Ketika Mahar Sulit Terbukti

Ketika Mahar Sulit Terbukti

Kendati sudah rahasia umum, mahar politik hampir tak pernah tersentuh. Penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu pun kesulitan untuk pembuktian itu. Padahal sanksinya jelas. Diskualifikasi. Perlukah aturanan lebih detail untuk menjerat praktik tersebut?.

-----------------

KETUA Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kaltim Saipul Bachtiar mengakui. Jika tidak menutup kemungkinan praktik bayar mahar itu terjadi. Namun pembuktiannya dinilai sulit. "Pengungkapan tidak semudah yang dibayangkan. Mendeteksinya juga sulit. Sangat sulit melakukan pembuktian," katanya, ketika ditemui di kantornya, Jalan MT Haryono, Samarinda.

Dalam perspektif Bawaslu, tak ada istilah mahar. Yang ada, kompensasi atau pembelian. Yakni pembayaran dari bacalon ke parpol tertentu. Dalam perpolitikan Indonesia, khususnya dalam pencalonan, kegiatan itu dilarang. Diatur dalam UU Pilkada.

Meski sudah dilarang dalam UU, tapi pemberian kompensasi atau mahar politik tersebut, terjadi antara kedua belah pihak. "Itu kan, keinginan kedua belah pihak. Mendasari terjadinya hal-hal seperti itu. Walaupun, selama ini Bawaslu semaksimal mungkin melakukan pengawasan. Karena itu, tidak dibolehkan dalam proses pilkada kita," katanya.

Praktik tersebut, kata dia, termasuk perbuatan melanggar hukum. Dan dilakukan secara sadar. "Ini kan konteksnya harus dilihat dari sisi pembuktian," ungkapnya.

Soal sanksi, bila terbukti adanya mahar politik. Dalam UU, jelas aturannya. Seperti pasal 187 b, UU Pilkada, anggota parpol atau gabungan parpol yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima dalam bentuk apapun, dipidana penjara paling singkat 36 bulan. Paling lama 72 bulan. Dan denda paling sedikit Rp 300 juta, paling banyak Rp 1 miliar.

"Kalau pihak parpol, yang disanksi orangnya. Bukan parpolnya. Tapi walaupun ada sanksinya, pembuktiannya kita sangat sulit," tambah mantan aktivis mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) itu.

Sementara bagi bacalon, yang memberi mahar ke parpol, juga ada sanksinya. "Dia dikenakan sanksi pidana. Ancaman penjaranya 24 bulan sampai 60 bulan. Dendanya minimal Rp 300 juta dan maksimal Rp 1 miliar".

Bila dalam pertarungan pilkada, bacalon bersangkutan menang. Namun dalam proses meraih dukungan parpol, terbukti memberikan mahar politik, berdasarkan putusan pengadilan, kemenangan yang diraih itu dapat dibatalkan. "Jadi yang bersangkutan dinyatakan bukan sebagai pemenang," pungkasnya.

Tak hanya Saipul. Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi pun mengakui adanya praktik tersebut.  Meski sudah ada larangan yang diatur dalam UU Pilkada. "Kalau kita bicara pembuktian. Karena proses itu terjadi internal (antara bacalon dan pihak parpol), saya melihat tidak mudah bagi penyelenggara untuk membuktikan. Ini problem pembuktian," katanya, yang juga mantan anggota Bawaslu Bali itu.

Namun demikian, KPU, selalu mengimbau kepada masyarakat, bacalon hingga parpol agar aturan dalam UU dipatuhi. Termasuk soal tak memberi dan menerima mahar politik. "Di samping itu, butuh partisipasi masyarakat," imbaunya.

Selama pengalaman dirinya menjadi petugas penyelenggara pemilu -- ketua KPU Bali, anggota Bawaslu Bali hingga komisioner KPU RI, ia tak pernah bertemu langsung dengan kasus mahar politik tersebut. Meski, informasi tentang mahar politik itu nyaring terdengar.

"Dari pemilu ke pemilu, pilkada ke pilkada, kasus seperti itu susah (dibuktikan)," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: