NOMORSATUKALTIM - Mawlana Jalaluddin Rumi, memulai kisah dalam magnum opusnya, Mastnawi, dengan kisah seruling yang merindukan asalnya. Seruling, yang terpisah dari rumpun asalnya, selalu menjerit merindukan pulang. Untuk kembali ke asal muasalnya. Pilihan kisah kerinduan seruling untuk pulang, sangat mendalam artinya. Mengingatkan setiap kita, bahwa hidup ini tak abadi, dan suatu waktu kita harus pulang.
Saya tidak tahu, apakah Walisongo ada keterpengaruhan dari pemikiran Mawlana Rumi atau tidak. Namun tradisi "pulang" yang menurut beberapa kalangan merupakan tradisi khas Islam di tanah air, konon tradisi ini dirintis oleh Walisongo. Dan kita semua menikmati berkah tradisi ini, berkumpul dengan keluarga, teman, saudara. Ada acara reunian, syawalan dan seterusnya.
Sebentuk pemahaman agama yang membuat kita menjadi manusia yang menghargai budaya dan kearifan lokal. Kita mungkin akan kesulitan mencari contoh tradisi "pulang" ini di beberapa masyarakat muslim luar negeri. Maka bagi saya, kekaguman besar kepada para pendahulu yang menyebarkan nilai Islam dengan santun, menempuh jalur kultural dan tidak seperti gerakan Islam dewasa ini yang melulu mengharap kekuasaan.
Pulang, merupakan kebutuhan primordial batin kita. Setidaknya untuk menemui keluarga, orang tua, dan juga mengingat dari mana kita berasal. Dan dalam pulang, kita membutuhkan beberapa hal, paling tidak kita butuh kendaraan dan bekal. Kendaraanlah yang akan membawa diri kita untuk pulang (jika kita memilih jalan kaki, maka badan kita adalah juga kendaraan).
Kendaraan yang kita pilih, kita persiapkan jauh jauh hari, demikian juga bekalnya. Yang menurut kita tentunya, yang terbaik yang mampu kita siapkan.
Namun, pulang dalam tradisi lebaran, adalah pulang yang kembali lagi. Karena kita kemudian akan meninggalkan rumah, keluarga, orang tua dan kembali lagi. Tapi suatu waktu, mau tak mau, entah kapan waktunya, kita semua akan "pulang".
Pulang yang tak lagi akan kembali, meminjam judul bukunya Claude Addas, Pergi Yang Tak Kembali, menemui Sang Kekasih, Dzat Yang Maha Pengasih.
Jika pulang lebaran, kita tahu waktunya sehingga kita bisa merencanakan bekal dan kendaraan, maka untuk "pulang" yang tak kembali, hal ini merupakan misteri, namun pasti terjadi. Dan kita tak tahu apakah bekal kita sudah cukup, juga apakah yang akan menjadi kendaraan kita untuk kembali ke asalnya?
Untuk kembali menemui rumpun bambu tempat kita bermula, seperti cerita Mawlana Rumi dalam Mastnawi.
oleh: M Dudi Hari Saputra