Mati di Parit

Mati di Parit

Sabtu-Minggu kemarin saya di Newcastle. Kota yang paling menyenangkan di Inggris. Apalagi udara siangnya 16 derajat. Sejuk sekali.
Yang panas hanya di Intu Eldon Square. Di bundaran sekitar patung itu. Di pusat perbelanjaan dan jalan-jalan itu.
Itu pun hanya panas politik.
Ada demo di situ: anti Brexit.
Saya duduk bersila di lantai. Mendengarkan apa saja yang mereka bicarakan. Toh tidak mungkin belanja.
Di Newcastle anti Brexit memang menang. Di referendum tiga tahun lalu. Menang tipis. 'Remain' menang 1 persen.
Tapi di kota-kota kecil sekitarnya Brexitlah yang menang. Misalnya di Sunderland dan Middlesbrough.
Tidak ada bus langsung dari Leicester ke Newcastle. Kereta pun harus transit.
Saya putuskan naik bus saja. Ya, sudah.
Harus ganti bus di kota Leeds. Daripada naik kereta yang harus ganti kereta di Sheffield. Dan lagi karcis kereta empat kali lebih mahal. Meski, memang, dua kali lebih cepat.
Kali ini saya tidak kesusu. Naik bus lima jam pun gak apa-apa. Bisa lewat kota lain seperti Nottingham.
Tanah pertanian sepanjang perjalanan lagi kosong. Seperti habis panen gandum. Jeraminya masih belum diangkut.
Di tanah pertanian Amerika jerami seperti itu dibentuk dalam gulungan-gulungan. Di Inggris lebih banyak dalam bentuk kubus. Entah mana yang lebih efisien.
Di bundaran tadi, di pusat kota Newcastle itu, tidak hanya ada demo anti-Brexit. Ada juga kampanye anti daging.
Sasarannya pemakan daging. Tema demonya menarik: kebakaran besar di hutan Amazon sekarang ini menyebabnya satu --lantaran manusia memakan daging.
Apa hubungannya?
Mereka punya bukti: perburuan daging di Amazon tinggi.
Dan lagi orang yang makan daging itu badannya panas. Membuat orang penuh nafsu. Rakus. Hutan pun harus dirusak.
Untung sudah dua tahun lebih saya tidak lagi makan daging. Jadinya saya setuju dengan demo itu.
Dan memang, hanya saya sendiri yang tertarik melihat demo anti daging ini.
Di bundaran itu ada pula kios Islam. Yang menjaga kios itu orang-orang keturunan Pakistan. Mereka tidak aktif. Sifatnya hanya melayani kalau ada orang yang datang ke kios itu.
Mereka hanya pasang tulisan: bertanyalah tentang Islam di sini.
Di situ ada juga grup band. Pemainnya orang-orang tua. Salah satu pembungkus alat musiknya dibuka. Untuk tempat orang melempar uang receh ke dalamnya.
Di tengah keramaian itu ada juga yang bete. Satu orang. Wanita. Pakaiannya seksi. Payudaranya menonjol. Roknya pendek. Duduknya sembrono.
Ia terus mengutik HP-nya. Seperti gelisah. Ia seperti begitu sepi di tengah keramaian. Seperti menanti seseorang yang tidak jadi datang. Atau telat.
Ya, sudah. Masih untung ada HP.
Soal demo politik itu hanya tempatnya saja yang di Newcastle. Sedang topiknya mengenai apa yang lagi terjadi di London. Khususnya kejadian di hari Jumat kemarin. Yang dramatis itu.
Begitu banyak pembelotan di kubu perdana menteri Boris Johnson. Termasuk adik kandungnya sendiri --Jo Johnson.
Hari Jumat itu parlemen memutuskan: Brexit harus terjadi dengan kesepakatan. Artinya harus ada dokumen kesepakatan yang ditandatangani antara Inggris dan Uni Eropa.
Inggris harus berunding mengenai kesepakatan itu. Sampai 19 Oktober bulan depan. Kalau sampai tanggal itu belum ada kesepakatan, Inggris harus minta pengunduran batas waktu lagi. Putusan parlemen itu tinggal menunggu pengesahan Ratu. Jadwal pengesahannya Senin hari ini. Ratu tidak pernah tidak mengesahkan apa pun yang diputuskan parlemen.
Maka di Jumat keramat kemarin semua rencana Boris Johnson kandas. Pun kartu trufnya tidak laku. Tantangannya untuk pemilu dadakan tidak relevan lagi.
Boris Johnson begitu tersudut. Pilihannya tinggal empat: menabrak hukum, menggertak Eropa, mengemis pengunduran deadline atau --ini yang paling mudah-- mengundurkan diri.
Tapi Boris tetap Johnson. Ia ngotot. Tanggal 31 Oktober nanti Inggris harus keluar dari Uni Eropa. Dengan atau tanpa deal.
"Saya tidak mungkin ngemis-ngemis perpanjangan ke Brussels," katanya. Brussels, Belgia, adalah ibu kota Uni Eropa.
Kemudian, inilah ucapan Johnson yang sangat terkenal di Inggris sekarang: "Lebih baik saya mati di parit".
Johnson berpendapat amanat rakyat Inggris harus dipenuhi: keluar dari Uni Eropa. Amanat itu sudah berumur tiga tahun. Pelaksanaannya mundur terus. Terbentur belum adanya kesepakatan itu. Terutama soal pengaturan perbatasan di Irlandia.
Perdana menteri yang lama, Theresa May, pernah menandatangani kesepakatan. Tapi ditolak oleh parlemen. Dalam kesepakatan itu harus ada pembatas antara Irlandia Utara (Inggris) dan Republik Irlandia (Eropa).
Itu dianggap melanggar perjanjian perdamaian di Irlandia.
Maka hari Senin ini sangat  menentukan perpolitikan Inggris. Dan di Eropa. Tapi, rasanya, wanita muda di bundaran Newcastle itu akan tetap asyik dengan HP-nya. Dan payudaranya.(Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: