Konvergensi Media

Sabtu 17-12-2022,22:37 WIB
Reporter : Rudi Agung
Editor : Rudi Agung

Hiruk pikuk dunia tengah dibaluti euforia sepakbola terbesar: Piala Dunia Qatar 2022. Pelbagai informasi terkait terserak dimana-mana.

Dari jadwal pertandingan, hasil pertandingan, prediksi kemenangan, sampai warna warni ulah suporter sepak bola di pelbagai belahan dunia. Seluruh media berlomba menyajikan kemasan menarik untuk memantik minat publik. Pun begitu ramainya informasi serupa di semua platform sosial media. Pagi tadi, saya bersua dengan salah satu sobat karib. Fernan Rahadi, namanya. Dulu, kami sama-sama mereguk ilmu di Koran Republika, Jakarta. Kisaran tahun 2008. Namun, setelah itu saya melanglang buana ke pelbagai media lain. Dari Jakarta, Malang, Kaltara, sampai Kaltim. Sedangkan Fernan, tetap bertahan di Republika. Bedanya, ia pulang kampung ke halamannya di Jogja. Ia diamanahi tugas di Republika untuk memegang tanggung jawab tiga wilayah sekaligus: Jogja, Jateng dan Jatim. Kali ini, ia sangat beruntung. Mendapat jatah giliran untuk meliput langsung Piala Dunia di Qatar. Tentu, ia tidak melewati kesempatan emas lainnya: melaksanakan Umrah. Jarak Qatar ke Saudi tidak begitu jauh. Sekitar 542 km atau hanya butuh waktu 1,5 jam penerbangan. Masih lebih lama terbang dari Jakarta ke Balikpapan, yang membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Banyak kisah yang diutarakannya kala meliput Piala Dunia. Seperti, tak semua jurnalis bisa menikmati seluruh pertandingan. Sebab, penuhnya kuota dari Panitia untuk wartawan dari seluruh dunia. Meski tiap wartawan mendapat jatah tiket gratis melalui platform FIFA Booking and Seating, tapi tetap saja mereka kerap menahan kecewa. Terutama untuk menonton pertandingan tim-tim raksasa. Pendaftaran lewat antrean di Main Media Center seringkali sudah melebihi kouta. Ia beruntung masih bisa menyaksikan tiki taka pemain idolanya: Cristiano Ronaldo. Saya nitip oleh-oleh padanya, "Kisah perjalanan dan liputannya harus jadi buku, yaa." What app Group angkatan kami pun ramai. Ia tertawa, tapi mengamininya juga hahaha. "Ashiaaaaap," jawabnya. Dulu, di antara teman-teman sejawat pernah berkelakar: Kalau belum sakit typus dan membuat buku, kurang afdhol rasanya jadi wartawan. Lengkapi dua 'fardhu ain' itu dulu, baru lengkap rasanya jadi jurnalis. Halah, ada-ada saja. Tapi, ada benarnya juga. Salah satu mahkota jurnalis adalah membuat buku. Meski saat ini dunia percetakan khususnya, buku dan koran tengah mengalami hantaman besar. Harus kuat bertahan di tengah tsunami digitalisasi. Selain tingginya harga kertas, tinta dan percetakan, tiap orang kini kerap memilih mengunyah informasi digital. Amat jarang yang bertahan di cetak, kecuali sangat membutuhkan. Padahal kalau dari segi kenyamanan, tentu lebih enak membaca di koran atau buku dibanding membaca informasi online atau buku digital dari ponsel. Tapi zaman sudah berubah. Arus digitalisasi tidak bisa dibendung lagi. Sebuah konsekuensi logis dari kecepatan kemajuan teknologi. Konsekuensi ini juga harus dilewati awak media massa. Saat ini banyak media telah beralih pada konvergensi media. Istilah convergence ini, untuk menggambarkan pertemuan industri-industri media. Istilah ini dicetuskan Nicholas Negroponte dari Massachusetts Institute of Technology, tahun 1978. Ia menggunakan istilah tersebut untuk mengilustrasikan menyatunya industri media. Singkatnya, konvergensi media adalah sebuah fenomena yang melibatkan interkoneksi teknologi informasi dan komunikasi, jaringan komputer, serta konten media. Memanfaatkan teknologi hipermedia dan hiperteks. Media cetak, media audio visual dan media elektronik dulu seolah berbeda dan terpisah. Koran, radio, televisi, dan internet. Kini, semua menyatu dalam sebuah media tunggal. Konvergensi media bisa pula diartikan sebuah proses penggabungan berbagai bentuk isi media. Yang terdiri dari teks, foto, gambar, audio, video, bahkan grafis dan animasi yang dapat ditampilkan di salah satu platform. Misalnya ponsel, laptop, televisi, dan komputer. Seperti Tempo. Dulu kita mengenalnya hanya sebuah majalah. Lalu surat kabar harian/ koran, kemudian percetakan buku. Lantas merambah ke media online, video sampai memanfaatkan platform YouTube untuk channelnya. Termasuk di Dailymotion. Bahkan sampai membuat aplikasi di Play Store dan Apple Store. Lantas merambah ke dunia podcast melalui platform Spotify dan podcast Apple. Ringkasnya, pelbagai sajian konten media bisa dinikmati hanya dari ponsel, laptop atau komputer. Soal konvergensi media ini, sejak lama kami kerap berdiskusi. Sahabat yang dulu jurnalis dan memilih menjadi akademisi, sering memberi masukan. Ia menempuh magister di Jerman, dan saat ini mengambil studi  PhD di Political Studies, Tomsk State University, Russia. Fokus studinya soal geopolitik global. Ia mengajak saya untuk membuat buku bersama soal sejarah dan geopolitik Eropa. Dasar cinta sama politik, membuat bukupun tetap ada tajuk politiknya, tidak heran ia menjadi salah satu konsultan politik salah satu kepala daerah di Indonesia. Meski bukan lagi wartawan, tapi jiwanya seolah tak bisa dilepaskan dari aktivitas media. Ia juga masih menulis untuk media-media asing. Ia membandingkan media-media asing dan media Indonesia. "Kenapa Indonesia selalu terlambat?" tanyanya, suatu ketika. Ia memberi contoh soal konten-konten media berupa info grafis. Katanya, kita tertinggal lima tahun. Salah satu pencetus media yang kental dengan sajian info grafis adalah Tirto. Lantas diikuti media lain, termasuk di Kaltim. "Podcast sudah lama banget di Eropa.  Di kita baru pada melangkah. Konvergensi media juga begitu. Lebih dulu mereka, kenapa ya?" Lagi-lagi ia bertanya. Dan saya hanya menjawabnya dengan tertawa. Dalam hati, mungkin, ada banyak sekali faktornya. Dari sarana, sumber daya, kultur, kompetisi, sampai kekuatan finansialnya. Konvergensi media tentu tidak mudah, dan pastinya tidak murah. Apalagi harus digerakan banyak orang. Butuh man power yang tidak sedikit dan harus kapabel di bidangnya. Yang juga patut diiringi komitmen tinggi. Beberapa tahun silam, saat masih mereguk ilmu di koran Media Indonesia, istilah ini juga sering jadi pembahasan. Media-media di Indonesia tengah menuju ke arah sana. Termasuk media yang Anda baca ini. Jalan ini sebagai konsekuensi logis media massa yang tumbuh di era digitalisasi. Di sisi lain, lambat laun, tantangan media cetak makin berat. Bahkan, mulai 1 Januari 2023, koran sekelas Republika berencana berhenti cetak. Padahal koran ini telah terbit sejak 1995. Mereka akan memfokuskan seluruh energinya ke digital. Memaksikalkan gerbang baru menuju konvergensi media. Hal ini pernah saya konfirmasi ke salah satu managernya. Mau tidak mau, inilah jalan yang perlu dilewati media massa Indonesia. Termasuk media-media di Kaltim. Konvergensi media adalah konsekuensi pesatnya arus digitalisasi. Ramai-ramai semua adu cepat melangkah ke sana. Sudah banyak yang mengawalinya. Tantangannya sungguh luar biasa. Bahkan untuk media online, harus bersaing dengan citizen journalism di sosial media. Meski untuk validasi, akurasi, kedalaman informasi, dan pertanggung jawaban tetap unggul media online. Tapi tentu saja kalau soal kecepatan, akan sulit menyalipnya. Ini menjadi tantangan tersendiri. Apalagi jika ingin fokus pada konvergensi media. Era ini juga diikuti ledakan gurita media. Media-media di Indonesia ramai-ramai membuat jejaring media. Kalau dulu, kita mengenal Jawa Pos. Hampir di seluruh daerah punya media jejaring dengan bendera: Radar. Kini, jejaring gurita media juga merambah ke online. Model baru yang lagi tren digunakan adalah dengan menggandeng para konten kreator muda. Atau mencari media di daerah untuk bermitra. Seperti jejaring media Pikiran-Rakyat, Republika, Suara, dan lainnya. Mereka menggunakan pola mitra kerjasama, bagi hasil, meski manajemen berjalan sendiri-sendiri. Ini sebagai konsekuensi melewati era konvergensi media. Mungkin membangun konvergensi media akan banyak yang mampu, tapi bertahan dan berkembang, tentu jauh lebih berat lagi tantangannya. Pertanyaannya: mampu kah kita? Setelah itu, kemajuan apa lagi usai masa konvergensi media? Apakah kelak media massa juga akan masuk dalam ranah metaverse?! Ah, sungguh seru membayangkannya. Nah daripada ikut membayangkan terlalu jauh, sepertinya lebih asyik kalau kita ikut memperbanyak sholawat. Shalaallahu alaa Muhammad. (Rudi Agung/ Penikmat kopi hitam)
Tags :
Kategori :

Terkait