Ongkos Produksi Bengkak Akibat Pembatasan Subsidi Pupuk

Selasa 31-01-2023,15:00 WIB
Reporter : Rudi Agung
Editor : Rudi Agung

Nomorsatukaltim.com – Pemerintah resmi membatasi subsidi pupuk untuk lahan pertanian dan sejak pertengahan tahun 2022. Pembatsan subsidi pupuk ini otomatis membuat para petani dan nelayan tambak menjerit, sebab sangat berpengaruh pada naiknya ongkos produksi. Saat ini harga per karung 50 kg pupuk urea sekitar Rp 500 ribu. Pupuk TSP kisaran Rp 250 ribu. Sedangkan pupuk ponska sekira Rp 350 ribuan. Ketiga jenis pupuk itu saat masih disubsidi pemerintah, harganya hanya di kisaran Rp 120 ribuan per karung. Setiap karung berisi berat 50 kilogram. Biasanya satu petani kangkung dalam sebulan hanya mengeluarkan Rp 500 ribu dan sudah mendapatkan tiga jenis pupuk. Seperti pupuk urea, ponska dan TSP. Yang bisa digunakan untuk kebutuhan dua sampai tiga bulan. Namun, dengan pembatasan subsidi, ongkos produksi membengkak. Pembatasan subsidi pupuk juga menjadi problematik bagi nelayan Balikpapan, yang bergerak di sektor budidaya ikan perairan payau. Para nelayan budidaya perairan payau di Balikpapan, mengadukan keluhan itu kepada pihak Dinas Pangan, Pertanian dan Perikanan (DP3) kota ini. Budidaya perikanan payau, yang kerap disebut petani tambak selama ini masih tergantung pada pupuk subsidi karena harga yang terjangkau. Namun saat diberlakukan pembatasan subsidi, banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan subsidi tersebut karena regulasi terkait. Kepala Bidang Perikanan DP3 Balikpapan, Lestari, mengungkapkan pihaknya sering mendengar beberapa keluhan yang disampaikan mereka ketika melakukan pendampingan ke petani tambak. Salah satu keluhan yang sering disampaikan adalah subsidi pupuk yang tidak merata. "Kami mendengar yang menjadi kendala mereka itu salah satunya pupuk, Mas. Nah dulunya kan sempat disubsidi, saat ini dibatasi. Itu pun di bawah naungan Kementerian Pertanian, sedangkan nelayan payau itu tidak dapat, karena di bawah naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan," ungkapnya, Senin. Disebutkan, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun 2021, dalam Bab 1 Pasal 1 Poin 4 dijelaskan bahwa petani yang menerima pupuk bersubsidi merupakan Warga Negara Indonesia perorangan atau beserta keluarganya yang melakukan usaha tani dibidang tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan dan Budidaya Ikan. Namun, paska terbitnya aturan itu banyak petani tambak yang awalnya mendapat subsidi pupuk, kini tidak lagi. Sebab kuotanya dibatasi. Pihak DP3, lanjut Lestari, tak hanya berdiam diri. Pihaknya akan mencoba meminimalisir atau mencari formulasi jalan keluar, agar keluhan nelayan budidaya ikan terselesaikan. Salah satunya melakukan pendampingan terhadap salah satu Kelompok Budidaya Ikan yang saat ini telah menjalani pembuatan pakan mandiri. “Kami pacu agar mereka bisa membuat pupuk mandiri. Diharapkan cara ini bisa mengatasi ketergantungan terhadap pupuk bersubsidi,” jelasnya. Legislator Tolak Pembatasan Subsidi Pembuatan pupuk mandiri atau pupuk organik terus digencarkan DP3 Kota Balikpapan. Alternatif ini dinilai sebagai solusi praktis mengatasi pembatasan subsidi pupuk. Sekaligus mensiasati kelangkaan pupuk non subsidi yang mulai terasa di kalangan petani, khususnya yang bergerak di sektor tanaman hortikultura. Wakil Ketua Parlemen Kaltim, Muhammad Samsun, merespon keluhan para petani terkait pencabutan pupuk bersubsidi dari Pemerintah Pusat. Ia menegaskan tidak setuju terhadap kebijakan itu. “Sejujurnya saya tidak sependapat dengan pencabutan itu,” tegasnya. Samsun bilang pupuk subsidi harus tetap ada untuk para petani. Menurutnya, tidak ada pengecualian jika menyangkut kebutuhan pangan untuk masyarakat Indonesia. “Pupuk untuk petani harus tetap disubsidi. Tidak ada pengecualian,” ujar Samun. Kebijakan ini telah berlaku sejak tahun 2022. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian resmi mencabut subsidi untuk lahan pertanian. Pencabutan itu dilakukan dengan penerapan dikenakan harga non subsidi. Antara lain terhadap jenis pupuk ZA, SP-36 dan Organik Granula. Selain mencabut subsidi, khusus untuk urea, pemerintah juga akan melakukan pembatasan. Pembatasan ini dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk mengurangi kuota penyaluran pupuk subsidi jenis Urea setiap tahun. Pemberian pupuk bersubsidi kepada petani juga akan disesuaikan dengan batas luas penguasaan lahan petani. Kebijakan tersebut membuat para petani menjerit. Seperti halnya petani di Kota Balikpapan. Para petani di Balikpapan turut mengeluhkan adanya pencabutan kebijakan pupuk subsidi itu. Sebab, berpengaruh pada ongkos produksi yang dinilai naik hingga berkali-kali lipat. Padahal, penyaluran pupuk bersubsidi ini benar-benar bermanfaat bagi para petani kecil agar mampu meningkatkan jumlah produksi hasil panen dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Namun, harga pupuk menjadi mahal saat subsidi dicabut pemerintah. Harga produksi yang naik berkali lipat membuat petani mengurangi dosis pupuk sehingga membuat produktivitas menurun. Untuk itu, Samsun menegaskan subsidi sangat diperlukan para petani. Sebab, pupuk subsidi yang dicabut itu mempengaruhi ongkos produksi. “Para petani sangat memerlukan pupuk-pupuk itu untuk meningkatkan produksi. Jika dicabut, mereka akan kesulitan. Jadi, saya tidak sependapat,” ujar Samsun. Kepala DP3 Balikpapan, Heria Prisni, membeberkan kelangkaan pupuk non subsidi sudah sejak lama dirasakan 4.000 petani di Balikpapan. Kelangkaan itu terjadi dari awal Agustus 2022. Para petani hortikultura di 305 kelompok kerap mengeluhkan kelangkaan pupuk paska pembatasan subsidi. Menurut Heria, imbauan pemakaian pupuk organik perlu digencarkan lantaran terdapat kotoran sapi di Rumah Pangan Hewan yang dapat dimanfaatkan. “Kelangkaan pupuk non subsidi sudah kita rasakan. Dan saya coba memikirkan solusi apa yang sekiranya dapat membantu para petani, coba kita datang ke RPH, kita coba sama-sama mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik,” paparnya. (*) Reporter: Muhammad Taufik

Tags :
Kategori :

Terkait