Indonesia dalam Pergolakan Ekonomi-Politik

Indonesia dalam Pergolakan Ekonomi-Politik

Produksi dari perkebunan yang merupakan unggulan untuk ekspor, mengalami penurunan pada saat bersamaan. Thee Kian Wie menulis, selama masa pendudukan Jepang, tentara Jepang memaksa perkebunan-perkebunan membabat pohonnya. Untuk ditanami tanaman pangan. Banyak pabrik gula di Jawa rusak berat akibat pendudukan Jepang dan perjuangan bersenjata melawan Belanda.

Sementara Bruce Glassbuner dalam The Economy of Indonesia (2007) menuliskan, kekuatan Indonesia sebagai salah satu sumber pemasok bahan mentah dunia melemah selama periode 1950-an. Atau pasca-kemerdekaan. Hal ini karena penurunan produksi sejumlah komoditas selama masa perang. Tercatat hanya karet dan minyak yang mengalami kenaikan ekspor pada periode tersebut. Pada saat yang sama, sejumlah negara justru semakin kuat posisinya di pasar dunia. Akhirnya menggeser peran Indonesia.

Anne Booth mencatat, kontribusi ekspor Indonesia pada perdagangan dunia mengalami penurunan drastis. Pada periode 1953-1966, volume ekspor Indonesia hanya tumbuh kurang dari 1 persen per tahun. Hal itu dinilai sebagai sebuah kemunduran. Karena pada awal 1920-an, Indonesia merupakan salah satu eksportir terkemuka dunia. Pada saat yang sama, menurut John R. Hanson, yang dikutip Anne Booth dalam bukunya, perdagangan dunia mengalami pertumbuhan sekitar 7 persen per tahun. Level tercepat sejak 1800. Persentase ekspor-impor Indonesia terhadap PDB juga mengalami penurunan tajam selama periode 1950-an hingga 1960-an

BERKAH SESAAT

Dengan ekspor yang mengalami penurunan, otomatis Indonesia tidak bisa mendapatkan banyak devisa. Pendapatan lainnya juga belum optimal. Pada saat bersamaan, pengeluaran membesar untuk membayar utang. Juga kebutuhan untuk penanganan masalah keamanan.

Tidak berimbangnya pengeluaran dan pendapatan menciptakan defisit anggaran. Thee Kian Wie menyebut, pada 1950-an, anggaran pemerintah mengalami defisit sekitar Rp 1,7 miliar (kurs saat itu).

Memasuki 1951, Indonesia tiba-tiba mendapatkan berkah dari Perang Korea. Terjadi “Boom Korea” yang secara drastis meningkatkan penerimaan ekspor Indonesia. Defisit anggaran langsung tertutupi.

Howard Dick menuliskan, Perang Korea membawa berkah. Karena adanya kenaikan harga-harga komoditas. Terutama karet dan minyak. Yang memberikan kontribusi hingga dua pertiga pendapatan ekspor. Hal itu membuat neraca perdagangan surplus. Pendapatan negara juga bertambah dari kenaikan pajak perdagangan.

Sayangnya, surplus hanya berlangsung selama 1 tahun. Indonesia kembali mengalami defisit. Bahkan lebih buruk jika dibandingkan pada 1950. Menurut D.S. Paauw seperti dikutip Howard Dick, hal ini terjadi karena para eksporti, yang menerima dolar dalam jumlah banyak selama boom Korea, menukar dolar dengan barang-barang konsumer yang pada tahun 1951/1952 setengahnya merupakan barang impor.

Boom Korea kemudian malah menciptakan masalah baru. Banyak uang. Tapi tidak banyak barang yang tersedia. Sehingga memicu impor. Yang terjadi selanjutnya justru defisit yang semakin parah. Baik neraca perdagangan maupun anggaran.

KEBIJAKAN TAK TEPAT

Dari sisi anggaran, pendapatan semakin tidak bisa mengimbangi pengeluaran. Apalagi setelah pajak ekspor menurun drastis usai berakhirnya Boom Korea. Menurut D.S. Paauw, seperti dikutip Howard Dick, akar masalah itu adalah kontraksi basis pajak. Pada 1956 dan 1957, hanya seperlima pendapatan diperoleh dari pajak langsung. Tahun 1939, angkanya malah 2 kali lipat.

Pemerintah terlalu bergantung pada pajak perdagangan. Saat puncak Boom Korea, pajak perdagangan, yang terutama berasal dari pajak ekspor, memberikan kontribusi hingga 70 persen pendapatan. Langkah berikutnya untuk membatasi impor dengan pengenaan kurs ganda. Ternyata malah menimbulkan masalah.

Boediono menulis, sistem kurs ganda (multiple exchange rates) ini pada intinya merupakan pajak atas transaksi devisa. Perbedaan kurs antara devisa keluar dan devisa masuk inilah yang menjadi sumber penerimaan negara. Harapannya, defisit APBN akan tertanggulangi. Pada saat yang sama, impor akan berkurang. Karena kurs yang lebih mahal. Karena itu, defisit ganda bisa tertangani dalam satu waktu.

Sayangnya, kebijakan ini justru memunculkan masalah baru. Salah satunya menjamurnya pasar gelap valas. Selama masa ini, kurs pasar bebas mencapai 4 kali dari kurs resmi. Boediono menyebut, sistem kurs ganda tidak efektif menyelesaikan masalah. Karena tidak didukung oleh kebijakan fiskal. Akibatnya, uang beredar terus bertambah. Sementara inflasi semakin meningkat tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: