Tolak UU Omnibus Law di Samarinda Lanjut, Mapala Se-Kaltim Kemah di Depan Kantor Gubernur

Tolak UU Omnibus Law di Samarinda Lanjut, Mapala Se-Kaltim Kemah di Depan Kantor Gubernur

Samarinda, nomorsatukaltim.com – Penolakan terhadap undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja di Samarinda masih lanjut. Kali ini  Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) se- Kaltim turut serta.

Tapi aksi yang mereka berikan berbeda. Mereka mendirikan tenda di depan Kantor Gubernur Kaltim, Jalan Gajah Mada, Samarinda sejak Jumat (9/10/2020) malam. Di tenda juga terdapat tulisan penolakan aturan yang baru didepan tenda mereka.

Ketua Pusat Koordinasi Mahasiswa Pecinta Alam se-Kaltim Adesfar menilai aturan tersebut sangat berpotensi merusak alam. Sehingga aksi tersebut akan terus mereka lakukan. Mereka pun belum mengetahui pastinya kapan mereka akan mengakhiri aksi tersebut.

Baca juga: DPRD Balikpapan Sayangkan Pelajar Ikut-ikutan Aksi

“Kami tidak ingin alam kita terus rusak. Sudah banyak hutan yang gundul. Lubang tambang dimana-mana. Aksi camping ini sebagai bentuk penolakan. Kami belum tahu entah sampai kapan bertahan di sini,” katanya kepada Disway Kaltim, saat ditemui dilokasi aksi, Minggu (11/10).

Ada beberapa pasal yang menjadi sorotan. Seperti penghapusan pasal 19 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Pasal tersebut membahas mengenai batas minimum 30 persen luas kawasan hutan.

Penghapusan pasal ini dinilai berpotensi membuka ruang eksploitasi secara masif. Selain itu, perubahan Pasal 49 di undang-undang yang sama. Dalam pasal tersebut tidak mewajibkan tanggung jawab koorporasi, terhadap kebakaran di areal konsesi. Kemudian, perubahan kriteria analisis dampak lingkungan (Amdal).

Semula diatur dalam pasal 23 UU 32/2009. Tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH). Sembilan kriteria dipangkas hanya dengan satu indikator saja dalam UU Cipta Kerja. Ada juga, perubahan Pasal 24 Ayat 5 UU PPLH tentang perizinan. Semula diatur sebagai izin lingkungan digantikan jadi izin berusaha.

“Hal itu jadi salah satu peluang besar bagi pelaku usaha untuk mengabaikan aspek lingkungan dalam usaha. Bagi kami, ini merupakan sebuah celah mempermudah pelaku usaha dalam melakukan eksploitasi. Bahkan pada tataran hukum normatif,” tegasnya.

Pun secara substansi UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut tidak sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945. Yaitu: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mereka juga menuntut agar aturan yang dinilai mencelakakan lingkungan segera dihapus. Karena, sangat besar potensi kerusakan alam. Bukan sekarang dirasakan. Tapi nanti. 10 tahun mendatang. Atau bahkan 20 tahun nanti. “Kasihan generasi penerus kita,” tutupnya. (mic/boy)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: