Keterangan itu sederhana, namun cukup menggambarkan proses yang perlahan-lahan membentuk kolam dalam dan berbahaya tanpa ada tanda bahwa aksesnya perlu dibatasi.
Tak jauh dari para tukang, suasana lain menyentuh lahan itu. Seorang remaja berdiri menatap kubangan. Ternyata ia merupakan saudara laki-laki dari Kartika, salah satu korban. Wajahnya pucat, suaranya pelan, namun ia mencoba mengulang kronologi paling pahit dalam hidupnya.
Menurut penuturannya, keenam anak itu awalnya bermain biasa di sekitar masjid. Lalu ada teman yang mengajak mereka melihat kubangan. Sebelum sampai, seorang paman melihat mereka berjalan ke arah lahan terbuka dan langsung menyuruh pulang. "Tiga orang disuruh pulang," sebutnya.
Tak lama, seorang teman lain juga meminta mereka kembali. Bahkan salah satu anak sempat dilempar tanah ke mulutnya agar berhenti dan pulang. Namun semua peringatan itu tak cukup. Mereka kembali berjalan ke arah kubangan.
Sesampainya di bibir kubangan, tanah yang miring dan lembek membuat seorang anak terpeleset lebih dulu. Ia melorot masuk ke air kecokelatan itu. "Terus yang lain mau tarik tangan. Jadi malah ikut jatuh," kata sang kakak.
Kelima anak lain berusaha menolong. Mereka membentuk rangkaian, saling memegang tangan. Namun pijakan tidak kuat. Beban mereka membuat tanah runtuh sedikit demi sedikit. "Awalnya saling pegangan erat. Tapi tanahnya lepas. Jadi kebawa semua," imbuhnya.
Dari 4 bersaudara keluarga itu, hanya si bungsu, anak berusia 7 tahun yang selamat. Ia berenang ke bagian yang lebih dangkal, tubuhnya penuh lumpur. Ia berlari pulang sambil menangis, sempat terjatuh hingga kepalanya benjol. Di rumah, ia hanya bisa mengucap, "Kakak tenggelam".
Mendengar kabar itu, keluarga langsung menuju lokasi. Beberapa korban ditemukan tersangkut ranting, satu berada di bagian tengah. Ada yang ketika diangkat masih bernapas, namun paru-parunya sudah penuh lumpur. "Kalau pegangan mereka tidak terlepas, mungkin lain ceritanya," ungkap sang kakak, suaranya semakin rendah.
Pihak Grand City Balikpapan mulai memasang pagar pembatas di sekitar kubangan, pasca tragedi maut yang merenggut nyawa 6 anak.-(Disway Kaltim/ Salsa)-
BACA JUGA: Tenggelam di Kubangan Area Grand City Balikpapan, 6 Anak Ditemukan Tak Bernyawa
Warga sekitar menyebut kubangan itu belum lama sedalam sekarang. Menurut cerita sang kakak, permukaan kubangan dahulu tidak setinggi hari ini. Ada saluran air yang dulunya menjadi jalur keluar masuk air, namun belakangan tertutup setelah lahan digusur. Walhasil kondisi tersebut membuat air tertahan dan perlahan-lahan mengisi cekungan hingga menjadi kolam besar tanpa pembatas.
Dari bibir kubangan itu, jejak tragedi kemudian berlanjut ke permukiman warga. Kisah di tepi kubangan berhenti pada pagar yang baru terpasang pagi itu. Namun rangkaian peristiwanya tidak berhenti di sana. Gang Al-Hijrah yang berjarak sekitar setengah kilometer dari lokasi kejadian menjadi titik lain yang memperlihatkan dampak musibah ini.
Rumah kayu milik keluarga korban dipenuhi warga yang datang silih berganti, menunjukkan bagaimana peristiwa di lahan terbuka itu menyentuh kehidupan banyak orang di sekitarnya. Tenda biru dipasang rendah, menutupi hampir seluruh halaman di depan rumah. Kursi-kursi plastik disusun rapat.
Di teras rumah yang kecil itu, orang tua korban duduk terdiam dalam bayang kehilangan yang sulit diterima. Wajah-wajah yang menatap tanah tanpa kata. Tidak ada suara tangis pecah, tetapi kesunyian panjang yang menggantung seperti sesuatu yang tidak selesai.
La Ili, ayah dari tiga korban saudara kandung yakni Alfa Kaltiana Hadi (13), Ica Nawang (11), dan Arafa Lirman Azka Faiez (9) hanya menunduk sepanjang waktu. Ia tak sanggup berbicara, tak sanggup menanggapi pertanyaan apa pun, bahkan tak sanggup membuka pemberitaan mengenai anak-anaknya sendiri. Setiap kali ada warga datang, ia hanya mengangguk pelan. Semua penjelasan akhirnya disampaikan oleh saudara perempuannya.
Saudara perempuan itu, yang kini menjadi suara bagi keluarga, menjelaskan bahwa area yang menjadi lokasi kubangan dulunya merupakan kebun warga setempat. Kebun-kebun itu sudah digarap turun-temurun. "Itu kan rumah kebunnya kita masyarakat di sini. Kebun-kebun tinggi, kolam-kolam tinggi. Digusur semuanya," urainya dengan nada pelan.