SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Selain menjalankan ibadah puasa, umat Islam juga diwajibkan menunaikan zakat fitrah selama bulan Ramadan. Zakat ini dapat dibayarkan sejak awal Ramadhan hingga batas waktu sebelum pelaksanaan salat Idulfitri.
Namun, sering muncul pertanyaan: bagaimana dengan para perantau yang berencana pulang ke kampung halaman? Lebih baik membayar zakat fitrah di tempat rantau atau di kampung halaman?
Menurut pendapat ulama, tempat pembayaran zakat fitrah ditentukan berdasarkan lokasi seseorang saat matahari terbenam pada akhir bulan Ramadan, yaitu malam Hari Raya Idulfitri.
Dikutip dari nu online, jika seorang perantau masih berada di tempat rantau pada waktu tersebut, maka ia wajib membayar zakat fitrah di sana. Ketentuan ini merujuk pada penjelasan dalam kitab Al-Majmu' Syarhul Muhadzab:
"Para ulama mazhab kami (mazhab Syafi'i) berkata: Jika pada waktu wajibnya zakat fitrah seseorang berada di suatu negeri dan hartanya juga berada di sana, maka wajib menyalurkan zakat fitrah tersebut di negeri itu."
"Namun, jika ia memindahkannya ke tempat lain, maka hukumnya seperti memindahkan zakat lainnya, yang dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dan rincian hukum sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya," (An-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhaddzab, [Beirut, Darul Fikr, t.t.], jilid VI, hlm. 225).
Hal serupa juga dijelaskan dalam kitab Taqriratus Sadidah: "Tidak diperbolehkan memindahkan zakat dari negeri muzakki ke negeri lain menurut pendapat yang masyhur dalam Mazhab Syafi'i," (Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, Taqriratus Sadidah, [Darul Mirats al-Nabawi, cet. pertama, 2003], hlm. 426).
Jadi, menurut pendapat Ashab (ulama Syafi’iyah), serta pendapat yang masyhur dan dianggap unggul (rajih) dalam mazhab Syafi’i, memindahkan zakat fitrah dari satu daerah ke daerah lain tidak diperbolehkan.
Namun, sekelompok ulama lain, seperti Ibnu Ujail dan Ibnu Shalah, membolehkan naqluz zakat (pemindahan zakat). Berikut keterangannya:
"Pendapat yang diunggulkan (rajih) dalam mazhab Syafi’i adalah tidak diperbolehkannya pemindahan zakat. Namun, sekelompok ulama, seperti Ibnu Ujail, Ibnu Shalah, dan lainnya, memilih pendapat yang memperbolehkan pemindahan zakat tersebut," (Syekh Abdurrahman bin Husain Ba'alawi, Bughyatul Musytarsyidin, [Beirut, Darul Fikr, t.t.], juz I, hlm. 217).
Namun, apabila di tempat di mana pembayar zakat berada tidak ditemukan mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat), seperti jika daerah tersebut telah menjadi makmur dan sejahtera, maka pemindahan alokasi harta zakat (naqluz zakat) diperbolehkan.
Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu:
"Para ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa pendapat yang lebih kuat adalah melarang pemindahan zakat, dan zakat wajib disalurkan kepada golongan yang berhak (ashnaf) di negeri tempat harta itu berada, sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu'adz yang telah disebutkan sebelumnya."
"Namun, jika di negeri tempat zakat itu diwajibkan tidak ditemukan golongan yang berhak menerima zakat, atau hanya sebagian dari mereka yang ada, atau terdapat kelebihan setelah diberikan kepada mereka yang ada, maka zakat dapat dipindahkan ke negeri terdekat dari tempat kewajiban zakat tersebut," (Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Dar al-Fikri: 1985), juz 2, hal 892-893).
Beberapa referensi tadi menjelaskan bahwa pemindahan zakat (naqluz zakat) diperbolehkan dengan berbagai alasan, sebagaimana ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Jamal:
"Berdasarkan pendapat para ulama terpercaya, pemindahan zakat diperbolehkan jika jaraknya kurang dari masāfatul qashr (jarak yang membolehkan qasar dalam salat), baik tempat tujuan lebih membutuhkan dibanding penduduk negeri asal zakat maupun tidak, serta berlaku untuk semua jenis zakat, termasuk zakat fitrah, zakat uang, hewan ternak, dan hasil pertanian."
"Namun, jika pemindahan zakat melebihi masāfatul qashr, maka tidak diperbolehkan kecuali jika tempat tujuan lebih membutuhkan dibanding penduduk negeri asal zakat. Jika tidak demikian, maka pemindahan zakat tidak diperbolehkan," (Sulaiman bin Umar al-Ajiili, Hasyiyatul Jamal, [Beirut, Dar al-Fikr, t.t.], juz IV, hlm. 108).