“Takut karena Tidak Tahu”

Sabtu 28-03-2020,01:01 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Disway Kaltim berkesempatan melakukan wawancara dengan Rizka Nurazizah, warga Samarinda yung kuliah di Hubei Politeknik University, Jurusan Kedokteran. Rizka sempat menjalani karantina selama 14 hari di Kepulauan Natuna. Sempat pula terisolasi di kota Huangshi. Atau sekitar 2 jam perjalanan dari pusat corona Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei. Ketika awal-awal Huangshi melakukan lockdown. Setelah merebak wabah coronavirus jenis baru COVID-19 itu ke seluruh penjuru Tiongkok. Bagaimana Rizka dan teman-temannya mengatasi rasa ketakutan itu?   Berikut petikan wawancaranya bersama Pemimpin Redaksi Disway Kaltim Devi Alamsyah dengan format penulisan tanya jawab: Q: Waktu kejadian ramai-ramainya virus corona, mba Rizka posisinya ada di mana? A: Posisi Saya ada di Huangshi. Kalau sekarang yang terkenal kan itu Wuhan. Nah, Huangshi itu jaraknya sama dengan Samarinda dan Balikpapan. Sekitar dua jam perjalanan. Tapi biasanya, kalau saya ke Wuhan menggunakan kereta cepat. Waktunya hanya 20 menit. Q: Waktu pertama kali mendengar soal virus corona, lagi ada di mana? A: Posisi saya waktu lagi ramai-ramainya itu ada di wilayah kampus. Di asrama.   Q: Tahu dari siapa? A: Kami tahu info ini dari media sosial (Medsos) di China. Setelah itu dari pihak kampus yang mengkonfirmasi agar kita tetap stay di dalam asrama.   Q: Waktu itu, belum kota Huangshi belum di-lockdown ya? Berapa lama setelah menerima informasi itu sampai dilakukan lockdown ? A: Iya. Termasuk singkat sih. Hanya dua sampai tiga hari saja dari saat informasi awal yang kami terima. Karena dari pemerintah setempat itu sangat gesit untuk masalah ini.   Q: Ketika di-lockdown, apa sih yang dilakukan oleh mahasiswa di sana? A: Saat di lockdown itu kan kita lagi ada di asrama ya. Di asrama juga ada dapurnya. Tapi, di minggu pertama, kita kesusahan untuk bahan baku makanan. Karena, masyarakat juga berbondong-bondong membeli makanan untuk persediaan mereka. Karena kan kita tidak mengetahui sampai kapan ini berakhir.   Q: Di dapur itu ada yang masakin atau para mahasiswa yang masak sendiri? A: Jadi asrama itu kan ada enam lantai. Setiap lantai ada dapur umumnya. Satu lantai itu ada 28 orang. Dapurnya pun besar. Satu dapur itu luasnya seperti kamar kami. Luasnya 5x3 meter. Jadi masaknya barengan semua.   Q: Siapa yang paling sering masak? A: Saya termasuk yang paling sering masak. Karena kita kan enggak tahu masakan di luar itu halal atau tidak. Kebetulan di tempat saya sih muslim semua. Ada satu yang non muslim dari Indonesia.   Q: Mba Rizka di sana kuliah apa? A: Kuliah Kedokteran umum. Q: Kok bisa mengambil kuliah kedokteran di Hubei? A: Karena memang kebetulan saat itu ada tawaran untuk berkuliah di sana. Saya juga mengikuti berbagai tes. Ya Alhamdulillah, ada jalan. Saya ditawari saat masih berada di Samarinda. Sekarang saya sudah semester enam.   Q: Kalau kita dengar beritanya di Indonesia, Wuhan mencekam. Sepi. Tidak ada pergerakan. Sebetulnya di sana itu semencekam apa sih? A: Kalau diceritakan semencekam apa, kalau dilihat normalnya, Wuhan itu merupakan kota metropolitan. Paling padat. Karena, Wuhan itu center-nya China. Di situ tempatnya orang bertransaksi. Banyak sekali kegiatan. Tapi tiba-tiba, semua transportasi itu dibekukan. Tidak ada transportasi di jalanan. Jadi terlihat seperti kota mati. Semua aktivitas tempat umum itu di-close.   Q: Kalau di tempat Mba Rizka sendiri semencekam apa? A: Terakhir kali saya di sana itu, orang jarang beraktivitas di jalan. Sama seperti Wuhan. Tapi, masih ada aktivitas di tempat saya. Masih ada transaksi jual beli di sana.   Q: Saat lockdown itu, ada berapa orang yang ada di asrama?. A: Kurang lebih ada 300 orang. Karena memang ada beberapa orang Indonesia yang sudah pulang duluan. Posisinya saat itu sedang libur musim dingin. Beberapa ada yang pulang, ada juga yang stay. Saya termasuk yang stay. Karena, kemarin sudah pulang waktu summer (libur musim panas).   Q: Waktu itu dapat informasi Kedutaan Besar Indonesia di China kan mau jemput. Sementara, mahasiswa kan tersebar. Itu proses penjemputannya seperti apa? A: Jadi kami itu dikumpulkan di Wuhan. Karena itu kan Ibu Kota Provinsi. Jadi, dari kota-kota lain itu, kami dijemput pakai bus. Yang jemput itu dari pihak KBRI. Setelah dijemput dari setiap kota, kita dikumpulkan di Bandar Udara Internasional Tianhe Wuhan. Saya berangkat itu 1 Februari.   Q: Sampai di bandara Wuhan, kondisinya seperti apa? A: Sebelum berangkat, kami dari asrama itu sudah dilakukan thermal scan semua. Jadi kami bisa lolos. Itu yang melakukan dari pemerintah China. Mulai dari keluar kampus, keluar kota, hingga ke bandara dilakukan pengecekan melalui thermal scan. Jadi betul-betul bertahap dilakukan pengecekan tersebut. Jadi, sebenarnya kita dilepas dari China itu, pemerintah China sudah yakin, kalau kami ini aman.   Q: Mba Rizka sendiri sepanjang perjalanan itu merasa takut enggak? A: Kalau takut, pasti ada lah. Sedikit. Karena kan kita ke tempat wabahnya itu. Kalau ditanya seberapa takut, ya pasti takut, tapi hanya sedikit. Kita harus lebih mengontrol diri lah. Karena kan kita sebagai mahasiswa kedokteran, kami sudah diberi cara untuk menanganinya.   Q: Kalau dari angka 1 sampai 10, ketakutannya ada di angka berapa? A: Bisa dibilang 3 mungkin. Q: Wow, termasuk berani! Padahal kita yang dengar saja di sini angka ketakutannya bisa lebih dari itu. A: Ya, takut itu kan karena ketidaktahuan saja. Sementara kami sudah diajari.   Q: Emang apa yang diajarkan di kampus? A: Pertama untuk menjaga agar tidak terkena wabah ini, kita harus menjaga kebersihan. Kebersihan diri dan lingkungan. Serta harus pakai masker. Yang terpenting selalu mencuci tangan. Serta jangan memegang muka. Ya sering-sering mandi juga lah..hehe.   Q: Saat itukan musim dingin. Kalau sering mandi apa enggak kedinginan? A: Ya, paling tidak sehari sekali harus mandi. Tapi kan mandinya pakai air panas. Q: Berapa derajat waktu itu? A: Di sana terakhir itu 3 derajat.   Q: Masker di sana ada yang kasih? A: Alhamdulillah untuk masker selalu diberikan dari kampus. Masker tersebut tinggal diambil kalau kita mau keluar. Jadi memang benar, kalau kampus kami benar-benar memproteksi kami. Kalau kami mau keluar, paling untuk kebutuhan membeli bahan makanan.   Q: Jarak dari asrama ke luar itu berapa lama? A: Sekitar 30 menit kalau pakai bus ke pusat perbelanjaan itu. Memang satu minggu pertama saat diberlakukan lockdown, transportasi masih berjalan. Minggu kedua sudah enggak ada lagi. Di dekat kampus kami memang ada toko kecil. Tapi, semua barangnya sudah habis. Sudah diborong sama orang sekitar.   Q: Interaksi sehari-hari pakai Bahasa Mandarin?   A: Iya. Kalau di kampus pakai Bahasa Inggris. Mandarin itu digunakan hanya ketika berinteraksi dengan warga. Misalnya menanyakan jalan atau berbelanja di pasar. Soalnya warga China tak terbiasa dengan Bahasa Inggris. Masyarakat lokal di sana paling suka dengan yang menawar. Jadi, sengaja harga ditinggikan agar bisa ditawar. Jadi, harus bisa menggunakan Bahasa Mandarin.   Q: Kembali ke Bandara. Ketika itu transit di bandara berapa lama? A: Jadi, kita menunggu teman-teman dari berbagai kota untuk ngumpul di Wuhan. Jadi, kami berangkat itu malam. Sampai di bandara Wuhan sebenarnya jam 3 sore. Lalu berangkatnya malam. Sekitar jam 1 malam. Q: Selama nunggu ada ketakutan? A: Ada pasti. Apalagi dari orang tua kan khawatir sekali. Selalu menelpon kan.   Q: Setelah berangkat dari Wuhan, selanjutnya ke mana? A: Kita menunggu dulu di bandara itu sampai tengah malam. Baru dijemput dengan Batik Air. Lalu kami ke Batam. Nah, saat di Batam kami disemprot disinfektan. Kami sih gak masalah. Itu kan prosedur dari WHO. Selanjutnya kita dijemput dengan tiga pesawat dari angkatan udara. Dua jenis Boing satu Herkules. Baru kita dibawa ke Kepulauan Natuna. Kita semua ada sekitar 200 orang.   Q: Saat di Natuna, kabarnya banyak cinlok (cinta lokasi). A: Kalau yang saya dengar dari teman-teman sih ada. Bisa cinlok karena mungkin kegiatan dilakukan bersama-sama. Saling peduli satu sama lain. Karena, di sana itu kita sudah  seperti keluarga. Sebelumnya kan tidak pernah ketemu karena beda kampus.   