Akademisi Unmul Ini Ingatkan Deforestasi Kaltim Masuki Fase Kritis

Minggu 07-12-2025,15:41 WIB
Reporter : Salsabila
Editor : Baharunsyah

Model tambang terbuka menghilangkan struktur bentang alam asli dan mengubah sistem hidrologi.

Sementara perkebunan monokultur menggantikan vegetasi berakar dalam dengan tanaman homogen yang memiliki daya serap jauh lebih rendah.

"Tambang menghancurkan wadah air alami, perkebunan menurunkan daya serap tanah, dan pembangunan mempercepat aliran permukaan. Kombinasi ketiganya menciptakan siklus bencana ekologis yang terus berulang," tegasnya.

Dampaknya terlihat nyata pada peningkatan frekuensi banjir dan longsor di kawasan yang sebelumnya aman.

Kiswanto menyebut, banjir besar yang dulu hanya terjadi dalam periode ulang puluhan tahun, tapi saat ini meningkat menjadi kejadian tahunan.

Selain pertambangan dan sawit, percepatan pembangunan infrastruktur skala besar juga memberi tekanan baru.

Dalam konteks ini, ia juga mengingatkan bahwa pembangunan membutuhkan perspektif daya dukung ekologi, bukan sekadar target investasi.

"Negara memang butuh pembangunan, tetapi pembangunan tanpa koreksi lingkungan justru memperpanjang rantai kerusakan. Biaya ekologisnya jauh lebih besar dari keuntungan jangka pendek," bilangnya.

BACA JUGA:Dua Komisi di DPR RI Siap Kawal Aspirasi Masyarakat Kaltim soal Pemotongan DBH

Konversi kawasan lindung dan daerah resapan air menjadi permukiman dan pusat komersial mempercepat penurunan kualitas hidrologi, terutama di Samarinda dan Balikpapan yang telah lama mengalami masalah banjir.

"Jika vegetasi di lereng curam dihilangkan dan dilakukan cut-and-fill tanpa penguatan vegetatif, maka longsor hanya menunggu waktu. Beton dan aspal meningkatkan limpasan air dan memperpendek waktu respon banjir," sebut Kiswanto.

Akademisi ini menilai bahwa persoalan banjir di wilayah perkotaan tidak dapat dilepaskan dari rusaknya kawasan hulu.

Rehabilitasi di tingkat hilir bukan solusi jangka panjang tanpa pemulihan sistem ekologis pada daerah tangkapan air.

Kiswanto menekankan bahwa Kaltim sedang mendekati fase yang disebutnya sebagai titik kritis ekologis (ecological tipping point).

Apabila tren degradasi lahan berlanjut, ungkap Kiswanto, wilayah ini akan memasuki kondisi permanen di mana sistem lingkungan tidak lagi mampu pulih.

"Jika ini diteruskan, kita akan menghadapi banjir besar sebagai fenomena rutin tahunan, peningkatan signifikan kejadian longsor, dan krisis air bersih dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan," imbuhnya.

Kategori :