Bankaltimtara

Audit Dana Desa Kampung Sebelang Terbengkalai, Warga Curiga Ada yang Ditutupi

Audit Dana Desa Kampung Sebelang Terbengkalai, Warga Curiga Ada yang Ditutupi

Ruangan petinggi kampung Sebelang Pernah disegel.-istimewa-

Alkani mengungkap bahwa warga telah menyampaikan sejumlah indikasi penyimpangan.

BACA JUGA : Dana Desa Menguap di Long Iram Seberang? Dugaan Pelatihan Fiktif hingga Pemborosan Material

Salah satu yang paling mencolok menurutnya, adalah aktivitas penyedotan pasir oleh pihak swasta di wilayah kampung.

Ribuan kubik pasir dikabarkan diangkut setiap bulan dari Sungai Pahu, namun tidak ada satu pun laporan keuangan yang menunjukkan kontribusi terhadap kas desa.

“Bayangkan, perusahaan bisa menyedot pasir dari wilayah kampung, tapi tidak ada kompensasi ke masyarakat. Tidak ada pendapatan resmi masuk BUMK. Apakah mungkin hal seperti itu bisa jalan tanpa keterlibatan petinggi kampung?” katanya.

Ia menduga ada pembiaran sistematis oleh aparat kampung terhadap praktik ini.

Bahkan, ia mencurigai adanya perjanjian tak tertulis antara kepala kampung dan pihak swasta yang menjalankan usaha tersebut.

“Tidak ada transparansi. Dana dari pasir bisa miliaran rupiah kalau dikalkulasi. Tapi warga tidak pernah tahu, bahkan tidak pernah diajak musyawarah. Ini bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat adat,” lanjutnya.

BACA JUGA : 6 Guru Muda Ditugaskan di Pedalaman Kutai Barat, Bupati Edwin Sebut Mereka Inspirasi Perubahan

Tak hanya soal tambang pasir, Alkani juga menyinggung persoalan tanah ulayat yang menurutnya telah diklaim sepihak sebagai bagian dari kawasan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

Program yang semestinya bertujuan melestarikan lingkungan, justru menimbulkan ketegangan sosial karena mengubah status lahan masyarakat menjadi milik kelompok binaan yang diketuai oleh petinggi kampung sendiri.

“Kepala kampung juga yang jadi ketua Pokmas RHL. Dia tentukan sendiri kawasan mana yang masuk program. Tidak ada SK resmi, tidak ada persetujuan warga. Tiba-tiba tanah orang berubah status,” keluhnya.

Menurutnya, pengelolaan program RHL itu tidak hanya cacat prosedur, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik agraria di kemudian hari.

Sebab, tanah yang dulunya digarap warga kini masuk dalam zona larangan berdasarkan peta sepihak.

BACA JUGA : Pernikahan Dini Jalur Adat Jadi Sorotan DPRD Kutai Barat, Stunting Tak Kunjung Reda

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: