Indonesia dalam Pergolakan Ekonomi-Politik

Indonesia dalam Pergolakan Ekonomi-Politik

Kurs ganda ini juga malah memunculkan kecurangan di bidang ekspor-impor. Para pengusaha pelayaran dan operator kapal melakukan kecurangan dengan mengurangi nilai tonase barang yang dikapalkan. Untuk dilaporkan secara resmi. Tujuannya tentu saja untuk mengurangi “pajak” ekspor yang harus dibayar. Begitu pula dengan jumlah mata uang asing yang harus dilaporkan secara resmi. Saat kembali, mereka juga memalsukan data impor. Khususnya tekstil dan barang elektronik.

Howard Dick dalam Antara Daerah dan NegaraIndonesia Tahun 1950-an (2011), menuliskan, sistem aneka kurs dan struktur perpajakan yang menyertainya sangat merugikan Indonesia. Sistem ini telah menghancurkan perangsang untuk ekspor atau untuk menjaga kualitas ekspor. Sistem ini dianggap memberikan andil dalam penurunan ekspor Indonesia. Dari 1,7 persen pada 1950 menjadi hanya 0,4 persen pada 1966.

Program-program lain yang diluncurkan juga memunculkan masalah-masalah kecurangan. Misalnya Program Benteng yang semula ditujukan untuk mendorong kewirausahaan lokal. Sekaligus meredam impor.

Program Benteng ini menggunakan instrumen devisa dan kredit perbankan. Untuk meningkatkan importir pribumi. Mereka menerima jatah devisa dengan kurs murah. Sayangnya, program ini justru disalahgunakan. Karena pengusaha pribumi yang menerima jatah program ini justru “menjualnya” kepada importir yang sudah mapan.

Menurut van Zanden dan Marks, Program Benteng pada akhirnya menimbulkan korupsi skala besar dan mengacaukan praktik politik secara serius, dan hanya sedikit efektif mendorong pertumbuhan kewirausahaan. Banyak lisensi misalnya, dijual kepada importir China atau Belanda. Sementara pengusaha pribumi hanya pura-pura tampil di muka saat berbisnis.

Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko dalam buku Man of Honor, Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya (2012), menuliskan, kurang lebih 700 pengusaha pribumi dihasilkan dari program ini. Namun, tak semua mampu mengelola bisnisnya dengan baik. Karena tidak adanya mental kewirausahaan. Mayoritas pengusaha pribumi kemudian melakukan kerja sama dengan pengusaha non-pribumi. Orang pribumi mengurusi lisensi bisnis. Non-pribumi mengelola sisi operasionalnya. Program ini akhirnya dihentikan. Karena dampak banyak buruknya.

Masalah-masalah baru bermunculan. Sementara masalah defisit tetap tidak teratasi. Setelah Boom Korea, defisit APBN terus meningkat dan memburuk di tahun 1958 saat batas pemberian kredit Bank Indonesia (BI) kepada pemerintah dihapus. Buruknya lagi, defisit diatasi dengan pencetakan uang secara masif.

Pada 1958, defisit tercatat sebesar Rp 12,040 triliun. Atau meningkat hingga 6 kali lipat dibandingkan defisit di tahun 1953. Sementara jumlah uang beredar mencapai Rp 29,37 triliun. Atau meningkat hampir 4 kali lipat dibandingkan jumlah uang beredar di tahun 1953. Hal inilah yang kemudian memicu kondisi perekonomian yang semakin buruk di era 1960-an. (trt/qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: