SPBG Riwayatnya Kini

Senin 10-02-2020,11:23 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Kebijakan konversi BBM ke gas tampaknya belum berjalan optimal. Kurangnya infrastruktur memadai dan dukungan regulasi mengakibatkan program ini berjalan lamban. Belum lagi jika nantinya pemerintah melirik serius program transportasi listrik.   ================   JERO Wacik tampak optimistis. Ia berdiri dari kursinya mendekati kursi yang ditempati para jurnalis. Sesi jumpa pers itu setelah pembukaan acara Konvensi dan Pameran Indonesia Petroleum Association (IPA) di Jakarta Convention Center pada Mei 2013 silam. Event tahunan yang diselenggarakan para pelaku industri hulu migas. Kemeja putihnya sedikit dilipat. Saat itu ramai pertanyaan soal Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang tengah diusung pemerintahan Presiden SBY. Jero Wacik adalah menteri ESDM kala itu. Jauh sebelum itu, pria asal Bali tersebut memimpin Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Di era SBY. Menurut Jero Wacik, menteri ESDM saat itu, tengah membuat pilot projek SPBG di sepanjang Sumatera. Program konversi BBM ke Gas itu, kata dia, tidak mudah. Butuh investasi yang besar. Karena harus membangun infrastruktur penunjang. Antara lain membangun SPBG di beberapa titik di Sumatera. “Gas memang kita melimpah. Bahkan dibuang-buang. Tapi untuk mengganti semua ke Gas harus bangun dulu infrastrukturnya,” katanya. Para pelaku industri hulu migas pun saat itu mengakui jika cadangan gas di Indonesia melimpah. Dan program konversi BBM ke BBG menjadi solusi atas berkurangnya cadangan minyak nasional. Harga minyak pun cukup tinggi ketimbang gas. Selain efisien karena sumber dayanya melimpah, penggunaan BBG juga disinyalir lebih ramah lingkungan. Sejak saat itu, program SPBG pun terus digaungkan pemerintah. Termasuk hingga ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Sepengetahuan Disway Kaltim, pembanguan pertama SPBG di kawasan Jalan Pattimura, Batu Ampar, Balikpapan Utara. Kemudian dibangun lagi di dua tempat lainnya. Kini sudah 7 tahun lewat sejak komitmen Jero Wacik itu. Kalau programnya sudah dicanangkan jauh sebelum itu. Namun, tanda-tanda keberhasilan konversi BBM ke BBG belum juga tampak. Mayoritas masyarakat hingga kini masih menggunakan BBM. Sebagian malah masih nyaman menikmati subsidi pemerintah. Belum kelar soal BBG ini, kini pemerintah mulai menjajaki program baru. Yang katanya lebih irit lagi. Yakni transportasi berbasis listrik. Akankan program konversi SPBG ini tetap berlanjut? TIDAK UNTUNG DAN TAK RUGI Pada Juni 2016, Kementerian ESDM, Sudirman Said meresmikan unit SPBG  jenis mother station atau SPBG induk di daerah Muara Rapak, Balikpapan. Sebelumnya, juga telah dibangun dua unit SPBG jenis daughter sebagai unit pendukung. Berada di Jalan Pattimura, Batu Ampar Balikpapan Utara dan Jalan Marsma R. Iswahyudi, Sepinggan, Balikpapan Selatan. Pembangunan tiga SPBG tersebut menelan anggaran sebesar Rp 103 miliar. Bersumber dari APBN. Dikerjakan oleh PT Torindo Utama Sakti, selaku kontraktor utama. Tri Setiadi, penanggung jawab operasional beberapa SPBU termasuk SPBG milik PT Pertamina Retail di Balikpapan menjelaskan, SPBG Muara Rapak mulai dikelola PT Pertamina Retail pada 2017. Setelah diserahterimakan oleh Kementerian ESDM kepada PT Pertamina (persero). Pertamina, kata dia, menunjuk anak perusahaannya PT Pertamina Retail untuk mengelola SPBG tersebut, di bawah pengawasan Direktorat Gas PT Pertamina (persero). Pada awal 2019, Direktorat Gas PT Pertamina (persero) dihapuskan. "Sejak saat itu, monitoring dan pengawasan diserahkan kepada Marketing Operation Region (MOR) VI (PT Pertamina Persero) Balikpapan," ungkap Tri Setiadi, Kamis (30/1/2020) saat ditemui Disway Kaltim. Dari pengamatan Disway Kaltim menunjukkan, sejak dibangun dua SPBG jenis daughter itu, sama sekali belum pernah beroperasi. Tidak terlihat ada aktivitas pengisian bahan bakar gas di dalamnya. Hanya SPBG mother station di Muara Rapak itu yang telah beroperasi hingga sekarang. Pengoperasian SPBG mother station tersebut juga tampak belum maksimal. Dari hasil pengamatan media ini selama beberapa hari, kelihatan di SPBG Muara Rapak itu tampak sepi. Hanya beberapa mobil angkutan kota (Angkot) dan taksi yang mengisi BBG di stasiun khusus pengisian bahan bakar gas tersebut. Tidak terlihat antrean panjang untuk pengisian gas, seperti SPBU BBM pada umumnya. Hanya tiga hingga lima mobil yang mengantre untuk mengisi BBG. Tri Setiadi kembali menjelaskan, total ada 500 unit mobil di Balikpapan yang telah terpasang konverter kit. Hibah dari Kementerian ESDM yang dibagikan secara bertahap pada saat peresmian 2016 lalu. Tahap kedua baru diserahkan pada 2018. Dari 500 hibah konverter kit tersebut, 150 di antaranya dipasang pada mobil dinas milik Pemkot Balikpapan, dan 350 konverter kit lainnya, terpasang di sejumlah mobil angkot dan taksi. Syarat kendaraan mobil untuk memperoleh hibah konverter saat itu, adalah mobil yang berumur di bawah lima tahun. Alasannya untuk tujuan penggunaan jangka panjang. "Pemasangannya dilakukan oleh teknisi khusus yang memenangkan tender pengadaan dan pemasangan di Kementerian ESDM," ujarnya. Ia menambahkan, selain untuk kendaraan, SPBG Muara Rapak juga melayani pembelian gas untuk kebutuhan industri, seperti hotel dan restoran. Dalam sehari, sambungnya, SPBG Muara Rapak menjual rata-rata sekitar 1,7 ton gas (1.700 liter setara premium/LSP). Sekitar satu ton dijual untuk pengguna kendaraan. Sedangkan untuk pengisian ke industri, rata-rata per hari sebanyak 700 LSP. Harga jual gas dibanderol Rp 4.500 LSP untuk kendaraan. Sedangkan untuk industri, dijual seharga Rp 5.500 LSP. Untuk memenuhi kebutuhan setok di SPBG Muara Rapak, katanya, gas dipasok dari PT Pertamina Hulu Mahakam (PHKT) yang disalurkan melalui sistem pemipaan langsung. Tri Setiadi mengatakan, tidak benar pemberitaan selama ini, bahwa penyaluran gas untuk jaringan gas (Jargas) rumah tangga, dilakukan melalui SPGB Muara Rapak. "Padahal pengelolanya berbeda. Memang jalur pipanya terintegrasi, tapi tidak melalui SPBG Muara Rapak," ungkapnya. Biaya operasional SPBG Muara Rapak, lanjut Tri, masih disubsidi oleh Kementerian ESDM dan Pertamina Persero. "Jadi secara hitung-hitungan bisnis. Saat ini masih 'impas', artinya tidak untung dan tidak juga rugi," ucapnya. MOBIL DINAS JARANG ISI BBG Terkait dengan belum dioperasikannya dua SPBG pendukung jenis daughter itu, tidak lain karena alasan ekonomis. "Belum menguntungkan secara bisnis," kata Tri Setiadi. Secara teknis, dua SPBG tersebut disuplai gas dengan sistem mobile tank. Itu jelas membutuhkan biaya lebih. Sementara pengguna belum cukup ramai. Apabila 500 unit kendaraan yang sudah mendapat hibah konventer kit aktif pun tetap tidak bisa menutupi ongkos produksi. Atas pertimbangan tersebut, keduanya belum difungsikan. “Sekarang saja operasionalnya masih disubsidi Kementerian ESDM,” imbuhnya. Ditemui di tempat berbeda, Anton Retiawan, pengawas operasional SPBG Muara Rapak, mengatakan, dari 500 mobil yang telah terpasang converter kit tersebut, hanya sekitar 200 kendaraan yang rutin mengisi BBG sehari-hari. Yakni angkutan kota dan taksi yang masih menggunakan BBG. "Pengguna lainnya, seperti mobil-mobil dinas, jarang mengisi. Ya mungkin karena mereka juga masih dapat jatah BBM. Kita tidak bisa juga memaksakan mereka beralih," jelasnya Rabu, (29/1/2020) saat ditemui Disway Kaltim di Kantor manajemen SPBG Muara Rapak. Anton menjelaskan, saat awal mula beroperasi cukup ramai mobil yang telah mendapat hibah konverter kit itu mengisi gas. Namun kini, pengguna gas semakin berkurang. Padahal menurutnya, menggunakan gas jauh lebih murah dan ramah lingkungan. Memang secara teknis, lanjutnya, mobil yang telah dimodifikasi itu menambahkan konverter kit untuk bisa menggunakan BBG, tetap bisa menggunakan BBM. "Jadi mereka tetap bisa memilih. Karena memang pada dasarnya mobil tersebut diproduksi untuk menggunakan BBM," ucap Anton. HAMBATAN TEKNIS Terkait kendala, Anton mengungkapkan warga kesulitan menemukan konventer kit di Balikpapan. Kemudian, kendala lainnya, tidak adanya teknisi dan bengkel khusus untuk menangani konverter kit. "Tapi kemungkinan teknisi lepas ada saja yang paham. Cuma yang jual alatnya tidak ada," tuturnya. Ia menduga, sebagian konverter kit yang telah dipasang itu, sudah rusak dan pengguna beralih menggunakan BBM. Ditambah lagi, faktor jarak juga memengaruhi. Bagi taksi bandara dan angkot yang memiliki konverter kit pada mobilnya, tapi rute perjalanannya tidak melalui SPBG. "Ketika mereka kehabisan BBG, dan tidak ada SPBG di daerah itu, mereka akan kembali mengisi BBM". Berita Terkait: Hambatan Konversi ke Gas, Produsen Mobil Masih Produksi Unit BBM Di satu sisi, menurut Anton, hingga sekarang belum ada mobil yang diproduksi khusus untuk menggunakan BBG. Juga belum ada regulasi yang mengharuskan masyarakat beralih. Namun, katanya, peralihan BBM ke BBG merupakan program strategis nasional. Padahal, prospek penggunaan BBG ini cukup bagus ke depan, kata Anton. Lebih hemat. Tidak antre. Daripada menggunakan BBM yang sering langka dan sering antre lama untuk mendapatkannya. "Harapannya, mesti ada bengkel khusus untuk pemasangan dan perawatan konverter kit. Kalau itu sudah ada, baru sosialisasi digencarkan," harapnya. TERIMA BERES Ahmad, sopir Angkot no 3, trayek Balikpapan Permai (BP) -Terminal Batu Ampar, saat ditemui Disway Kaltim di SPBG Muara Rapak, Rabu (29/1/2020) menceritakan pengalamannya menggunakan BBG. Ia beralih dari BBM sejak 2017. Ahmad salah satu Angkot yang memperoleh hibah konverter kit. "Iya, waktu itu kita juga tidak tahu, cuma disuruh pasang. Ada mekaniknya yang memasang, kami tinggal terima beres saja," kata Ahmad. Ia menyampaikan, menggunakan gas sebanarnya lebih murah ketimbang BBM. Namun, katanya, menggunakan BBG mengakibatkan performa mesin kurang bertenaga. "Lambat tarikannya. Gigi dua lambat. Apalagi kalau jalan menanjak, itu kita tidak bisa paksakan. Memang bisa naik, tapi harus pelan-pelan. Kalau bensin kan langsung saja (bertenaga)," jelasnya. Alasannya memilih gas, karena lebih hemat. Menggunakan BBG, menurutnya lebih murah ketimbang BBM. Ia membandingkan, untuk mengoperasikan angkot sehari-hari, sejak pukul 08.00 Wita pagi hingga pukul 17.00 Wita, ia membeli BBG seharga Rp 45.000. Sementara ketika menggunakan BBM ia membutuhkan premium seharga Rp 100 ribu. "Harganya beda, jadi lebih irit daripada pakai bensin (premium). Tapi kalau harganya sama, ya saya pakai bensin". Ia membandingkan. Ahmad mengatakan, sesekali ia masih menggunakan premium. Saat angkotnya kehabisan BBG di tempat yang berjauhan dengan SPBG. "Ya, kadang kalau gas-nya habisnya di Kelandasan misalnya, saya isi bensin, kan tidak ada gas dijual eceran," tukasnya Ia menyesali, karena fasilitas SPBG belum tersedia banyak. Sebab, terangnya, sulit untuk mengisi BBG dengan hanya satu SPBG. Apalagi angkot yang trayek angkutannya tidak melalui SPBG tersebut. Ia memberi contoh, angkot yang beroperasi di wilayah Balikpapan Timur, tidak pernah mengisi BBG. Karena jaraknya terlalu jauh, dan bukan merupakan trayek angkot tersebut. "Apalagi kalau SPBG ini tutup. Ya kita harus menunggu. Contohnya ini, siang dia (SPGB, Red.) tutup, harus menunggu sampai jam setengah dua (pukul 13.30, Red.). Akibatnya kita (sopir Angkot) kehilangan waktu," terangnya. Dari pengamatan Ahmad, hanya angkot nomor 3 dan angkot nomor 5 yang sering mengisi BBG. "Ya, itu saja kalau yang sering saya lihat. Angkot nomor 3 itu jumlahnya sekitar 100, kalau yang nomor 5 saya tidak tahu berapa," ucap pria yang sudah 20 tahun menjadi sopir angkot tersebut. (*) Pewarta: Darul Asmawan Editor : Devi Alamsyah  

Tags :
Kategori :

Terkait