pemerintah daerah.

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Sekretaris Umum CSR Forum Kaltim Ervina Fitriyani menanggapi pernyataan Gubernur Kaltim Isran Noor. Yang menyebut semua kewenangan dalam bidang pertambangan akan dialihkan ke pemerintah pusat. Sehingga pemerintah daerah tidak lagi memiliki sedikit pun tanggung jawab. Vina menilai Isran salah paham terkait pengalihan kewenangan tersebut. Kata dia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba telah pun disalahpahami. Penyebabnya, ia menduga, tak semua orang membaca secara detail isi undang-undang tersebut. Dia menegaskan, sejatinya seluruh kewenangan terkait pertambangan tidak sepenuhnya dialihkan ke pemerintah pusat. “Karena ada klausul-klausul yang menyebutkan ada kewenangan daerah. Contohnya rekomendasi tata ruang. Rekomendasi ini tidak dipindahkan ke pemerintah pusat,” kata dia kepada Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com, Kamis (14/1/2021). Sebelum izin pertambangan dikeluarkan pemerintah pusat, pengusaha tambang harus terlebih dahulu mengantongi rekomendasi tata ruang dari pemerintah daerah. Hal ini menjadi syarat bila pengusaha ingin mendapatkan izin dari pusat. “Izin saja yang beralih ke pusat. Kewenangan soal rekomendasi tata ruang itu ada di daerah. Isi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 itu jelas seperti itu,” tegasnya. Dalam undang-undang tersebut, perusahaan juga tetap memiliki kewajiban kepada daerah. Salah satunya melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR). Sebelum izin operasi produksi keluar, perusahaan wajib membuat skema pelaksanaan CSR. “CSR harus dibuat secermat mungkin. Seperti halnya kita membuat FS (Feasibility Study). Jadi, mulai tahun ini, CSR tidak main-main lagi,” katanya. “Tidak seperti dulu. Suka-suka saja. Sekarang sudah terarah. Harus tersertifikasi. Ada namanya rencana induk. Ada laporannya. Itu diukur. Ada tolak ukurnya,” jelas Vina. Sejatinya, lanjut dia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 membagi kewenangan dari pusat, provinsi hingga kabupaten/kota. Sehingga pemerintah daerah tidak boleh lepas tangan soal pertambangan. “Ada sisi teknis yang memang tetap dalam kewenangan daerah. Contohnya evaluasi kebijakan CSR. Itu kan tetap daerah yang punya kuasa. Bukan di pemerintah pusat,” tegasnya. Vina menjelaskan, kewenangan perizinan dialihkan ke pemerintah pusat agar proses penertiban lebih mudah. Evaluasi sangat diperlukan terhadap izin-izin pertambangan di daerah yang dinilai tumpang-tindih. Sebagai pengusaha, ia sangat mendukung langkah tersebut. Vina menegaskan, kebijakan ini pasti diambil untuk kebaikan semua pihak. Setelah dipindahkan ke pusat, dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) serta dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) dijadikan satu. “Ini sisi positifnya. Saya belum lihat sisi negatifnya. Sebagai pengusaha, saya sangat setuju. Enggak menyulitkan pengusaha. Masih dalam satu wadah. Di bawah Kementerian ESDM,” jelas Vina. (qn/eny)            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: