JUMAT pagi, saat tengah nonton siaran berita. Seorang ibu memasukan anak yang baru dilahirkannya ke mesin cuci. Di Palembang. Istri saya sempat mengomentari begini:
“Memang perempuan baru melahirkan rawan terkena baby blues syndrome. Kecenderungannya melakukan kekerasan terhadap anak. Makanya perlu perhatian. Orang banyak enggak ngerti, kalau terjadi apa-apa, si ibu yang disalahkan”.
Sengaja volume suranya agak ditambah. Mungkin maksudnya biar saya mendengar. Berhasil memang. Tapi, saya pura-pura tak menyimak.
Baby blues syndrom banyak dialami ibu setelah melahirkan. Gejalanya biasanya merasa lelah, sedih dan khawatir. Biasanya ini terjadi pada kelahiran pertama.
Syndrom ini tergolong ringan. Ada lagi yang lebih dahsyat. Yakni postpartum depression. Depresi pasca melahirkan. Ini lebih banyak mengancam kaum ibu. Biasanya si ibu merasa putus asa, sedih, tak berharga hingga tak merasa ada ikatan dengan si bayi.
Baby blues syndrom juga jika dibiarkan sama. Nantinya bisa menjadi depresi. Itulah pentingnya perhatian suami atau keluarga. Agar si ibu yang baru melahirkan tak mengalami depresi.
Nah, SU perempuan yang memamasukan anaknya ke dalam mesin cuci itu, mungkin masuk kategori depresi. Sejak awal memang menutupi kehamilannya itu. Hasil hubungan terlarang. Sudah menjanda selama 7 tahun. Bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah mantan wakil gubernur Sumatera Selatan.
Selama kehamilan, ia mengikat perutnya dengan korset. Supaya tak tampak oleh teman-temannya. Sesama asisten rumah tangga. Juga sama majikannya.
Dia melahirkan sendiri di kamar mandi. Setelah melahirkan, dia mendengar suara teman-temannya. Panik. Akhirnya si bayi disembunyikan di mesin cuci.
Saat keluar kamar mandi wajahnya tampak pucat. Mengaku sakit. Teman- temannya membawa ke rumah sakit. Saat SU ke RS itu, asisten rumah tangga lain mendengar tangisan bayi. Kondisinya mengenaskan. Kemudian dibawa ke rumah sakit. Sayangnya kondisi si bayi tak tertolong.
Apa yang dilakukan SU karena malu. Malu sama teman-temannya. Malu lantaran si bayi hasil hubungan tak resmi. Bukan tak sayang. Karena saat diwawancarai SU mengaku sayang. Rupanya, rasa malunya itu lebih besar ketimbang sayangnya. Rasa malu itu yang mengakibatkan SU depresi.
Peristiwa yang sama juga banyak terjadi di Kalimantan Timur. Dalam catatan Disway Kaltim setidaknya ada tiga peristiwa serupa tahun 2019 ini yang menggegerkan. Bisa jadi lebih banyak dari itu kasusnya. Namun tak muncul ke permukaan.
Peristiwa penemuan bayi laki-laki oleh orangtuanya. Ditemukan Syahrudin, warga Samarinda Kota. Ketika sedang asyik nonton debat capres 31 Maret 2019.
Kemudian 24 Juli 2019. Seorang perempuan melahirkan di toilet RSKD Balikpapan. Karena bayi baru lahir itu menangis, Dia sumpal mulutnya pakai tissu toilet. Tak berhenti juga. Lalu dicabut tali pusar anaknya itu. Semua dilakukan karena malu.
Malu ketahuan sama saudaranya kalau selama ini dia hamil. Ngakunya sakit. Sama, perempuan yang bekerja di club malam itu juga menutupi kehamilannya. Pamannya tak tahu sama sekali. Dikira hanya sakit biasa. Dibawa ke rumah sakit.
Setelah di RS pun masih mencari cara. Agar tidak diketahui.
Kemudian pada 9 Oktober 2019. Sejoli di Balikpapan bersekongkol untuk membunuh bayi mereka. Hasil hubungan terlarang. Dilakukan di sebuah rumah kos di kawasan Sungai Ampal, Balikpapan. Hal itu dilakukan juga untuk menghindari rasa malu.
Lagi-lagi tak siap menanggung malu. Rasa malu memang dalam ajaran Islam bagian daripada iman. Dengan rasa malu itu, orang akan terhindar untuk melakukan hal-hal negatif. Yang tidak sesuai dengan ajaran atau norma-norma.
Tapi hati-hati, rasa malu itu juga bisa menyakiti orang lain. Bahkan diri sendiri. Atau bayi yang baru lahir. Yang harusnya dilindungi.
Sanksi sosial memang berat. Apalagi untuk kasus-kasus seperti itu. Tapi, seyogianya masyarakat mulai harus bisa bertindak arif. Setidaknya demi menyelamatkan bayi-bayi yang tak berdosa itu.
Sudah berat para ibu mengandung. Ditambah dengan sanksi sosial. Makin prustasi. Efeknya ya, seperti peristiwa-peristiwa itu tadi. Lebih baik sakit sendiri ketimbang harus menanggung malu. Berat sekali menanggung malu itu ya...
Kendati masih banyak orang di luar sana, para elit, yang merasa tak terbebani dengan rasa malu. Meski sudah diketahui publik boroknya. Sudah ini dan itu, tapi tetap bergeming...
Bagaimana dengan Anda?
*/saran dan masukan atau opini Anda bisa dikirim via diskaltim@gmail.com