BRIN Sebut Majukan Pertanian Perlu Kecerdasan Buatan

Rabu 29-03-2023,19:37 WIB
Reporter : Rudi Agung
Editor : Rudi Agung

Nomorsatukaltim.com - Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Marsudi Wahyu Kisworo menyatakan, saat minat masyarakat menjadi petani semakin berkurang, sudah saatnya perlu memaksimalkan kecanggihan teknologi. Antara lain, memanfaatkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence. Menurutnya solusi memecahkan masalah pertanian sekaligus memajukan dunia pertanian perlu menggunakan inovasi teknologi alat pertanian yang menggunakan tenaga listrik dan kecerdasan buatan. "Kita boleh saat ini gencar mengembangkan mobil listrik. Tapi para engineer juga bisa membuat alat-alat pertanian yang menggunakan tenaga listrik, misalnya, bagaimana membuat traktor otonom atau tanpa awak dengan bertenaga listrik dari panel surya. Jadi inovasi harus diarahkan ke alat pertanian," ujar Marsudi, dikutip dari situs BRIN, Rabu (29/3/2023). Selain itu, inovasi juga harus mengarah pada smart farming. "Smart farming melibatkan pelbagai macam disipiln ilmu. Mulai IT, elektro, internet of things, dan sebagainya. Untuk pertanian yang lebih cerdas, sehingga semua bisa diautomasikan," ujarnya. Tren inovasi selanjutnya adalah precision farming, misalnya memanfaatkan drone untuk menyebarkan pupuk dan air, sehingga efisien dan tidak boros. "Teknologi IoT juga diperlukan mendeteksi tanaman, misalnya kapan harus diberikan air, jika cukup, otomatis kerannya ditutup, dan sebagainya," imbuh Marsudi. Ihwal produksi pertanian, Marsudi memastikan, kunci utamanya bagaimana meningkatkan produktivitas di hulu, salah satunya dengan melakukan genetic engineering. Ia juga menyinggung kondisi ketahanan pangan Indonesia tahun 2023. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, komoditas garam, gula, daging ruminansia, bawang putih, dan kedelai masih bergantung impor. "Maka, jika berinovasi, para engineer fokuskan pada komoditas-komoditas itu," tutur Marsudi. Saat melakukan inovasi teknologi dengan genetic engineering, yaitu bagaimana bibit itu dimodifikasi, sehingga produktivitasnya meningkat. "Misalnya produksi tebu, rata-rata satu hektar hanya menghasilkan 60 hingga 70 ton tebu per hektar. Di India atau Brazil, bisa 140 ton tebu per hektar. Jadi dua kali lipat, sehingga genetic engineering ini diperlukan," tandasnya. Marsudi melanjutkan, pada tahap transportasi bahan baku, juga membutuhkan teknologi pascapanen. "Indonesia adalah negara dengan food loss atau pangan yang rusak cukup tinggi, mencapai 30 persen," ungkapnya. Menurutnya gudang penyimpanan dengan dinding beton, menyebabkan bahan baku pangan seperti beras cepat rusak. "Inovasi controlled atmospheric storage menjadi ruang penyimpanan, tapi atmosfernya dikendalikan. Sehingga bakteri pembusuknya tak hidup, dengan menggunakan ozon. Di luar negeri sudah biasa, tapi di Indonesia belum banyak yang mengembangkan," ujarnya. (*/ BRIN)

Tags :
Kategori :

Terkait