Mengejar Sinyal hingga di Atas Bukit

Mengejar Sinyal hingga di Atas Bukit

Bagi Gilang, mengejar cita-cita memang harus didahului dengan berjuang. Seperti mengejar sinyal ke atas bukit. Agar dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh. Kelak, ini pasti akan diingat Gilang. Yang bukan tidak mungkin di masa depan menjadi menteri. Yang mengurusi teknologi dan informasi (Istimewa)

Kukar, nomorsatukaltim.com - Di daerah pelosok, kebijakan belajar di rumah bukan pilihan menyenangkan. Muhammad Gilang Ramadhan Saleh, atau akrab disapa Gilang, merasakan itu. Ia satu dari sekian siswa yang harus berjuang untuk bisa menerima pelajaran. Pada masa pandemi COVID-19.

Ia harus mendaki bukit dekat rumahnya. Untuk sekadar mencari jaringan sinyal telepon. Agar tidak tertinggal materi pelajaran secara daring. Bukit tersebut berjarak 500 meter dari rumahnya. Tepatnya di Desa Bukit Layang Kecamatan Kembang Janggut, Kutai Kartanegara (Kukar).

Desa Bukit Layang jauh dari pusat kecamatan. Jaraknya sekitar satu jam. Kemudian dari pusat kota Tenggarong, harus menempuh sekitar empat jam. Di tempat itu memang sangat minim jaringan.

Setiap harinya, sejak pukul 07.00 pagi, ia bersama beberapa temannya menuju ke atas bukit. Aksesnya pun terbatas. Jalan setapak yang sebagian besar tanah. Dengan batu-batu koral di sampingnya.

Jika hujan, mereka harus berhati-hati. Jalanan licin. Kemudian menanjak terjal pula. Mereka terpaksa harus kembali turun. Meninggalkan waktu belajar berharganya bersama guru melalui aplikasi internet. Kemudian menuju sebuah pos. Milik perusahaan kebun sawit di sekitar bukit itu. Ayah Gilang kebetulan bekerja sebagai sopir truk di perusahaan itu.

Tidak ada bangunan yang bisa digunakan berteduh di atas sana. Benar-benar beralaskan tanah dan beratapkan langit. "Enggak ada tempat berteduh, kalau hujan ya hujan, panas ya kepanasan," cerita siswa kelas XII tersebut.

Selama pandemi ini, waktu belajar dibatasi. Hanya hingga pukul 10.00 pagi saja. Hanya berbekal buku tulis, buku paket pelajaran dan pulpen, Gilang dan temannya menuju ke atas bukit. Tentunya membawa smartphone, sebagai media belajar.

Gilang dibekali kuota dari sekolah. Besarannya 6,5 Gigabyte (GB). Untuk pemakaian sebulan. Selanjutnya, ia mengaku masih belum tahu. Apakah harus membeli sendiri atau mendapatkan bantuan dari sekolah lagi. Itu pun hanya layanan milik provider Telkomsel. Hanya satu provider saja yang eksis di tempat itu.

Sejauh ini, tidak ada kendala lain yang dirasakan. Selain harus naik bukit setiap hari. Pihak sekolah cukup mendukung. Sejauh ada kendala, tinggal konfirmasi saja. Akan diberikan keringanan.

Gilang adalah siswa SMA Islam Terpadu (SMA-IT) Nurul Ilmi Tenggarong. Ia lebih memilih menetap di kampungnya selama pandemi ini. Dibanding kembali ke Tenggarong. Selain bisa berkumpul dengan keluarga, di Tenggarong dirinya tinggal di asrama milik sekolah. Praktis, hanya dirinya saja yang menempati asrama tersebut. "Asrama paling sendiri saja, temen lain memang nge-kost," pungkas Gilang.

Belajar di rumah melalui sistem daring itu memang sudah menjadi kebijakan pemerintah. Dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mungkin bagi sebagian siswa. Metode ini menguntungkan, karena bisa belajar lebih nyaman. Tapi tidak bagi siswa-siswi di daerah pedalaman. Selain kebutuhan kuota, harus pula mencari spot terbaik untuk memaksimalkan penangkapan sinyal jaringan.

Untuk di Kukar, pemerintah setempat resmi menerapkan kegiatan belajar mengajar (KBM) di rumah sejak 17 Maret silam. Kebijakan ini diperpanjang hingga 4 bulan ke depan. Hingga November 2020 mendatang.

Gilang berharap, pandemi COVID-19 segera usai. Dirinya mulai merindukan suasana pembelajaran di sekolah. Berinteraksi dengan teman dan guru secara langsung. (mrf/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: