Politisasi Survei Politik

Kamis 18-05-2023,05:30 WIB
Reporter : Rudi Agung
Editor : Rudi Agung

Mata dunia saat ini tertuju pada Amerika dan Turki. Amerika didera utang menggunung, sampai-sampai Menteri Keuangan AS, Janet Yellen menegaskan ke Kongres kalau Amerika gagal membayar utangnya.

Utang negeri Paman Sam mencetak rekor tertinggi, yakni $17,5 triliun dolar AS, sekitar Rp 157 ribu triliun, dengan asumsi kurs Rp 14.700. Angka ini berdasar laporan Federal Reserve Bank of New York. Sedangkan Turki, baru saja melewati pemilihan penguasa baru, lewat Pilpres yang dihelat 14 Mei 2023. Kondisi negara ini: Amerika dan Turki, terus menjadi perhatian global, mengalahkan perhatian ke Rusia dan Ukraina yang masih terus bertempur. Musababnya, ancaman krismon di Amerika dan pergantian kekuasaan di Turki bisa memengaruhi perekonomian, sosial, politik, dan hukum di dunia. Tapi, kita tak perlu membahas rinci itu. Sudah banyak pakar yang membicarakannya. Saya lebih tergelitik ngobrol soal Pilpres Turki dan kaitannya dengan kondisi kekinian lembaga survei. Yang mungkin, bisa jadi, berkelindan dengan potret lembaga survei politik di Indonesia. Kok bisa? Awalnya, kerabat yang kerap nulis di Anadolu Agency, media berbasis di Ankara Turki, dan media Sputnik kantor Berita Rusia, menelpon. Saban pekan, kami memang kerap ngobrol soal gepolitik global. Mumpung ia pakar di bidang itu, saya sering curi-curi ilmu darinya. Kebetulan ia tengah mengejar gelar PhD soal policital studies di Siberia. Negara ini masuk wilayah Rusia, persisnya sebelah utara Kazakhstan. Kita ngobrol soal Pilpres Turki, yang pembahasannya sedang marak dimana-mana. Yang menarik, soal melesetnya hasil dari pelbagai lembaga survei. Hasil survei menyebut Erdogan bakal tumbang. Faktanya berkebalikan. Suara Erdogan masih tinggi, bahkan unggul dari rival kuatnya Kemal Kilicdaroglu. Kemenangan petahana Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di pemilu putaran perdana, menghasilkan kejutan banyak pihak. Hasil pemilihan jauh dari framing lembaga survei. Apalagi maraknya hipotesis jika Erdogan dilemahkan akibat inflasi dan krisis. Sebagian besar lembaga survei memprediksi Kilicdaroglu akan mendepak Erdogan dari kursi presiden. Tapi Erdogan justru unggul atas Kilicdaroglu, masing-masing 49,25 persen dan 45,04 persen dengan 99,25 persen penghitungan kotak suara. Sedangkan Sinan Ogan sebagai capres ketiga hanya meraih 5,29 persen suara. Adapun Muharrem Ince yang tetiba mundur jelang pencoblosan akibat skandal video porno, kebagian suara 0,42 persen. Erdogan dan Kilicdaroglu tidak mencapai ambang minimal sebagai pemenang, yaitu 50 persen. Alhasil mereka harus kembali bertarung di pemilu putaran kedua pada 28 Mei 2023 nanti. Kilicdaroglu berasal dari CHP, alias Partai Rakyat Republik yang bergenre sekuler. Partai Kemalis ini dikenal sebagai partai yang ingin meneruskan warisan Mustafa Kemal Atatürk. Yang meruntuhkan Turki Ustmani. Maka tidak heran, survei dan framing media-media Barat kerap mencitrakan Kilicdaroglu, di saat sama, menyudutkan Erdogan. Melesetnya hasil survei di Barat, mengingatkan kita pada kondisi serupa di Indonesia. Sejak tahun 2004, lembaga survei politik bak musim penghujan. Seiring waktu, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga survei kian runtuh. Sebab bukan lagi independen, tapi telah menjelma sebagai industri. Orientasinya, cuan. Sesuai Pesanan Klien Logikanya sederhana: kalau lembaga survei politik bekerja menyesuaikan pilihan murni masyarakat, respondennya representatif, memakai metodologi benar, hasilnya tentu tak akan jauh dengan hasil perhitungan ril. Tapi jika survei ditungganggi kepentingan politik dan ekonomi, maka hasilnya sangat mungkin berbeda dengan pilihan masyarakat atau kondisi ril di lapangan. Bahkan bisa berkebalikan. Tak ada yang salah dengan orientasi cuan, apalagi biaya survei begitu melangit. Ada yang bisa mencapai puluhan juta untuk sekali survei dengan 400-500 responden. Makin banyak respondennya makin mahal. Dengan kata lain, mereka butuh klien, butuh cuan besar agar bisa melakukan survei. Sejauh ini klien yang menggunakan jasa mereka, bisa dipetakan dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama, hasil surveinya untuk kepentingan internal, sebagai bahan evaluasi. Baik evaluasi model kampanye atau program kerja yang telah berjalan. Klien tipe ini tidak akan mempublikasikan hasil surveinya. Karena murni untuk evaluasi. Hasilnya pun murni. Buruk ya dibilang buruk. Kelompok kedua, agak berbeda. Hasil surveinya akan dipublikasikan untuk menggiring opini. Bahasa warung kopinya, klien ingin mendapat bandwagon effect alias eEfek ikut-ikutan. Tipologi masyarakat Indonesia, cenderung ikut arus besar. Arus yang ramai diperbincangkan. Dengan tujuan penggiringan opini, tentu saja hasil surveinya mengikuti kehendak klien. Sesuai order. Tujuannya mudah ditebak: meningkatkan elektabilitas atau program kerjanya mendapat pujian. Itu saja. Memori membawa pada kritikan yang pernah disampaikan Refly Harun. Ia menyampaikan sorotan lewat akun Youtubenya, bertajuk: Terbongkar! Cara Lembaga Survey Main Rekayasa, Ketahuan, Ngacir!!! Refly Harun mengingatkan, “Jangan heran kalau misal si A tak pernah kampanye di luar. Tak pernah terbukti melakukan mobilisasi massa tapi surveinya selalu baik,” sindirnya. Kebalikannya, lanjut Refly, jika si B misalnya hadir dan diterima secara baik tetapi nomornya tak pernah nomor satu. “Kalau begitu lembaga survei jadi parasit demokrasi. Lembaga ini dibayar kemudian mengarahkan pada kandidat tertentu.” Ia mengungkap lembaga survei memiliki kecenderungan atau framing opini dengan pilihan berganda pada responden. Nah, saat ini lembaga survei politik pesanan punya mush bebuyutan. Apa itu? Sosial media. Penggiringan opini netizen lebih ril dibanding rekayasa survei. Sosmed bisa menelanjangi para pelaku politisasi survei dan pengguna jasanya. Bahkan, sosmed justru bisa menenggelamkan mereka. Ini baru saja terjadi di Balikpapan. Di bulan ini ada rilis soal kinerja Wali Kota Balikpapan, Rahmad Mas’ud. Yang hasil surveinya mengangkat kinerjanya. Tapi, di sosmed justru jadi bahan tertawaan. Bahkan cacian. Apalagi survei itu repro hasil survei di tahun lalu. Alamaaak. Padahal jika lembaga survei politik mau kembali pada khittah ilmu statistik, maka keramaian opini di sosmed bisa menjadi penguat riset dan analisa mereka. Meskipun ini tidak mutlak. Sebabnya, opini di sosmed kerap pula digiring oleh para buzzer, yang juga bayaran. Sesuai pesanan. Repot kan? Lebih asyik kalau pengguna jasa survei, benar-benar mau meningkatkan kapasitasnya, membuktikan keberpihakannya ke rakyat, membuktikan hasil kinerjanya yang manfaatnya benar-benar dirasakan. Bagi masyarakat, kudu skeptis atau tidak mudah percaya pada hasil survei dan penggiringan buzzer. Cek ricek informasi yang tengah jadi perbincangan. Bukan asal percaya, asal membebek. Sepakat gak? Shalaallahu alaa Muhammad. *Rudi Agung, penikmat Geopolitik, Ghost Writer
Tags :
Kategori :

Terkait