ENGGAN SALAMAN

Rabu 11-03-2020,14:04 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

EFEK wabah coronavirus juga terasa hingga ke masjid. Sebetulnya tradisi salaman sudah biasa di rumah ibadah. Tapi, Jumat kemarin rasanya lain. Biasanya selepas dua rakaat salat qobla Jumat, saya menyalami jamaah di kiri dan kanan.

Tapi kemarin berbeda. Jamaah yang ingin saya salami hanya melongo. Melihat ke arah wajah. Kemudian meski kelihatan berat, akhirnya mau menyalami. Saya langsung berpikir. Soal imbauan-imbauan untuk menghindari kontak. Termasuk bersentuhan tangan. Karena informasinya, coronavirus bisa menular gara-gara bersentuhan tangan itu. Bukan karena sentuhan tangannya. Tapi virus yang nempel di tangan tersebut sangat rawan terhirup melalui hidung dan mulut. Karena sulit menghilangkan kebiasan tangan kita mengusap bagian wajah. Termasuk saya. Kendati sudah diingat-ingat untuk menghindari menyentuh di bagian wajah, tapi tatap saja. Baru ingat saat tangan sudah menempel di wajah. Ketika menoleh ke sebelah kiri. Kelihatannya jamaah yang di sebelah kiri ramah menyambut. Giliran saya yang jadi enggan menyalami. Karena teringat jamaah di sebelah kanan tadi. Tapi menolak salaman di masjid rasanya tidak nyaman. Apalagi saat itu sudah mulai khutbah Jumat. Tak boleh banyak bicara. Susah menjelaskan penolakan itu. Akhirnya, dengan berat hati saya menyalami jamaah itu. Perasaan saya waktu itu, mungkin sama dengan jamaah yang di sebelah kanan. Sang khatib juga cerita soal corona. Soal wabah. Tapi ulasannya menarik. Tidak hanya bicara dogma agama. Tapi khatib itu menjelaskan secara rasional. Awalnya ia bicara bahwa tidak ada wabah yang tidak dikehendaki Allah. Jadi teringat candaan bos saya. Ketika meminta untuk berangkat ke Tiongkok di tengah merebaknya wabah corona. “Ya, kan kematian kita sudah tertulis di lauhul mahfudz, pak Devi,” katanya. Betul juga sih. Tapi, ya jangan juga karena corona. Harusnya Maret ini berangkat. Tapi pihak jasa perjalanannya tidak berani. Alhamdulillah…akhinya ditunda. Setidaknya menunggu hingga reda. Sang khatib kemudian menyampaikan juga. Bahwa ada perintah nabi yang ketika bertemu dengan wabah. Saat itu kusta. Diminta untuk menjauh. Lari sekencang-kencangnya. Ibarat ketika kita dikejar singa. Kemudian sang khatib pun menjelaskan benang merah dari dua penyampaian yang seolah berbeda itu. Kendati wabah itu bagian dari kehendak-Nya, tapi juga perlu ada ikhtiar untuk menjauhkan diri. Menghindari kontak itu bagian dari ikhtiar tersebut. Jumat itu, saya juga ada agenda diskusi dengan Pak Zainal Muttaqin, pembina Disway Kaltim. Di kantor. Habis salat Jumat di kawasan Jalan Syarifuddin Yoes itu, saya langsung menuju kantor. Saat sampai, Pak Zam, bisa dipanggil, bilang begini: “Eit, enggak boleh salaman,” selorohnya. Hingga akhir diskusi, akhirnya Pak Zam mau meladeni salaman dengan teman-teman Disway Kaltim. Kendati setelah itu disambung dengan cuci tangan. Sering cuci tangan dan menghindari terlalu banyak mengusapkan tangan ke wajah sebagai langkah menghidari penularan COVID-19. Setidaknya begitu imbauan yang banyak disampaikan para pakar. Penting bagi kita untuk menerapkan pola hidup sehat. Ketimbang harus panik. Toh di Kaltim kasus suspect-nya juga belum ada yang terbukti positif. Toh juga banyak kasus yang bisa disembuhkan. Bahkan informasinya 50 persen sembuh dengan sendirinya. Mungkin seperti gejala DBD. Ketika mampu melewati masa kritisnya pasian bisa segera pulih. Kasus meninggal dunia terjadi ketika tidak mampu melewati masa kritis tersebut. Terlambat ditangani. Dari beberapa keterangan sumber yang saya baca. Masa kristis coronavirus hingga 15 hari. Lewat dari itu, kecenderungan pasien akan pulih kembali. Makanya penting keterbukaan informasi soal penderita corona. Agar masyarakat tahu dan menghindar. Kasus penemuan pertama di Jakarta pun demikian. Penderitanya bisa ditelusuri berdasarkan kontak dengan penderita yang dinyatakan positif. Yang ditularkan oleh warga Jepang itu. Yang tinggal di Malaysia itu. Atau juga bisa mencoba melakukan ini. Salaman pakai kaki. Seperti video-video lucu yang diunggah di YouTube. Sertidaknya, kaki posisinya jauh dari wajah. Dan jarang juga orang mengusap wajah pakai kaki. Nah, jika upaya-upaya pencegahan sudah dilakukan, maka kembali lagi ke pernyataan bos saya tadi. Sudah dicatat di lauhul mahfudz. (*/Pemimpin Redaksi Disway Kaltim)
Tags :
Kategori :

Terkait