Kementerian ATR/BPN Soroti Tumpang Tindih Lahan Milik Negara dengan Masyarakat di Kaltim

Sabtu 25-10-2025,20:51 WIB
Reporter : Mayang Sari
Editor : Didik Eri Sukianto

Dari jumlah tersebut, sekitar 62 persen atau 36.655 kasus telah berhasil diselesaikan, sementara sisanya masih dalam tahap penyelesaian administratif, mediasi, maupun proses hukum.

Berdasarkan rekapitulasi nasional, kasus pertanahan dikategorikan dalam tiga tingkatan, yakni low intensity conflict, high intensity conflict, dan political intensity conflict.

Adapun, konflik berintensitas rendah umumnya melibatkan sengketa antarindividu dengan nilai ekonomi kecil, seperti persoalan batas tanah atau warisan keluarga.

Selain itu, konflik berintensitas tinggi biasanya melibatkan individu atau korporasi dengan negara, yang memiliki nilai ekonomi besar dan berpotensi memicu gejolak sosial.

BACA JUGA: Sengketa Lahan Perumahan Korpri Union di Paser Digugat ke Pengadilan

Sementara itu, konflik dengan muatan politi atau political intensity conflict menjadi kategori paling kompleks karena sering kali berkaitan dengan kebijakan publik, konsesi investasi besar, maupun penguasaan lahan strategis yang membutuhkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga.

Dalam matriks inventarisasi ATR/BPN, sebanyak 18.143 kasus dikategorikan sebagai sengketa, 431 sebagai konflik, dan 18.081 merupakan perkara hukum yang telah masuk ke ranah litigasi.

Mayoritas kasus terjadi antara individu dan negara, disusul oleh sengketa antarindividu dan antarkorporasi.

ATR/BPN juga mencatat sejumlah tanah aset milik pemerintah, TNI/Polri, serta BUMN/BUMD menjadi sumber sengketa yang cukup menonjol.

BACA JUGA: Pemkot Tegaskan Lahan Insenerator Samarinda Seberang adalah Aset Pemerintah

Tanah-tanah tersebut kerap tumpang tindih dengan klaim masyarakat atau penguasaan lama yang belum tersertifikasi.

Untuk mencegah kehilangan aset negara dan memastikan penyelesaian yang berkeadilan, pemerintah menyiapkan beberapa opsi penyelesaian sengketa atau konflik tanah yang beririsan dengan tanah aset.

Pertama, relokasi masyarakat dengan pemberian uang kerohiman sebagai bentuk kompensasi sosial atas lahan yang diklaim atau dikuasai negara.

Kedua, hibah atau pelepasan aset milik pemerintah, BUMN, maupun TNI/Polri, meski opsi ini dianggap berisiko tinggi terhadap potensi tindak pidana korupsi jika tidak melalui mekanisme hukum yang tepat.

BACA JUGA: Inventarisasi dan Penertiban Aset Daerah, Wabup Berau: Agar Tak Timbulkan Masalah Hukum

Ketiga, pemberian hak atas tanah berjangka di atas Hak Pengelolaan (HPL) yang memungkinkan masyarakat tetap memanfaatkan lahan tanpa menghilangkan status kepemilikan negara.

Kategori :