Pilkada 2020 Cermin Politik Dinasti dan Watak Oligarki

Pilkada 2020 Cermin Politik Dinasti dan Watak Oligarki

Jakarta, nomorsatukaltim.com - Pemerintah sama sekali tak berniat menunda penyelenggaraan Pilkada 2020, yang hari pencoblosannya direncanakan Desember nanti, kendati kasus COVID-19 tak menunjukkan tanda-tanda menurun. Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman memastikan ini pada 21 September lalu.

“Presiden Joko Widodo menegaskan penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir karena tidak (ada) satu pun negara tahu kapan COVID-19 akan berakhir. Karenanya, penyelenggaraan pilkada harus dengan protokol kesehatan ketat. Agar aman dan tetap demokratis,” katanya.

Pada hari itu, penambahan kasus harian COVID-19 pecah rekor: 4.176 kasus. Dalam beberapa hari terakhir, angkanya konsisten di atas 4.000. Pada 21 September malam, Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), juga menyepakati pilkada tetap dilaksanakan. Tetapi kampanye yang mengumpulkan massa, termasuk konser musik, ditiadakan.

Pemimpin rapat, Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia mengatakan, pertimbangan pilkada dilanjutkan adalah “seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai yang direncanakan dan situasi masih terkendali.”

Keputusan pemerintah, legislatif, dan penyelenggara pemilu ini bertolak belakang dengan penilaian banyak ahli kesehatan yang menyatakan selalu ada peluang penularan virus dalam tiap tahapan pilkada. Atas pertimbangan kesehatan juga 2 organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, sama-sama mendesak pemerintah menunda pilkada dan lebih mementingkan keselamatan ratusan juta warga. Sikap serupa disampaikan MUI.

Beberapa organisasi yang bergiat di ranah kepemiluan pun mendesak itu. Misalnya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif. Bahkan, salah satu intelektual muslim ternama, guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, mendeklarasikan diri sebagai golongan putih (golput) sebagai bentuk solidaritas kepada seluruh warga dan tenaga kesehatan yang terdampak dan terus berjuang melawan pandemi.

Mereka bahkan tidak mundur sejengkal pun meski beberapa pihak yang sangat terkait dengan pilkada terjangkit COVID-19. Sebut saja Ketua KPU RI dan beberapa komisioner lain, 96 petugas Bawaslu di Boyolali, dan 60 bakal calon kepala daerah.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga terjangkit corona, yang kasusnya sempat ditutup-tutupi oleh Istana. Jika sudah seperti ini, kenapa pemerintah, legislatif, dan penyelenggara pemilu masih tetap ngotot menjalankan pilkada?

WATAK OLIGARKI

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, pilkada yang tetap digelar pada masa pandemi adalah bentuk pengabaian negara terhadap kepentingan dasar rakyat: kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan.

Pengabaian ini bukan kali ini saja. Tapi entah ke berapa kali. Contoh pengabaian lain adalah: terus saja melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja meski itu jelas-jelas ditentang masyarakat. Terutama serikat buruh.

“Tindakan-tindakan pemerintah selama COVID-19 membuka borok yang selama ini mungkin untuk sebagian orang belum jelas: kepentingan dasar rakyat bukan yang utama,” kata Asfin, Selasa (22/9) pagi.

Asfin juga menduga langkah pemerintah untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020 tak lain adalah bentuk perlindungan terhadap para calon kepala daerah yang berasal dari lingkaran Istana.

Faktanya, ada banyak calon kepala daerah berasal dari jejaring politik dinasti Istana Negara: Gibran Rakabuming di Solo dan Bobby Nasution di Medan (anak dan menantu Presiden Joko Widodo), Siti Nurazizah di Tangerang Selatan (putrid Wakil Presiden Ma’ruf Amin), hingga Hanindhito Himawan Pramana di Kediri (anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: