Fenomena Gunung Es

Fenomena Gunung Es

TANJUNG REDEB, DISWAY - Kepala Dinas Kesehatan Berau, Iswahyudi mengungkapkan, banyaknya masyarakat yang dinyatakan terkonfirmasi COVID-19 dari sumber tidak diketahui, diibaratkan seperti fenomena gunung es.

Bukan tanpa alasan, fenomena gunung es, yang terlihat hanya sebatas bagian atasnya saja. Namun tidak dengan yang berada di bawah permukaan laut. Dikatakannya, gunung es itu memiliki pola yang hampir sama dengan yang terjadi sekarang. Saat ini, yang terjaring hanya sekira 1.402 pasien, dan yang menjalani perawatan hanya sebanyak 602 pasien. "Saya sempat berdiskusi dengan pakar epidemiologi, katanya ini seperti fenomena gunung es. Memang saat ini terlihat banyak pasien positif yang terjaring, tapi diyakini lebih banyak yang belum terjaring lagi," ujarnya kepada Disway Berau, Senin (4/1). Selain itu, banyaknya kasus penularan dari sumber tidak diketahui yang terjadi di Berau melonjak, karena program 3T (testing, tracing dan treatment) belum bisa berjalan sesuai harapan. Bukan karena kualitas Sumber Daya Manusia yang dimiliki, namun masih banyak masyarakat yang enggan terbuka untuk memberikan informasi secara jujur. "Itu kenapa sumber penularan muncul. Karena saat ditracing, yang bersangkutan menjawab tidak tahu," pungkasnya. Sementara itu, menurut Ketua Peminatan Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman, Siswanto, belum ada teori yang menentukan berapa besaran jumlah penularan dan penyebaran pasien COVID-19. Penyakit COVID-19 pun hampir sama dengan demam berdarah (DBD), karena penularannya sama-sama melalui droplate. Tetapi yang perlu dicermati dalam kondisi sekarang, penyebaran itu terjadi karena adanya klaster rumah tangga. “Sebenarnya itu yang harus dicermati, sebagai potensi penyebaran virus,” ungkapnya kepada Disway Berau, Senin (4/1). Lanjutnya, Kabupaten Berau bisa menjadi daerah atau wilayah yang berpotensi terjadi penularan dari wisatawan. Yang artinya, lonjakan peningkatan jumlah dari penderita COVID-19 bisa dicermati dari banyak hal. Bukan hanya dari klaster keluarga, tapi juga pelaku perjalanan. Mulai dari yang domestik maupun mancanegara. “Dua hal itu lah yang menjadi sumber penularan. Tidak mungkin virus bisa masuk ke Berau jika tidak ada pelaku perjalanan. Dan penyebaran pun tidak mungkin semakin banyak, jika tidak ada klaster keluarga,” katanya. Dikatakatannya, Satgas COVID-19 sudah memiliki pola yang baik. Yakni, testing, tracing, dan treatment (3T). Jika di Berau banyak ditemukan penularan dari sumber tidak diketahui, berarti ada yang tidak maksimal dilakukan Satgas COVID-19. Yakni, tracingnya. “Berarti tracingnya belum efektif. Nah ini berkaitan dengan masalah surveillance-nya, bagaimana tenaga di sana?” ungkapnya. Memperhatikan lonjakan di Berau, Siswanto menyarankan agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau, melaksanakan 3T dengan benar. Artinya, Satgas COVID-19 Berau harus lebih aktif untuk melakukan testing, guna menyaring pasien yang luput dari penjaringan. Kemudian tracing, harus dimaksimalkan. Karena jika tracing tidak maksimal dilakukan, penjaringan akan sulit terlaksana. “Yang harus dilakukan adalah memperkuat tracing-nya. Sehingga, bisa mengetahui sumber penularan itu dari mana asalnya. Nah ini berkaitan dengan tenaga surveillance-nya. Apakah sudah bekerja masksimal atau seperti apa,” tuturnya. “Kami tidak menyalahkan surveillance. Surveillance itu harusnya lebih dari 2, sehingga tracing bisa dilakukan secara maksimal. Dan surveillance yang bekerja, pikirannya tidak bercabang atau lebih fokus,” imbuhnya. Saat ini pemerintah di beberapa wilayah telah melakukan sweeping atau swab massal. Dikatakannya, Berau harus bisa memilih fokus utamanya. Apakah fokus untuk mencari jumlah penderitanya atau fokus untuk pengendaliannya. Disarankannya, Pemerintah Kabupaten Berau, harus fokus pada pengendalian. Menurutnya, pengendalian bisa mencermati banyak hal, seperti upaya apa yang harus dilakukan, berapa banyak yang mendapat perawatan di rumah sakit atau karantina di rumah. “Jadi artinya, untuk lebih cepat melakukan penanganan memang harus dilakukan tes secara massal. Memang berat, karena akan menyerap anggaran cukup besar,” katanya. Lanjutnya, yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana kesiapan pemerintah apabila dari tes massal yang akan dilakukan mendapati banyak pasien positif. “Infrastrukturnya seperti apa? tempat karantina sudah siapkah?” tanyanya. Dalam hal ini, pemerintah atau satgas COVID-19 harus bisa membijaksanai sebuah permasalahan. Artinya, harus melihat dari banyak sisi. Jika Berau hendak melakukan tes secara massal, harus dibarengi dengan perisapan infrastrukturnya. Mulai tempat karantina hingga tenaga kesehatan. “Jadi itu harus seimbang. Kalau dalam penjaringan banyak yang tertangkap, tapi tidak ada tempat untuk mengisolasi, maka itu tidak akan menghilangkan sumber penularannya,” bebernya. */fst/app

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: