Biduk-Biduk dan Kisah Putri Suluk, Runtuhnya Kerajaan Kayu

Senin 15-06-2020,21:12 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Pasangan Mahmude dan Putri Baggol bersama anak-anaknya kemudian hijrah dari Pulau Kaniungan ke wilayah daratan. Bermukim di lokasi yang sekarang disebut Labuan Kelambu. Dekat dengan objek wisata Labuan Cermin. Masih wilayah administratif Kampung Biduk-Biduk, Kecamatan Biduk-Biduk.

Cerita pelarian Putri Baggol dari keraton di Tanjung Sampoerna belum usai. Milla mengatakan, saat itu Kerajaan Sulu membuat suatu sayembara untuk menemukan putri kerajaan itu. Dan siapapun yang bisa membawa putri tersebut kembali ke Tanjung Sampoerna akan dinikahkan dengan sang putri.

"Itulah yang menjadi salah satu sebab, banyak orang-orang Bajau Filipina di Indonesia. Termasuk di Sumatera, Kalimantan dan yang paling banyak di Sulawesi," ungkap Abdul Milla kepada Disway Kaltim, belum lama ini.

Sebagian pencari Putri Baggol itu sampai di Biduk-Biduk. Namun mereka justru menetap di wilayah tersebut. Karena tidak berhasil membujuk sang putri kerajaan untuk pulang.

Menurut orang-orang tua dulu, kata Milla, Mahmude yang juga merupakan keturunan hasil persilangan dari kerajaan Bone dan Wajo di Sulawesi Selatan. Terkenal sakti dalam ilmu kebatinan. Beberapa kali Putri Baggol hendak dibawa pulang, tapi tak pernah berhasil. "Kapal yang dinaiki selalu karam tidak jauh setelah meninggalkan pantai," katanya.

Begitupun sebaliknya, beberapa kali juga Mahmude mencoba untuk kembali ke Sulawesi. Namun setiap kali ingin memulai pelayaran. Tiba-tiba saja cuaca menjadi buruk. Langit berubah gelap dan ombak besar bergulung. "Itu karena kesaktian moyang Baggol," lanjut Milla.

Hingga keduanya pun tak pernah lagi berhasil kembali ke daerah asalnya masing-masing. Para pencari Putri Baggol yang menetap dan pendatang yang merupakan saudagar, yang awalnya hanya singgah untuk mencari suaka di Biduk-Biduk, pun ikut mendiami wilayah itu. Hingga saling silang melakukan pernikahan. Dan melahirkan keturunan yang hingga sekarang menghuni wilayah pesisir pantai nan indah itu.

"Wilayah ini (Kecamatan Biduk-Biduk, Red.) dulu juga menjadi tempat singgah kapal-kapal perniagaan. Dari daratan Cina, Arab dan lain-lain," jelas Milla.

"Makanya banyak suku yang mendiami kampung ini. Terutama yang paling dominan yaitu Suku Bajau, Bugis, Mandar," sebutnya.

Sumber sejarah lain menceritakan, penduduk Kampung Biduk-Biduk berasal dari Pulau Sulawesi. Dalam artikel profil sejarah kampung di laman blog pemerintah Kampung Biduk-Biduk, menceritakan hal yang hampir sama dengan cerita Abdul Milla.

Sejarah terbentuknya kampung Biduk-Biduk berdasarkan penuturan para sesepuh kampong. Berawal dari menikahnya Putri Solok. Atau yang disebut Abdul Milla sebagai Suluk.

Tahun 1909. Salah satu anak Mahmude dan Putri Solok, Kalla, hendak mencari nelayan yang lama belum kembali. Ketika itu, Kalla dan orangtuanya masih tinggal di Pulau Kaniungan.

Kalla menemukan kapal-kapal nelayan itu, singgah di tempat yang ramai dengan kapal-kapal nelayan lain. Kalau sekarang sekitar 15 menit perjalan menggunakan kapal. Tempat itu dianggap strategis. Memiliki potensi ekonomi dan pemandangan yang indah. Kalla pun terpesona oleh tempat tersebut. Itulah Bibuk-Biduk.

Tahun 1912, Kalla dan keluarganya pindah ke Biduk-Biduk. Ayahnya, Mahmude, menjabat sebagai kepala kampung pertama di wilayah itu. "Sejak saat itu, lokasi tersebut menjadi tempat strategis bagi persinggahan para pelaut. Menjadikan kegiatan perniagaan berjalan lancar dan pendapatan masyarakat meningkat," tulis artikel yang ada di blog milik pemerintah kampung. Atau setingkat desa.

Diceritakan, Mahmude menjabat sebagai kepala kampung pertama dari 1912-1937. Tahun 1937-1943 kepala kampung dijabat oleh Achmad, dan pada 1943-1944 kepala kampung dijabat oleh Arifin. Masih keturunan Mahmude.

Kurang lebih selama satu tahun masa kepemimpinannya, Arifin ditangkap oleh pasukan Jepang bersama 50 warganya. Mereka dibawa ke Balikpapan dengan alasan telah memberi makan tentara sekutu.

Tags :
Kategori :

Terkait