Q: Ada kisah menarik lainnya enggak selama dua minggu di Natuna?. A: Mungkin kita bisa kenal dengan mas-mas TNI ya. Bisa dibilang begitu. Mereka juga kan ada yang dekat sama teman-teman yang lain. Saling tukaran WA, Medsos dan lain-lain.   Q: Kabarnya kan sempat mendapat penolakan dari warga Natuna, itu bagaimana? A: Jadi di hanggar itu kami dijaga lebih dari seribu prajurit TNI. Kami juga kan ada TV. Kami melihat respons orang Indonesia dan warga Natuna dengan kedatangan kami. Memang, kami sedikit khawatir dengan penolakan masyarakat Natuna. Alhamdulillah kan sudah aman waktu itu.   Q: Hanggarnya itu seberapa luas sih? A: Hanggarnya mungkin sebesar tiga pesawat lah. Tapi, kalau besaran angkanya saya kurang pasti. Jadi, di dalam hanggar itu didirikan 18 tenda. Di dalam satu tenda ada 20 orang. Tapi, posisi semuanya harus menggunakan masker. Tidur pun harus pakai masker. Apalagi tiga hari pertama, kan kita tidak tahu satu sama lain. Untuk proteksi diri juga kan.   Q: Aktivitas sehari-hari apa di sana? A: Selama di Natuna, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, kita sudah dijadwalkan. Jadi kami bangun itu jam 4 subuh. Yang muslim itu salat, terus bersih-bersih tenda. Setelah itu, jam 6 kita wajib keluar dari hanggar. Lalu, kami melakukan senam. Sebenarnya, menurut saya, kami bukan di karantina. Tapi, kami itu wajib militer. Kemudian setelah senam, kami sarapan. Lalu kami check up. Baru kita lanjutkan kegiatan yang lain. Siang makan, sore kita senam lagi.   Q: Selama dua minggu itu merasa jenuh?. A: Untuk dua hari pertama, iya. Selanjutnya sih asyik saja. Pertama itu kan kita juga belum ada komunikasi dengan orang tua. Jadi, itu sih yang membuat kami merasa khawatir juga. Tapi, Alhamdulillah, kami sudah tidak khawatir lagi. Karena kami sudah di Indonesia. Kami, sudah senang, keluar dari zona virus tersebut.   Q: Selepas karantina, kemudian diterbangkan ke Jakarta. Ada pemeriksaan lagi? A: Saat di Jakarta tidak ada skening lagi. Karena kita saat di Natuna, sebelum berangkat sudah dilakukan skening terakhir. Serta diberikan sertifikat sehat yang ditandatangani Kementrian Kesehatan. Jadi, di Jakarta kami dilepas ke provinsi kami masing-masing. Kami dijemput oleh Gubernur Kaltim Isran Noor. Kami langsung diarahkan ke hotel Ibis. Selanjutnya dinner dengan gubernur.   Q: Saat itu, apa yang diceritakan Pak Isran Noor? A: Pak Isran Noor saat menyambut kami itu memang sudah benar-benar percaya. Beliau, tidak menggunakan alat proteksi apapun. Kami lalu makan malam bersama. Kemudian nginap di Hotel Ibis, lalu besoknya berangkat ke Kaltim.   Q: Bagaimana perasaannya saat mau berangkat ke Kaltim? A: Ya deg-degan. Pertama saya  kangen sama orang tua. Orang tua tinggal di Loa Bakung, Samarinda. Dulu sekolah saya di SMA 3 Samarinda. Saya lulus SMA itu 2017, langsung kuliah di Hubei.   Q: Sekarang posisinya liburan ya? A: Sekarang kita sudah masuk dalam proses perkuliahan. Kuliah kita menggunakan sistem online. Kami, menggunakan HP. Seperti video call. Jadi, mahasiswa tinggal login. Itu sudah menjadi absensi kami. Jadi, kami sudah diberitahu kapan akan memulai mata kuliah. Semua harus login di waktu yang telah ditentukan. Sesuai jam China.   Alhamdulillah di China dan Samarinda, waktunya sama. Jadi, pagi itu jam 8, sesi kedua jam 10.10. Setelah itu 14.30. Itu harus login sesuai waktunya. Kalau enggak login, berarti kita alpa. Kendalanya itu hanya internet. Kalau di wilayah saya (Loa Bakung) jaringannya itu naik turun.   Q: Rencana kapan mau balik ke China? A: Tergantung pemerintah Indonesia. Kapan membuka penerbangan internasional. Dan tergantung di China sudah aman atau belum.   Q: Oke, ada yang mau disampaikan lagi? A: Saya berterima kasih kepada pemerintah Indonesia yang mau mengevakusai kami semua. Serta KBRI. TNI, Polri dan jajarannya. Terutama juga kepada Pak Isran Noor yang sudah menjemput kami. (*) Oleh : Michael F Yacob  

Tags :
Kategori :

Terkait