Menjaga Keamanan Data Pribadi dan Pandangannya dalam Islam
Ilustrasi kejahatan siber.-net-
Majelis, tempat orang bertukar pikiran, terikat dengan nilai kerahasiaan. Kini, ruang digital seperti grup chat dan media sosial juga menjadi majelis baru yang harus dijaga kerahasiaannya. Ia menjelaskan:
"Menyebarkan rahasia adalah perbuatan terlarang, karena dapat menyakiti orang lain dan mengabaikan hak orang-orang terdekat serta sahabat. Nabi bersabda: 'Apabila seseorang menyampaikan pembicaraan lalu ia berpaling (sebagai isyarat bahwa itu bersifat pribadi), maka itu adalah amanah.' Menyebarkan rahasia hukumnya haram bila menimbulkan mudarat, dan tetap tercela meski tidak menimbulkan dampak buruk." (Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005, hlm. 1022)
Pandangan ini relevan dalam konteks digital saat ini. Komunikasi tidak hanya terjadi melalui interaksi langsung, tetapi juga melalui platform seperti WhatsApp, Zoom, email, dan media sosial.
Banyak informasi pribadi tersebar di sana: identitas, foto, alamat, isi percakapan, dan lainnya. Jika informasi itu dibagikan tanpa izin, maka perlu dilihat dulu konteks dan dampaknya.
Jika penyebaran itu merugikan pihak lain, misalnya membuka aib, memicu fitnah, atau menyebabkan kerugian materi, maka secara hukum Islam bisa masuk dalam kategori dosa besar.
Namun, jika tidak menimbulkan bahaya nyata, tetap saja tindakan itu dipandang melanggar adab, karena merusak kepercayaan dan tidak menjaga amanah.
Islam mengarahkan umatnya untuk berhati-hati dalam menjaga rahasia orang lain, demi melindungi kehormatan dan menjaga maslahat bersama. Meski demikian, ada tiga pengecualian yang dibolehkan untuk membocorkan data.
Yaitu untuk mencegah pembunuhan, perbuatan zina, dan perampasan harta. Nabi berpesan:
"Majelis pada dasarnya adalah amanah. Namun, ada tiga keadaan yang membolehkan isi majelis disampaikan: untuk mencegah pembunuhan, mencegah perbuatan zina, dan menghentikan perampasan harta secara tidak sah." (As-Suyuthi, Jam’ul Jawami’, [Kairo: Dar Sa'adah, 2005], jilid IV, hlm. 141).
Hadits tersebut menegaskan bahwa membocorkan informasi hanya dibolehkan dalam tiga kondisi darurat: untuk mencegah pembunuhan, perbuatan zina, atau perampasan harta secara tidak sah.
Dalam konteks digital, ini berarti data pribadi yang tersebar di grup online atau media sosial merupakan amanah yang harus dijaga.
Penyebarannya hanya dibenarkan jika bertujuan mencegah kejahatan serius seperti ancaman terhadap nyawa, kekerasan seksual, atau penipuan dan pencurian.
Di luar itu, membocorkan data pribadi melanggar etika, hukum, dan nilai-nilai agama. Dalam sirah nabawiyah, menjaga informasi sangat penting.
Salah satu contohnya adalah kisah Hatib bin Abi Balta'ah. Ia mengirim surat rahasia kepada Quraisy menjelang Fathul Makkah.
Surat itu berisi informasi strategis. Nabi segera bertindak. Surat diamankan demi melindungi keselamatan kaum Muslimin. Kisah Ummu Kultsum binti Uqbah sangat bermakna. Ia hijrah ke Madinah demi menjaga imannya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

