Kilas Balik Keruntuhan Kekuasaan Soeharto

Kilas Balik Keruntuhan Kekuasaan Soeharto

Jakarta, nomorsatukaltim.com - David Bourchier, peneliti di Pusat Riset Asia, Universitas Murdoch menulis di Inside Indonesia soal detik-detik jatuhnya rezim otoriter Soeharto. Selama tiga dekade Orde Baru, mantan Presiden Indonesia Soeharto membatasi setiap upaya untuk mengatur oposisi. Bulan Mei 1998, rezimnya dan Indonesia secara keseluruhan menuai hasil yang mengerikan.

Kerumunan massa yang marah tumpah ke jalanan, membakar dan menjarah sebagai wujud tuntutan karena tidak ada organisasi politik yang layak bagi orang-orang untuk melampiaskan rasa frustrasi mereka yang hebat tentang ekonomi yang runtuh. Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada wakil presidennya, Habibie.

Di Thailand dan Korea Selatan, krisis ekonomi membuat pemerintahan lama tersingkir dan digantikan oleh pemerintah reformis baru. Hal ini tidak mungkin terjadi di Indonesia karena Soeharto, diktator era Perang Dingin terakhir di Asia Tenggara, membangun sistem politik yang memusatkan kekuasaan hampir sepenuhnya di tangannya sendiri.

Monopoli kekuatan politik memungkinkan Soeharto untuk tetap menjabat lebih lama daripada presiden mana pun di dunia, kecuali Fidel Castro. Hal ini juga menciptakan periode stabilitas politik yang berkepanjangan, yang membantu memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang stabil selama bertahun-tahun. Namun, stabilitas tersebut dibayar dengan harga mahal. Berupa teror dan kehancuran sebagian besar kehidupan politik yang demokratis.

PENUMPASAN KOMUNIS

Salah satu tindakan pertama Soeharto setelah pasukannya mengambil alih kekuasaan pemerintah Indonesia tahun 1965 ialah memerintahkan penumpasan hingga setengah juta simpatisan komunis di sayap kiri politik. Segera setelah itu, puluhan ribu pendukung mantan presiden, Sukarno, disingkirkan dari jajaran pemerintah dan militer.

Para pelajar dan umat muslim yang bersatu di balik tentara yang melawan Sukarno adalah yang berikutnya disingkirkan. Pluralisme dan optimisme pada masa-masa awal berangsur-angsur membuka jalan bagi desakan yang menyesakkan terhadap kepatuhan. Mereka yang kritis terhadap Orde Baru dan program ‘percepatan pembangunan’ dituduh tidak loyal, anti-Pancasila, bahkan subversif. Para ideolog Soeharto menegaskan, konsep oposisi itu tidak dapat diterima.

Pada awal tahun 1970-an, semua partai politik non-pemerintah secara paksa digabung menjadi dua partai yang jinak dan diawasi dengan ketat: PPP yang muslim dan PDI yang nasionalis. Peran PPP dan PDI adalah mengambil bagian dalam pemilihan umum Indonesia setiap lima tahunan yang direduksi menjadi sekadar ritual. Disebut sebagai “pesta demokrasi.” Tidak ada yang satu pun pihak yang diizinkan untuk mengkritik partai pemerintah, Golkar (Golongan Karya), atau mengelola organisasi massa. Akibatnya, hanya sedikit yang menganggap pemilu sebagai perhelatan serius.

Hal yang sama juga terjadi pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Yang beranggotakan 1.000 orang. Lebih dari setengahnya terdiri dari pejabat pemerintah. Termasuk banyak kerabat presiden dan menteri kabinetnya. Hanya pada Maret 1998, di tengah ketidakpuasan yang meluas, MPR mengecam terpilihnya Soeharto untuk ketujuh kalinya.

SERIKAT PEKERJA

Dengan politik formal menghadapi jalan buntu, banyak aktivis menyalurkan energi mereka ke organisasi non-pemerintah yang mempromosikan isu-isu seperti hak asasi manusia dan bantuan hukum. Sementara itu, orang-orang lain berusaha untuk mendirikan serikat pekerja atau partai politik independen. Seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD). Meski kemudian para tokohnya dijebloskan ke penjara dan organisasi tersebut akhirnya dilarang.

Namun, sebagian besar rakyat Indonesia saat itu tidak punya banyak pilihan selain bertahan di tengah kurangnya kebebasan demokratis. Mereka harus menerima jaminan perlindungan pemerintah: ini adalah harga yang harus dibayar Indonesia. Demi dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi.

Tetapi pembangunan telah menciptakan masalah sendiri. Resesi awal tahun 1980-an membuat pendapatan ekspor minyak anjlok. Ini memaksa pemerintah Indonesia untuk beralih ke program industrialisasi yang cepat serta deregulasi fiskal. Hal ini menarik ratusan ribu pekerja muda pedesaan ke kawasan industri di pinggiran kota-kota besar. Kondisi kehidupan mereka yang jorok sangat kontras dengan gaya hidup kalangan elite yang sangat nyaman.

Perbedaan itu menimbulkan kebencian yang sangat besar terhadap orang kaya, orang kuat, dan orang China. Etnis Tionghoa di Indonesia mendominasi bisnis dan dipandang secara luas, dengan dorongan nyata dari sejumlah pengusaha pribumi, telah memperoleh manfaat secara tidak adil dari kebijakan ekonomi pemerintah.

Kelas menengah yang sedang berkembang juga tidak begitu senang. Mereka tidak menyukai korupsi yang tidak terkontrol. Mereka tidak menyukai ketidakpastian hidup di bawah pemerintahan yang sering berubah-ubah dalam pengambilan keputusan. Mereka juga membenci bagaimana Soeharto dan anak-anaknya merampas hampir setiap peluang bisnis yang menguntungkan pada dekade terakhir Orde Baru.

KRISIS KEUANGAN

Di tengah campuran ketegangan kelas, etnis, dan politik yang bergejolak tersebut, datanglah krisis mata uang. Untuk alasan yang hanya bisa dipahami oleh sedikit orang, harga barang sehari-hari naik dua kali lipat. Harga sejumlah produk naik 500 persen. Banyak orang merasa panik dan sangat takut dengan masa depan mereka. Tidak seperti represi politik, jatuhnya rupiah menyulitkan semua orang, pria dan wanita, kaya dan miskin, di perkotaan maupun pedesaan.

Soeharto mengakui gawatnya situasi tersebut pada Oktober 1997. Dia meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, IMF, didorong oleh semangat neo-liberal, tidak sedang berada dalam suasana yang murah hati. Mereka menuntut serangkaian reformasi radikal sebelum memberikan pinjaman sebesar US$ 43 miliar yang telah dijanjikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: