Dari Kampung ke Kampung

Dari Kampung ke Kampung

SISWA SMPN 1 Maratua yang belajar berkelompok di luar sekolah selama masa pandemik COVID-19. Guru-guru mereka secara bergilir ke empat kampung.

Tanjung Redeb, Disway - Kebijakan belajar dari rumah maupun daring di tengah pandemik virus corona, belum sepenuhnya bisa diterapkan di beberapa daerah di Kabupaten Berau, contohnya di Kecamatan Maratua.

Salah seorang Wali kelas SMPN 1 Maratua, Rizky Saputro menceritakan, para pengajar harus menerapkan sistem luring dengan cara turun ke kampung-kampung yang ada di Maratua. Sebanyak 20 pengajar secara bergantian menuju kampung Teluk Harapan, Payung-payung, Bohe Sillian, dan Teluk Alu.

“Kami setiap hari bergantian sesuai dengan mata pelajaran, sejak tahun ajaran baru 13 Juli lalu. Jarak paling jauh itu ke Teluk Alu, bisa lebih dari satu jam pelajaran,” ujarnya kepada Disway Berau, Rabu (29/7).

Dalam satu hari, pembelajaran hanya diterapkan 2 mata pelajaran. Masing-masing pelajaran hanya 30-1,5 jam saja. Durasi tersebut dikurangi untuk menghindari siswa merasa stres untuk belajar di keadaan yang belum normal. Setiap siswa diberikan bekal masing-masing buku paket pembelajaran sesuai dengan arahan dari Dinas Pendidikan.

Masing-masing siswa membentuk kelompok berisikan 5-7 orang dalam sekali pertemuan. Biasanya mereka belajar di dekat pantai atau di balai kampung, bisa juga di bawah pohon. Kata Rizky, di mana tempat bisa dibuat belajar asal tidak di sekolah.

Pembelajaran dari kampung ke kampung ini terjadi, sebab jaringan internet yang tidak memadai. Serta, para siswa dan orangtua merasa berat untuk membeli pulsa. Apalagi, tidak ada jaringan seperti WiFi di siang hari lantaran listrik belum 24 jam.

“Listrik hanya nyala saat malam, belum lagi anak-anak ini tidak semua punya HP. Orangtua mayoritas nelayan, belum terlalu mampu untuk memenuhi kebutuhan itu,” ungkapnya.

Penyebab itu lah yang mengharuskan mereka mau tidak mau turun. Padahal masing-masing dari pengajar juga memiliki anak yang mereka harus bawa kemana-mana. Seperti contohnya Rizky, dia harus mendampingi anaknya belajar, begitu juga dia harus mengajari anaknya.

Belum lagi, masih ada tenaga pengajar yang sedang hamil, namun tetap harus menempuh perjalanan ke kampung.

“Kalau untuk biaya transportasi masih ditanggung sekolah, sebenarnya tidak masalah bagi kami, yang penting sudah mulai belajar. Kalau menunggu internet, tidak akan terlaksana,” paparnya.

Rizky berharap, pemerintah dapat memperhatikan kondisi ini. Terlebihnya, Maratua sebagai sasaran pariwisata Berau, akan tetapi masih sulit listrik dan jaringan internet.

“Sampai waktu tidak ditentukan, kami akan terus jemput bola. Tapi jam sekolahnya hanya Senin-Kamis, hari Jumat libur karena jam pendek, tapi Sabtu masuk sekolah lagi dan Minggu libur. Kami mulai pagi jam 8 Wita dan selesai tengah hari,” tutupnya. *RAP/APP


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: