Satu Orang vs Satu Partai?
Jumat 02-06-2023,10:24 WIB
Reporter : Rudi Agung
Editor : Rudi Agung
Minggu (28/5/2023) malam, dahaga penasaran terobati. Saat itu, anggota Parlemen Balikpapan, Syukri Wahid, berkenan meluangkan waktunya. Katanya, selama ini ia kian sibuk lantaran merawat ibunya.
Obrolan itu hampir tiga jam. Lebih banyak soal tragedi Rapak. Apa sih yang terjadi, hasil kajian Parlemen bagaimana, alternatif solusinya. Sejak awal, tata kota di Simpang Rapak, memang agak-agak berbeda.
Kata Syukri, tim pengkaji dari kementerian kebingungan. Di ujung turunan tajam, kok bisa ada lampu merah. Risiko bukan saja truk besar, tapi juga kendaraan kecil. Solusi harus bisa digarap dari hulu ke hilir. Di antaranya, pembangunan fly over atau underpass dan pengawasan ketat secara periodik terhadap kendaraan besar harus segera dilakukan, ujarnya.
Di tengah obrolan panjang soal Rapak, coba curi informasi memenuhi dahaga penasaran sejak lama. Yah, apa lagi kalau bukan soal cerita 'di balik layar' didepaknya Syukri dari partainya.
Mungkin, bukan saya saja yang penasaran. Sejak berbulan silam banyak pihak yang punya penasaran sama: Bagaimana kisahnya, salah satu sosok yang dikenal ikut membesarkan PKS di Balikpapan, yang bahkan mendulang suara terbanyak di partainya, sosok yang melahirkan politisi baru di partainya, justru didepak. Kok bisa?
Tak sedikit yang mengaitkan kasusnya dengan sebuah pepatah lama: habis manis, sepah dibuang. Atau kacang lupa kulitnya. Usut punya usut, sosok yang kencang menyuarakan agar ia didepak, notabene mantan anak didik politiknya di masa lalu. Tapi, yah namanya juga politik. Begitulah.
Opsss… Tapi kita tak boleh mengkambing hitamkan politiknya. Politik hanyalah alat, strategi, sarana. Begitupun partai. Tak ada yang salah. Lantas ya, yang jelas, tanpa menunjuk kambing hitam, semua juga sudah paham.
Tapi bukan itu inti obrolan kita kali ini.
Saya lebih tertarik, bagaimana ia bisa dipecat sampai dua kali. Seperti tamsil: sudah tewas, masih dibunuh lagi. Apakah jasa-jasanya terdahulu, dilupakan begitu saja? Seolah membenarkan pendapat segelintir orang yang alergi dengan politik. Penuh intrik, katanya.
Lantas apa yang mendasari perjalanan Syukri, untuk terus membela hak ribuan konstituen yang telah memilihnya? Alasannya, cukup logis: jika ia menerima begitu saja didepak, maka jelas akan terabaikannya hak konstitusional warga negara yang telah memilih para wakilnya.
"Kalau cuma pasrah, ini keteladanan yang buruk untuk melakukan edukasi politik. Yang utama, saya punya beban moril terhadap amanah mereka," katanya.
Ini menjadi pembelajaran bagi parpol, dan kader-kader yang punya tanggung jawab moril terhadap konstituennya masing-masing. Tanpa suara dari konstituen, kader partai tidak bisa duduk di Parlemen. Tapi tanpa kader, partai pun tak akan berarti apa-apa.
Apalagi, dalam sistem perpolitikan Indonesia, derajat partai dan kader setara. Tak ada yang lebih tinggi atau rendah. Sama. Saling membutuhkan. Simbiosis mutualisme.
Tuannya, ya sang pemilik suara, warga!
Adapun kader dan partai, setara. Tak ada yang lebih unggul, tak ada yang lebih rendah. Kader butuh partai untuk masuk dalam konstelasi politik, partai juga butuh kader-kader terbaiknya untuk mendulang suara. Mendongkrak suara partai, menduduki kursi.
Tanpa partai, seseorang tidak bisa menjadi anggota Legistlator. Tanpa kader yang dipercaya konstituen pemilihnya, partai tidak bisa apa-apa. Seperti lingkaran yang saling membutuhkan.
Jadi, dalam konteks 'pertempuran' Syukri, yang sendiri, menarik dicermati. Banyak media menyorotinya. Mengingatkan kita pada kasus Fahri Hamzah, yang pernah heboh tujuh tahun silam.
Bagi Syukri kalau dulu berjuang membesarkan partainya, kini baku strategi mempertahankan hak dan tanggung jawab terhadap konstituennya.
Kasusnya mengingatkan kita pada mekanisme recall di zaman Orba. Jika partai tidak senang terhadap kadernya yang duduk di Parlemen, mereka bisa didepak kapan saja. Alasan apapun mudah dibuat. Bahkan tanpa alasan. Tapi, itu dulu.
Saat ini, tidak bisa begitu.
Paling tidak harus ada tiga syarat mengganti atau mem - PAW seorang legislator. Yakni, jika meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan dari partainya.
Syarat pertama, tentu saja gugur. Syarat kedua, resign, tidak juga. Saat ditanya alasannya, jawabnya dengan sisa energi masih berupaya mempertahankan tanggung jawab moril terhadap warga Balikpapan Utara, yang telah memilihnya.
Syarat ketiga, diberhentikan dari partai, nah ini. Telah menjadi rahasia umum, sejak bertahun-tahun silam, PKS punya konflik internal dengan kadernya sendiri.
Reaksinya, terjadi aksi pemecatan dan atau mengundurkan diri besar-besaran. Fenomenanya terjadi hampir di banyak daerah di Indonesia. Bahkan, pada 29 September 2018, ada kehebohan di Bali. Saat itu, di sana, kader PKS protes terhadap partainya sendiri.
Para kader PKS yang kecewa, sampai membentangkan spanduk berisi: Seluruh Kader dan Pengurus PKS se-Bali Mengundurkan Diri, di laman Kantor PKS Bali di Renon Denpasar. Mereka pun ramai-ramai pindah perahu. Saat itu, media ramai-ramai mewartakannya.
Fahri dan Syukri
Tapi jauh sebelumnya, tepatnya tahun 2016, bangsa ini pernah dihebohkan dengan pemecatan mantan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. Ia dipecat partainya. Ada tiga 'dosa' Fahri, menurut PKS, yang saat itu memecatnya. Fahri tak terima. Ia bawa kasus pemecatan itu ke ranah hukum.
Tak hanya dipecat, di tengah gugatan, DPP PKS menunjuk Ledia Hanifa menggantikan Fahri di jajaran pimpinan. Namun putusan PKS itu tidak langsung dieksekusi. Pimpinan DPR lain menganggap keputusan PKS belum bisa ditindaklanjuti karena Fahri masih menempuh jalur hukum.
Sekitar Desember 2016, PN Jaksel mengabulkan gugatan Fahri Hamzah. Pengadilan membatalkan pemecatan Fahri. Majelis Hakim, menolak keputusan pemecatan dari PKS. Putusan itu membuat Fahri tetap bisa duduk sebagai pimpinan DPR.
Tapi, PKS mengajukan banding.
Seiring waktu, akhirnya Fahri berhasil menang melawan PKS di tiga tahap. Pertama, gugatan Fahri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikabulkan. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI. Ketiga, kemenangan Fahri Hamzah di tingkat kasasi. Sebab, kasasi PKS ditolak Mahkamah Agung.
Fahri juga memenangkan tuntutan materi Rp 30 miliar. Dalam konteks ganti rugi ini, PKS melayangkan PK. Kasus Fahri berjalan hampir empat tahun. Dengan ending, 14 Desember 2020, MA mengabulkan penghapusan ganti rugi materil. PKS terbebas biaya ganti rugi. Tapi, selebihnya kemenangan Fahri tetap inkrah.
Berkaca dari jejak Fahri ini, yang sepertinya diikuti Syukri. Ia membawa kasus pemecatannya ke ranah hukum. Yang perjalanannya juga akan ditempuh sampai MA.
"Suara rakyat boleh digagalkan hanya dengan sebab-sebab khusus. Satu kalau meninggal dunia, kedua mengundurkan diri, ketiga kalau melakukan pelanggaran hukum atau jika pelanggaran etik di tempat bekerja," papar Syukri.
"Nah yurisprudeni ini yang saya perjuangkan. Saya tak melanggar hukum apapun, justru masih punya tanggung jawab pada pemilih dan warga Balikpapan," jelas Syukri, saat ditanya alasan membawa kasusnya ke hukum.
Sudah setahun berjalan, belum ada putusan inkrah. Barangkali, itu sebabnya, berkali-kali pengacara PKS datang menanyakan kabar PAW Syukri, tapi DPRD belum juga eksekusi. Dari informasi yang beredar di lapangan, pada 29 Mei 2023, surat permintaan PAW Syukri, datang kembali ke meja ketua Parlemen.
Saya membayangkan bagaimana pusingnya Pimpinan Parlemen Balikpapan. Terutama pak Abdulloh. Satu sisi desakan PKS, sisi lain menghormati payung hukum. Tentu saja, ini menambah beban energinya. Yang seharusnya untuk warga dan pemilihnya, tapi didesak partai lain, yang terus merongrong PAW Legislator yang dikenal menjadi salah satu pemikir di Parlemen Sudirman. Kenapa demikian?
Berkaca catatan sejarah dan jejak media, sejak lepas era kepemimpinan pak ABS - Andi Burhanuddin Solong di Parlemen Balikpapan, Legislator yang dikenal sebagai para pemikir dan kritis serta kerap bersuara keras di media, bisa dihitung dengan jari.
Di antaranya, Sang ketua Abdulloh, wakilnya Sabaruddin, Syukri Wahid, Andi Arif Agung, Iwan Wahyudi, Mieke Henny, Haji Aco. Periode sebelumnya, masih ada tambahan pemikir dari sosok Idha Prahastuty.
Dari empat anggota Parlemen fraksi PKS, yang diminta PAW, baru dua yang dieksekusi. Masih tersisa dua kader PKS lagi. Salah satunya, Syukri. Jika ia di PAW, Parlemen Balikpapan semakin kehilangan sosok-sosok pemikirnya.
Setelah hilangnya Idha sejak empat tahun silam, apakah Syukri akan menyusul berikutnya? Fifty, fifty. Proses PAW tidak bisa cepat. Banyak kamar yang harus dilalui. Setelah kamar Pimpinan DPRD, ada kamar KPU, Wali Kota, sampai Gubernur.
Itu dengan asumsi tanpa ada proses hukum yang berjalan. Jika ada perkara, alamak, semakin lama lagi waktunya. Sedangkan sisa masa bhakti anggota Parlemen, hanya sampai Februari 2024. Tidak sampai setahun lagi.
Sebab, meski akhir periode resminya Agustus 2024, tapi enam bulan sebelum batas akhir periode anggota dewan, tak boleh ada PAW. Meski SK Gub sudah turun. Meski legislator yang ingin di PAW, sudah pindah partai sekalipun.
Pertanyaannya: kalau di sisa waktu ini ada PAW, lantas kinerja apa yang akan dibuktikan penggantinya? Apa yang bisa diberikan pada konstituennya?
Mungkin, sekadar kebanggaan pernah jadi anggota dewan. Sebab dapat kursi hanya dari keuntungan PAW. Faktanya suaranya jauh di bawah pendahulunya, jauh dari batas standar ketentuan. Itu kenapa sekadar jadi cadangan.
Sedangkan saat ini, para politisi lain sudah running untuk Pileg 2024. Sampai-sampai, kursi wakil walikota, hingga hari ini, juga belum terisi. Wajar saja, prioritas partai, sudah mengambil ancang-ancang menatap 2024.
Kursi wawali, seolah tak lagi seksi. Selain untuk mengejar catatan sejarah, dan tiket kursi PDIP, yang telah lama ditinggalkan. Pengaturan anggaran, sudah dilakukan. Meski saat ini hanya tinggal satu partai yang belum sepakat, tapi apa yang diharapkan? Tak heran, fokus parpol lebih pada pemenangan 2024.
Jadi, kalau boleh menitip saran, mungkin PKS Balikpapan, yang diidentikan sebagai parpol Islam, akan lebih apik jika fokus berkonsentrasi pemenangan. Dibanding menghabiskan energi 'bergelut' merebut kursi dari kader atau mantan kadernya sendiri.
Menang malu, kalah lebih malu. Masa iya, kasus Fahri akan terulang kembali? Kan gak lucu: satu orang vs satu partai, lagi.
PKS Balikpapan pasti bisa menunjukan permainan dan adab yang lebih cantik. Terlebih, persaingan 2024 jauh lebih ketat. Di tengah kebisingan dukungan capres, yang bisa mendongkrak atau mendowngrade suara. Jangan sampai, konflik internal berujung PAW di akhir masa bhakti, justru akan terbayar turunnya trust warga. Karena orang awam pun bisa menilai, tidak ada kepentingan masyarakat di dalamnya.
Siapapun akan menebak: PAW di ujung masa bhakti, hanya mengamini dugaan publik, jika hal itu bentuk kepentingan segelintir orang. Sama sekali tak ada kepentingan, apalagi keuntungan bagi masyarakat Balikpapan. Lain soal jika sosok yang digantikan itu wafat atau resign.
Kalau tetap memaksa, suara bisa jadi pertaruhan. Risikonya terlalu mahal. Tak sebanding. Enam kursi PKS di DPRD Balikpapan saat ini, boleh jadi akan tergerus di tahun depan. Peningkatan kursi yang kiranya harus difokuskan, minimal bagaimana mempertahankan enam kursi, di tengah caleg lawas yang eksodus ke perahu lain. Sedangkan Balikpapan, bukan basis utama suara. Kuning dan merah tetaplah jawaranya.
Apapun itu, persatuan dan kedamaian harus jadi nomor satu. Aih, jangan lupa mumpung hari Jumat, ayo kita shalawat dulu: Shalaallahu alaa Muhammad.
Rudi Agung, penikmat Geopolitik
Tags :
Kategori :